Translate

Kenaikan TDL : Kebijakan Anti Rakyat Pemerintahan SBY–Boediono

Di Keluarkan oleh :

Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional

Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2010, pemerintahan SBY–Boediono telah menetapkan kenaikan bagi tarif dasar listrik (TDL).

Kenaikan TDL ini memang tidak berlaku untuk pelanggan listrik 450–900 Volt Ampere yang menurut pemerintah adalah rumah tangga miskin. Kenaikan ini menurut pemerintah adalah usaha yang ditempuh untuk mengurangi beban negara atas subsidi listrik yang jumlahnya sangat besar (RP 55,1 Triliun), selain itu kenaikan TDL juga diharapkan akan di ikuti dengan perbaikan pelayanan.

Akan tetapi imbas dari kenaikan inilah yang secara langsung akan di terima oleh rakyat Indonesia, di tengah kemiskinan dan problem–problem sosial lainnya yang sehari–hari telah mencekik leher rakyat Indonesia. Dampak langsung yang bisa dirasakan tentunya adalah kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat, kemudian kenaikan harga dari industri yang secara otomatis naik akibat beban biaya produksi yang melambung. di tengah lemahnya daya beli rakyat, hal tersebut secara jelas akan semakin memberatkan rakyat. Dampak tersebut yang secara jelas tidaklah menjadi alasan bagi pemerintahan SBY–Boediono untuk tidak menaikan tarif dasar listrik, bahkan usaha untuk menaikkan daya beli rakyat yang salah satunya dengan cara menaikan upah juga tidak dilakukan.

Secara umum ada beberapa hal yang menjadi dasar kenapa kenaikan TDL adalah sebuah kebijakan yang tidak populis dan layak untuk ditentang, Karena hal tersebut sudah tentu akan sangat merugikan rakyat Indonesia secara umum, hal tersebut diantaranya :


  1. Bagi Petani, kebijakan kenaikan TDL akan memberatkan kehidupannya. Sudah sedikit dibahas tadi bahwa di tengah lemahnya daya beli rakyat, kenaikan harga–harga akibat naiknya TDL adalah sebuah keniscayaan yang akan semakin menambah beban hidupnya.


Bagi rakyat di pedesaan, kenaikan TDL memang tidak akan terasa langsung, kecuali bagi mereka yang memiliki daya di atas 900 Volt Ampere. Akan tetapi distribusi barang kebutuhan sosial yang sebagian besar disuplai dari kota pasti akan semakin melambung harganya, karena inflasi daerah lebih besar dari di kota.

Sehingga bagi rakyat yang sebagian besar hidup dari sektor pertanian, terutama petani miskin dan buruh tani yang merupakan rakyat dengan jumlah yang besar kenaikan TDL hanya akan menambah beban hidupnya.

Kenaikan kebutuhan pertanian baik pupuk, bibit maupun pestisida akibat naiknya biaya produksi dan distribusi pasti tidak akan terhindarkan, belum lagi kebutuhan lainnya. Sedangkan di satu sisi, pendapatan dari kaum tani terutama buruh tani dan tani miskin tidaklah akan bertambah, bahkan potensi naiknya biaya produksi pertanian akan semakin besar.

Dengan keadaan seperti ini maka, kenaikan angka petani yang menjadi buruh tani atau pergi ke kota/menjadi BMI akan semakin besar. Di saat tanah sudah tidak lagi menjanjikan untuk hidup maka petani akan mencari sumber pendapatan lain, meski upah yang di terima juga tidak menjadi jaminan.

Kenaikan TDL secara langsung akan memberi sumbangan kepada bertambahnya rakyat miskin di Indonesia, yang sebelum TDL naik saja kemiskinan terus merangkak naik. BPS bahkan pesimis angka kemiskinan tahun 2010 akan mencapai target 11%, bahkan laju penurunan kemiskinan Maret 2009–Maret 2010 hanya 0,82% jauh jika dibandingkan Maret 2008–Maret 2010 yang mencapai 1,27%, Maret 2010 BPS mencatat penduduk miskin di Indonesia sebesar 32,53 Juta jiwa.

  1. b. Bagi Buruh, Pemuda dan Ketersediaan Lapangan Pekerjaan. Kenaikan TDL berarti kehidupan akan semakin sulit. Bagi Buruh kenaikan ini akan menjadikan pengeluaran mereka membengkak untuk belanja keperluan sehari–hari, sedangkan upah di Indonesia selama ini sangatlah rendah. Indonesia adalah salah satu negara dengan kebijakan upah buruhnya yang sangat rendah, saat ini Indonesia hanya kalah dari India, Vietnam dan China dalam kebijakan membayar buruh dengan upah yang sangat rendah.


Ketika TDL naik dan beban buruh akan semakin besar, muncul ancaman lebih besar lagi yaitu pemotongan hubungan kerja (PHK) yang bisa datang sewaktu–waktu. Kenaikan TDL tentu akan menaikan biaya produksi yang tidak sedikit bagi perusahaan dan itu menjadi beban tersendiri di tengah lesunya perekonomian Indonesia. Beban paling terasa tentu bagi perusahaan atau pengusaha menengah kebawah/industri kecil dengan modal terbatas yang dipaksa menyesuaikan diri dengan kenaikan TDL.

Kenaikan TDL akan memaksa berbagai perusahaan untuk melakukan efisiensi produksi. Jamaknya sebuah efisiensi produksi adalah pengurangan pengeluaran perusahaan dengan cara terbaik adalah efisiensi biaya tenaga kerja. Efisiensi biaya kerja akan dijalankan dengan beberapa cara, mulai dari penambahan jam kerja untuk mengenjot volume produksi tanpa membayar biaya lembur, menunda kenaikan upah buruh, menghilangkan kewajiban perusahaan atas tunjangan sosial buruh, menunda/membatalkan kenaikan upah buruh,  hingga yang paling sering di gunakan adalah dengan melakukan PHK terhadap buruh.

Kenaikan TDL secara tidak langsung akan semakin mendukung sistem buruh kontrak dan outsourching, karena tidak adanya jaminan sosial yang harus di bayar oleh perusahaan kepada buruhnya. Sehingga dalam posisi seperti ini, buruhlah yang akan paling banyak menanggung beban akibat kebijakan keliru rejim SBY–Boediono.

Refor Miner Insitute menyebutkan jika saat ini angka angkatan kerja 100 Juta, maka potensi PHK dengan kenaikan TDL 10 % bisa mencapai 1,17 juta dan jika 20 % kenaikan TDL maka angka PHK akan mencapai 2,35 juta buruh.

Sementara itu, kenaikan TDL bagi pemuda dan jaminan atas ketersediaan lapangan kerja adalah hilangnya semua kesempatan tersebut. Sebelum kenaikan biaya TDL, pemuda Indonesia sendiri sudah kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan ketika TDL naik maka kesempatan tersebut akan semakin kecil bahkan tertutup. Karena kenaikan TDL berarti perusahaan/penyedia lapangan pekerjaan akan melakukan efisiensi produksi dan tenaga kerja yang artinya tidak akan ada lowongan pekerjaan yang baru bagi pemuda Indonesia, kecuali mau di bayar dengan upah jauh lebih rendah.

Salah satu upaya yang seharusnya dilakukan rejim SBY–Boediono untuk meningkatkan daya beli rakyat yaitu dengan menaikkan upah buruh tidaklah menjadi prioritas. Perampasan atas upah buruh dengan pembayaran upah rendah, berjalan beriringan dengan hilangnya lapangan pekerjaan semakin kuat akibat kenaikan TDL.

  1. c. Bagi Industri Menengah dan Kecil Indonesia. Ketika pemerintahan SBY menyepakati pemberlakukan ACFTA (ASEAN–China Free Trade Agreement), industri menengah dan kecil terutama industri tekstil dan garmen kelabakan bahkan gulung tikar karena tidak sanggup bersaing dengan produk dari china yang harganya jauh lebih murah/bersaing.


Kini dengan kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah, maka sektor industri Indonesia yang di dominasi usaha kecil dan menengah akan semakin tenggelam dibabat oleh kebijakan pemerintahannya sendiri. Menaikan harga hasil produksi perusahaan tentu bukanlah keputusan yang strategis ditengah persaingan harga yang gila–gilaan dari produk asing/impor dan perusahaan besar lainnya. Di kompas disebutkan akibat kenaikan biaya TDL pengusaha konveksi harus menaikan harga kain dari 32.000 menjadi Rp 42.000/Kg itu akibat biaya listrik yang mencapai 15–20% dari biaya produksi.

Pilihan sulit akan tiba bagi usaha menengah dan kecil, kenaikan biaya operasional memaksa mereka untuk melakukan efisiensi produksi atau jika tidak maka pilihan untuk bangkrut akan ada didepan mata pengusaha menengah dan kecil di Indonesia.  Ditengah hancurnya pengusaha dalam negeri, maka perusahaan besar milik asing /negara imperialis akan semakin kuat menancapkan dominasinya lewat kekuatan modal yang tidak terhitung.

Sekedar gambaran, Industri Indonesia sesungguhnya dari tahun–ke tahun terus mengalami penurunan, ribuan usaha kecil dan menengah bangkrut dan hilang di telan persaingan yang di menangkan oleh industri raksasa asing yang menjual produknya dengan harga sangat murah, serta perusahaan raksasa asing yang mampu membangun cabang di Indonesia.

Indonesia bukanlah negara industri akan tetapi tidak lebih dari sekedar negara dengan kumpulan pabrik asing yang dilindungi rejim SBY–Boediono dengan peraturan (Ek UUPM dan UUK 2003) dan aparat serta birokrasi di depannya. Menjadi pemandangan biasa di sekitar lingkungan pabrik atau kawasan ekonomi, kemiskinan tumbuh dengan subur beriringan dengan angka kriminalitas yang tinggi akibat pekerjaan yang tidak tentu dan masa depan yang sangat gelap.

Akibat hal ini, sulit rasanya bagi industri Indonesia untuk berkembang dan bersaing dengan negara lainnya di tengah kebijakan anti rakyat pemerintahnya sendiri. Sehingga wajar jika jargon cintai produk dalam negeri/Indonesia yang ironisnya di gembar–gemborkan pemerintah seperti menggarami air laut akibat kebijakan kontradiktif dari pemerintah sendiri yang memberangus industri milik rakyat Indonesia.

  1. d. Kebijakan kenaikan TDL hanya menguntungkan segelintir pihak. Kebijakan ini secara umum bukanlah kebijakan yang menghargai rakyat Indonesia dengan hak–haknya sebagai warga negara untuk hidup sejahtera. Kebijakan kenaikan TDL, seperti halnya kebijakan menyangkut kebutuhan publik lainnya bukanlah semata–mata di dasarkan pada hitungan matematis semata, seperti “hanya naik 10 %” atau “sekedar berlaku untuk pelanggan listrik diatas 900 Volt Ampere” tetapi tidak memperhitungkan dampak sosial yang lebih besar dari hitungan matematisnya.


Kenaikan TDL yang di sepakati DPR 15 Juni 2010 adalah, pelanggan rumah tangga dengan daya 1300 - 5.500 volt sebesar 18 %, pelanggan sosial 1.300–200.000 volt sebesar 10 %, pelanggan bisnis 1.300–5.500 volt sebesar 16 %, dan€ bisnis di atas 200.000 KVA 12 persen. Adapun pelanggan industri dengan daya 1.300-2.200 VA disetujui naik 6 persen, industri antara 2.200 VA dan 200.000 VA 9 persen, industri di atas 200.000 VA 15 persen, pelanggan pemerintah antara 1.300 VA dan 5.500 VA 15 persen, dan pemerintah di atas 200.000 VA 18 persen (Sumber : Kompas)

Sementara PLN sebagai pelayan public, sampai sekarang belum mampu melakukan pelayanan yang maksimal bagi para pelanggannya. Listrik yang “byar pet” alias pemadaman sementara terus berlangsung sampai sekarang. Dalih defisit listik selalu menjadi alasan utama, apalagi dengan ketergantungan PLN dengan perusahaan listrik swasta/Independence Power Producer, semacam PT Wijaya Karya (WIKA), belum lagi PT Bakrie Power Coorporation yang bekerjasama dengan KEPCO dari korea yang juga berencana untuk menjual listik mereka ke PLN dengan harga 6,5 per kwh untuk memasok listrik.

Belum lagi permainan PLN sendiri dengan anak perusahaannya yaitu PT Indonesia Power sebagai perusahaan pembangkit listrik terbesar di Indonesia. Saat ini PT Indonesia Power menguasai 8 unit bisnis pembangkitan yaitu Priok (PLTU, PLTGU 2 blok, dan PLTG unit 1 dan 3), Suralaya (PLTU), Saguling (PLTA), Kamojang (PLTP gunung salak dan Garut), Mrican (PLTA), Semarang (PLTA dan PLTGU), Serta unit bisnis pembangkit (UBP) di Pati dan Bali.

Defisit listrik PLN juga terjadi di tengah ketergantungan PLN dengan listrik yang dihasilkan dengan batu bara. Tahun 2010 ini kebutuhan batu bara PLN diperkirakan mencapai 38.525 juta ton, sedangkan fasilitas listrik baru dinikmati sekitar 65% penduduk Indonesia. Pemasok utama batu bara PLN diantaranya PT Bukit Asam, Kideco, PT Arutmin, PT Berau Coal dan PT Adaro.

Sedangkan untuk gas, hingga tahun depan PLN masih kekurangan 1.115 miliar British Thermal unit per day (BBTUD), untuk tahun ini saja PLN baru mendapat kepastian pasokan gas sebesar 1.471 BBUTD dari kebutuhan yang mencapai 2.432 BBUTD. Sementara pasokan dari perusahaan gas Negara (PGN) tidak mencukupi, sehingga PLN pun harus mencari kepihak lain atau perusahan gas swasta.

Sehingga akan sangat sulit bagi PLN untuk menentukan harga jual listrik ke public di tengah ketergantungan PLN terhadap pasokan perusahaan listrik swasta dan terhadap perusahaan pemasok batu bara dan gas.

Sehingga ketika pemerintahan sekarang tidak memiliki kepedulian terhadap pelayanan public maka kenaikan TDL yang merugikan rakyat akan tetap terjadi, apalagi ditengah getol–getolnya usaha privatisasi BUMN oleh SBY dengan dalih efisiensi perusahaan Negara yang merugi.

Kebijakan ini tentu hanya akan menguntungkan klas dan golongan tertentu dalam masyarakat. Hanya Borjuasi besar komparador dan tuan tanah, dari golongan masyarakat Indonesia yang diuntungkan oleh kenaikan TDL ini. Kebijakan Upah murah akan semakin mudah di terapkan di tengah langkanya lapangan pekerjaan dengan upah yang memadai, sementara di pedesaan akibat melambungnya harga sarana produksi pertanian dan biaya hidup maka praktek perampasan tanah akan menjadi lebih mudah dilakukan.

Sehingga dalam kondisi dimana pemerintah Indonesia di bawah kendali SBY–Boediono justru menerapkan kebijakan yang kontraprodukif dengan kebutuhan dan kenyataan rakyat Indonesia, menjadi sebuah tuntutan dan kewajaran ketika kebencian dan protes terhadap kerja pemerintahan SBY–Boediono akan semakin kuat dan besar.

Rakyat juga semakin memahami, berdiri di posisi mana sebenarnya SBY–Boediono dan gerbong pemerintahannya selama ini, ditambah dengan perilaku dari lembaga legislative (DPR) yang cenderung memalukan. Kasus–kasus yang mengoyak kewibawaan pemerintah termasuk DPR, seperti kasus century yang menguap, makelar kasus di kejaksaan, suap di kepolisian, permintaan dana aspirasi yang keterlaluan dari DPR hingga kepala batu anggota DPR yang akan membangun gedung baru buat kantor DPR yang menyedot keuangan negara hingga miliaran rupiah.

Kebijakan–kebijakan seperti ini diyakini akan terus bertambah dalam waktu–waktu mendatang, sebuah ironi dari rejim dan negara yang mengaku dirinya demokratis. Kebijakan ini hanya dapat dilawan dengan kemauan dan tekad untuk tidak mau terus–menerus di tindas dan dihisap, dan syarat ini hanya dimiliki oleh rakyat Indonesia. Dengan kesadaran bersatu melawan kebijakan rejim anti rakyat SBY–Boediono yang hanya menguntungkan Imperialisme, feodalisme dan kapitalisme birokrat sesungguhnya rakyat bisa melakukan apa saja untuk hak–hak demokratisnya.

Demikian pandangan kami dari Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional (PP FMN) menyikapi kebijakan kenaikan harga TDL.

[caption id="attachment_140" align="alignleft" width="105" caption="bandung.melawan #5"][/caption]

asa di tengah nestapa hari anak nasional

Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional sebumi Indonesia Raya. Terus besoknya yaitu pada tanggal 24 Juli adalah peringatan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Konon, istilah hak asasi anak maupun hak asasi perempuan lahir untuk menjawab bahwa pada kenyataannya cara pandang yang menyama-ratakan laki-laki-perempuan, dewasa-anak, adalah kurang tepat.

Sejatinya fakta menunjukkan bagaimana anak-anak di bumi Indonesia Raya ini mengalami kelaparan, kekerasan, ditelantarkan, putus sekolah tidak punya biaya, anak jalanan berserakan di stasiun dan pelosok kota, dan lain-lain dan seterusnya. Demikian pula perempuan mengalami diskriminasi, baik dalam keluarga, komunitas, maupun kehidupan bernegara.

Negara punya tanggung jawab dan kewajiban untuk mengayomi itu semua, justeru penyelenggara negara yang diberi kepercayaan oleh rakyatnya, sibuk mengurusi urusan golongannya masing-masing, sampai skandal (selingkuh) pun menjadi kesibukan khusus bagi mereka.

Padahal sekarang di bumi Indonesia Raya katanya sudah memiliki perangkat hukum untuk mengurus persoalan perempuan dan anak yaitu antara lain: Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Pokoknya komplit sudah hingga menjanjikan kesejahteraan masa depan anak-anak sebumi Indonesia, namun sejatinya kesejahteraan anak masih jauh diseberang lautan sana dari yang diharapkan atau dengan kata lain masih dalam angan-angan kosong.

Contoh adanya informasi dan ditemukan fakta kejadian busung lapar belum lama ini hingga menyentak kita tentang betapa buruknya kondisi anak. Belum lagi persoalan buruh anak yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, anak di wilayah konflik, korban perdagangan manusia, dan banyak lagi. Sehingga persoalannya semakin menjadi runyam ketika anak mengalami diskriminasi bertingkat. Hingga tingkat pertama, karena dia adalah anak, dan tingkat kedua, karena perempuan. Di sinilah keberadaan anak perempuan diabaikan sebagai perempuan.

Biasanya kalau berbicara masalah anak tidak lengkap kalau tidak sekalian dengan masalah ibunya. Memang sudah dari sananya kalau anak itu dekat dengan ibunya. Jarang orang membahas masalah anak hubungannya dengan bapak, yang sering anak dan perempuan – karena anak perempuan nantinya toh jadi ibu juga.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua atau yang terjadi di depan mata kita sehari-hari menyangkut urusan anak. Di mana yang dianggap sepele akan mempengaruhi cara tumbuh-berkembangnya anak-anak itu sendiri.

Lihat saja tontonan tv akhir-akhir ini yang semakin ngawur saja menjadi santapan anak-anak tiap hari. Menurut penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA): “Anak menonton sekitar 30-35 jam seminggu, atau 4,5 jam sehari sehingga dalam setahun mencapai kurang lebih 1.600 jam. Jika dibandingkan dengan waktu belajar, ternyata waktu anak belajar di sekolah tidak sebanyak waktu menonton televisi. Jadi jumlah hari sekolah yang hanya 185 hari dalam setahun dengan lima jam per hari untuk kelas 4-6 SD dan tiga jam untuk kelas 1-3 SD menghasilkan angka rata-rata anak belajar di sekolah dalam setahun hanya 740 jam.

Masih mending kalau acaranya mendidik, melainkan tayangan horor, kekerasan, sampai pada pejabat dan artis pamer gosip. Itu yang ditonjolkan.

Bernafsu hanya mengeruk keuntungan memang telah ditunjukkan pemilik media. Pemilik media nampaknya lebih suka membuat tayangan yang mampu menarik sponsor daripada tayangan yang memperhatikan moralitas generasi muda atawa anak-anak. Tentu saja para sponsor ini lebih suka membiayai tayangan yang akan menggiring perhatian penonton. Celakanya tayangan-tayangan yang berbau hantu, eksploitasi sex, dan perempuanlah yang paling banyak diminati oleh pemirsa. Padahal media massa, baik itu elektronik maupun cetak seharusnya mampu memberikan tayangan-tayangan yang memberikan pendidikan positif bagi masyarakat.

Mereka semua hanya berpikir kapitalistik, dalam benak mereka yang penting dapat mengeruk materi yang melimpah-ruah, meskipun harus tega mengangkangi moralitas ribuan generasi muda di bumi Indonesia Raya ini. Yang ada di benak mereka hanyalah pamer materi dan duit. Semua itu adalah kuman kapitalis yang merajalela-merusak sampai sub-sub kehidupan masyarakat yang paling kecil yakni keluarga.

Sedianya peringatan Hari Anak Nasional sebumi Indonesia Raya ini, anak-anak ceria-ceria, sehat-sehat selalu , tidak ada lagi anak-anak jalanan bertebaran di stasiun, kekerasan terhadap anak, anak putus sekolah karena tidak mampu, dan seterusnya. Mestinya negara tanggap sasmito untuk segera ngopeni yang seperti itu – tapi kesannya kok membiarkan saja. Atau penyelenggaraan negara ikut-ikutan terkena pengaruh tontonan tv yang isinya horor hingga artis pamer gosip?

[caption id="attachment_135" align="alignleft" width="105" caption="bandung.melawan #5"][/caption]

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.