Translate

Hentikan Monopoli Agraria dan Segala Kekayaannya



Lima puluh tahun yang lalu, Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (UUPA) disahkan sebagai payung hukum agraria di Indonesia dalam merombak ketidakadilan struktur agraria warisan pemerintah kolonial.


UUPA 1960 adalah realisasi dari UUD 1945 pasal 33 yang mengamanatkan kekayaan alam dan cabang produksi yang terkait hajat hidup orang banyak dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun demikian, 50 tahun sejak UUPA diundangkan, nasib petani di Indonesia tetap dalam keadaan terpuruk. Kepemilikan lahan yang sempit (< 0,3 ha) ditambah dengan jatuhnya harga-harga disaat panen menjadikan petani hidup dalam keadaan tidak layak. Berbagai usaha petani untuk mendapatkan hak atas tanah seringkali berhadapan dengan kriminalisasi dan moncong senjata.


Data BPS menunjukkan luas lahan pertanian padi di Indonesia hingga tahun 2010 tinggal 12,870.000 ha menyusut 0,1 % dari tahun sebelumnya 12,883.000 ha. Konversi lahan pertanian ke non pertanian yang semakin besar ini jika dibiarkan akan menjadikan kerawan pangan pada masa yang akan datang, bahkan kelaparan pun akan semakin menggejala.


Hal ini ditambah dengan kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tentang Gabah dan Beras sebagai mekanisme perlindungan terhadap nasib rumah tangga petani sawah yang tidak efektif. HPP masih menguntungkan segelintir pedagang, mekanisme
pengawasan masih sangat lemah.


Pemerintah Indonesia dalam APBN 2010 telah mengalokasikan subsidi pupuk sebesar Rp 14,8 triliun. Angka subsidi itu terdiri atas subsidi harga pupuk sebesar Rp 11,3 triliun turun dari yang seharusnya 17,5 triliun, bantuan langsung pupuk (BLP) Rp 1,6 triliun dan subsidi unit pengolahan pupuk organik sebesar Rp 105 milliar. Pengurangan subsidi ini akan memberikan dampak yang nyata bagi rumah tangga petani, sebab harga eceran tertinggi pupuk dipastikan akan naik.


Dampak lain ketika rakyat tak berdaulat atas tanah dan dimonopoli oleh koorporasi asing dan dalam negeri adalah industrialisasi dalam negeri yang tak kunjung beranjak dari manufaktur rendah yang musti bersaing dalam ACFTA yang nota bene, Negara se Asean lainnya telah melangkah lebih dulu. Maka dari itu Industi kita sama sekali tak mampu menciptakan mesin pembuat mesin (otomotif atau elektronik).


Maka tak aneh jika ratusan perguruan tinggi tak mampu menjawab persoalan rakyat, karena sector agrarian dan industri tak membutuhkan pengembangan teknologi canggih dalam melangsungkan praktek produksinya. Sehingga praktek pendidikan hanya menjadi ajang pengakumulasi keuntungan, diorientasikan untuk menciptakan tenaga kerja murah dan fakta lainnya sebagai pencetak pengangguran intelektual.


Atas kepedihan kondisi kita hari ini dan di masa yang akan datang, dengan ini FPR Bandung menyatakan:


- Hentikan praktik monopoli tanah


- Berikan rakyat tanah garapan


- Pastikan sertifikasi kepemilikan tanah untuk rakyat


- Tolak draf revisi UUK no 13 Tahun 2003.


- Hentikan komersialisasi pendidikan



Front Perjuangan Rakyat


Bandung, 24 September 2010


ELSAK UIN, FAMU Unisba, UKSK UPI, FMN, PCR, KP Sumedang, dll.



indra sari candra <indrasariasih@yahoo.com>,
anawesty@yahoo.com,
alfani <anikwaelah@yahoo.co.id>,
amran fmn <banyurekso@gmail.com>,
and yk <andynekad@yahoo.com>,
Asep Djamaludin <asep.djamaludin@ymail.com>,
badru jaman <amora_wijaya@yahoo.co.id>,
pawit ajalah <haryanti_pw@yahoo.co.id>,
wir awan <wirawanlbh@yohoo.com>,
mardi trigan <marditarigan@ymail.com>,
sri utami utami <tami_soewito@yahoo.co.id>,
lwg bdg <labour@indo.net.id>,
bandung melawan <bandung.melawan@gmail.com>,
George Martin Sirait <martin.sirait@atmajaya.ac.id>,
hendra yana <ndra_174@yahoo.co.id>,
hw jea <jea@daehan.co.id>,
yu nanto <ignatius_yunanto@yahoo.com>

anti kritik = kontra ilmiah

ketika aparatur kampus, memahami kritik (berupa lisan/tulisan) sebagai duri di tengah kondusivitas kampus, maka kampus tersebut sudah kontra ilmiah. kenangan pahit kondisi kampus selama kekuasaan orde baru, kini hadir kembali di kampus UPI Bandung.

istilah-istilah "larangan afiliasi", "kritik itu harus membangun", "pembekukan" adalah istilah bahasa Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya (pernah dibahas dalam tulisan Ariel Heryanto), mulai tampil terang-terangan ketika rezim incumbent kembali terpilih menjadi rektor beberapa bulan lalu. lebih konkretnya ketika Pers Mahasiswa UPI (IsolaPos), menerbitkan edisi khusus yang membahas tentang terpilihnya kembali Sunaryo K sebagai Rektor UPI 2010-2015 dan segala polemik yang pernah muncul di UPI pada periode sebelumnya.

kondisi seperti ini telah konkret di setiap kampus, tak hanya UPI Bandung. bahwa kebebasan berpendapat telah terancam. jelas pula bahwa kampus telah membedakan atara intra dan ekstra, karena ormawa--akan dijadikan boneka birokrasi kampus. itulah sebabnya organisasi ekstra sama haramnya seperti parpol di dalam kampus. tak heran ketika Isolapos tak sepaham dengan misi kampus yang kian komersil, dianggap bertentangan dan menyalahi fitrahnya sebagai organ intra kampus (UKM). ini berarti kebebasan berorganisasi pun sama terancam. maka, saya sepakat dengan bait puisi Wiji Thukul di bawah ini:

...

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.