Translate

Kronologis Tindakan Perusakan, Penjarahan dan Pemukulan Terhadap Warga Korban Gempa Jabar 2009 di Lahan Walatra, Desa Sukamanah, Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Mungkin rata-rata masyarakat di negeri ini beranggapan, bahwa persoalan penanganan terhadap warga korban gempa jabar 2009, khususnya di Pangalengan telah tuntas ditangani pemerintah. Namun, perlu diketahui, bahwa sampai saat ini (saat tulisan ini dibuat), warga korban gempa tersebut tak hentinya mendapat tekanan, ancaman, penghinaan, bahkan kekinian mendapatkan tindak perusakan dan pemukulan.

Ini semua terjadi, karena korban gempa jabar 2009 tersebut menduduki tanah PTPN VIII atas dasar pernyataan ketidaklayakan tempat huni asal—kp. Marga Kawit, Desa Sukamanah, Kec. Pangalengan—dari Dede Yusuf (Wagub Jabar), dengan tolok ukur tentang kelayakan kondisi lahan hunian yaitu: kemiringan tanah 450-600, pasak bumi yang telah habis, rawan longsor, dan permukaan tanah yang mudah bergetar (ketika kendaraan besar melintas).

Pernyataan ini kemudian diperkuat dengan surat rekomendasi DPRD Komisi A Kab. Bandung, tertanggal 16 November 2009 yang berisi bahwa: “sementara hingga ada tempat untuk relokasi resmi dari pemerintah daerah, warga korban gempa jabar 2009 direkomendasikan untuk menduduki lahan HGU PTPN VIII Malabar sebagai tempat huni, tanpa ada gangguan dari pihak mana pun”.

Surat rekomendasi dari DPRD Komisi A Kab Bandung tersebut, lebih mendapat penjelasan ketika dibuat surat kesepakatan antara Warga Walatra dan Pihak PTPN VIII bertanggal 16 Desember 2009 yang ditandatangani oleh Undang Kosasih (wakil adm). Isi dari kesepakatan tersebut di antaranya adalah: “bahwa pihak warga dan PTPN harus saling tidak melanggar batas yang telah disepakati (2 Ha untuk lahan hunian warga Walatra sampai ada relokasi resmi dari pemerintah), warga korban gempa tidak membuat rumah permanen di atas lahan Walatra, dll.

Meski warga korban gempa bumi jabar 2009, Walatra, memiliki kelegalan hukum dengan bukti-bukti dokumen di atas, namun mereka tetap saja mengalami tekanan, teror, penghinaan, ancaman, hingga perusakan, penjarahan dan pemukulan. Tercatat telah empat kali serangan fisik dari pihak PTPN VIII yang bermaksud mengusir warga Walatra.

Pertama: pada tanggal 16 Desember tahun 2009, tiga truk massa kebun beserta Undang Kosasih (wakil adm), Kamal, Fadli (waktu itu warga korban bencana gempa jabar 2009 masih tingal di bawah tenda-tenda pengungsian).

Kedua: pada bulan Februari 2011, 40 orang warga Marga Kawit yang dipimpin oleh Asep Osa (ketua RW saat itu), melakukan intimidasi terhadap warga Walatra agar warga segera pindah setelah mendapatkan dana rekonstruksi dari pemerintah. Perselisihan antar warga korban gempa yang masih tinggal di Marga Kawit dan yang telah pindah ke Walatra ini disebabkan oleh adanya pernyataan dari fasilitator penanganan gempa yang tinggal di mes Malabar yang bernama Bunda (panggilan sehari-hari) mengeluarkan pernyataan bahwa “dana rekonstruksi untuk warga korban gempa khususnya Desa Sukamanah, tidak akan dicairkan apabila warga yang menempati Walatra belum pindah”.

Ketiga: pada bulan Mei 2011, terjadi tindakan pelanggaran kesepakatan oleh pihak PTPN VIII terhadap warga Walatra, dengan melakukan penanaman teh di dalam batas kesepakatan lahan pemukiman Walatra. Sejumlah 200 orang pekerja PTPN VIII melakukan pencangkulan dan penanaman bibit teh. Tindakan tersebut dipimpin di lapangan oleh: Ade Bima (SPbun), Momo (Mandor Besar), Ayang (Mandor Besar), dan Ade Unen (Satpam Kebun), Jafar (Satpam Kebun), dan beberapa satpam lain juga beberapa mandor lainnya. Saat itu pula, hampir terjadi bentrok fisik atas kesemena-menaan pihak PTPN VIII, namun berhasil dilerai karena warga Walatra lebih memilih patuh pada instruksi polisi.

Keempat (ini tindakan kekinian yang terjadi pada hari Senin, 25 Juli 2011 dari pukul 06 pagi hingga catatan kronologis ini dibuat). Berikut pemaparan kejadiannya.

Pukul 06:00:    satu orang satpam kebun mendatangi lahan Walatra dan bertemu dengan warga Walatra. Kemudian satpam tersebut mempermasalahkan banyaknya tanaman teh (yang ditanam di dalam batas pemukiman Walatra pada bulan Mei 2011—baca: tindakan penyerangan ketiga) yang rusak dan hilang. Satpam berkata bahwa “seharusnya warga Walatra menjaga tanaman teh” tersebut. Sementara jawaban dari salah seorang warga Walatra adalah: “bahwa tempat tanaman teh tersebut berada di pinggir lapang bermain anak-anak, sehingga tanpa disengaja menginjak tanaman teh tersebut”. Selang kejadian itu, pada

Pukul 07:00:    datang kembali, kini 2 orang, dari pihak PTPN VIII dan menyatakan bahwa warga Walatra harus menanggung akibat hilang dan rusaknya tanaman teh tersebut. Dan tak lama kemudian berdatangan sejumlah massa dari pihak PTPN VIII ke lokasi pemukiman Walatra.

Pukul 09:00-10:00:      Banyaknya massa dari pihak perkebunan, tersebar di tiga titik: pos satpam PTPN VIII (di Bebendul pintu), di lokasi pemukiman, dan di sekitar rumah Surya. Jumlah massa dari pihak PTPN VIII tersebut berkisar sekitar 300 orang lebih (terdiri dari orang tua, pemuda, dan anak-anak). Rata-rata orang tua dan pemuda dari massa tersebut dalam keadaan mabuk dan membawa senjata tajam (golok, arit, bambu runcing, bambu berpaku), serta senjata tumpul (balok kayu). Mereka meneriakkan ancaman (akan membakar rumah bahkan orangnya), hinaan (bahwa warga Walatra tidak punya malu, tidak punya pendidikan, telah mencuri tanah milik PTPN VIII).

***


Pada waktu yang bersamaan, massa PTPN yang berada di sekitar rumah Surya, akan merusak rumah Surya. Karena secara Kebetulang Mang Patah hendak pergi berkebun untuk untuk menyebar benih cabai dan melewati kerumunan massa PTPN VIII, beliau akhirnya beradu mulut.

Tak lama setelah mang Patah beradu mulut dengan Massa PTPN VIII yang akan merusak rumah Surya, datang Asep dan Jajang Ngantuk membantu mang Patah. Tapi, kedatangan kedua orang tersebut langsung disambut desakan fisik dan pukulan. Karena merasa keselamatan jiwanya terancam dan melihat Asep dan Jajang Ngantuk sudah terkena beberapa pukulan, akhirnya secara terpaksa membela diri dengan cara melemparkan benih cabai yang hendak ia sebar di lahannya ke arah Massa dari pihak PTPN VIII.

Kedatangan pak Sofyan (Kanit Polsek Kecamatan Pangalengan), membuat tindakan pemukulan terhenti sejenak. Kemudian pak Sofyan mengajak pihak warga Walatra dan massa pihak PTPN VIII untuk berdialog di kantor Desa Sukamanah. Direkomendasikanlah 2 orang dari pihak warga Walatra, dan 2 orang dari pihak PTPN VIII.

Selang beberapa menit, dari usulan pak Sofyan tersebut, datanglah Surya dari kantor Polsek (menginformasikan kejadian di Walatra), dan Pa Momo dari kebun. Kemudian mereka berangkat menuju kantor desa Sukamanah diikuti massa PTPN VIII beserta 3 warga (Yana, Teten, dan Ade Jon).

***


Sekitar pukul 10:00, ketika pak Momo dan Surya berada di dalam kantor Desa Sukamanah, dialog dimulai dengan dihadiri oleh pihak polsek, koramil, dan perangkat desa, dan pihak Kebun (Undang Kosasih, Ade Unen, dan massa PTPN VIII berjejal di dalam dan halaman kantor desa). Dalam proses dialog, Undang Kosasih memaksa Pak Momo dan Surya untuk menandatangani surat perjanjian baru. Karena paksaan tersebut ditolak oleh dua perwakilan warga Walatra, massa PTPN VIII mendesak masuk ke dalam ruang kantor dengan maksud menyerang dua orang perwakilan warga Walatra sambil Meneriakan kata-kata ancaman (urang duruk!, Urang teuleumkeun ka Cileunca, Urang Culik dll). Sekitar pukul 11:05, Karena dipandang membahayakan keselamatan dua orang perwakilan warga Walatra, kemudian Wawan (intel polsek), membawa dua orang tersebut ke kantor polsek Pangalengan dengan maksud pengamanan dari amukan massa PTPN VIII.

Pada saat bersamaan, sesaat sebelum Pa Momo dan surya di amankan ke polsek, salah seorang orang warga (Teten) dipukuli oleh massa PTPN VIII yang berada di pekarangan kantor desa Sukamanah.

***


Sementara dua orang warga Walatra lainnya (Yana dan Ade Jon) yang terlebih dahulu meninggalkan pekarangan kantor desa untuk menginformasikan perkembangan kondisi pada warga yang berada di pemukiman Walatra. Baru berjarak sekitar 10 meter dari pekarangan kantor desa, tepatnya di perempatan jalan utama pintu Malabar - Jl. Kp Barusulan - Jl. Kp Marga Kawit, sekitar pukul 11:00, dua orang tersebut dihadang oleh sejumlah massa yang bertanya “sia anak na si Momo?” (kamu anaknya Pak Momo?), tanya orang yang menghadang pada Yana, “heu euh aing anak Pa Momo” (Ya, Saya anak Pak Momo) jawab Yana. Mendapat jawaban tersebut, masa yang menghadang tak lagi banyak bicara. Segera melakukan penyerangan terhadap dua orang warga walatra tersebut. Di antara sejumlah massa yang sedang melakukan pemukulan, terdengar teriakan “podaran euy” (Bunuh!) dan terlihat oleh Yana, ada yang membawa bambu berpaku yang hendak dihantamkan padanya. Untunglah ia dapat mengelak. Begitu pula yang dialami oleh Ade Jon, ia di pukuli tak hanya dengan tangan kosong, melainkan memakai bambu dan oleh banyak orang (keroyok).

Kemudian datanglah Asep beserta dua orang cucu pak Momo yang berumur di bawah lima tahun, mencoba membantu Yana dan Ade Jon dan meninggalkan dua bocah balita beserta motornya di tengah jalan karena kalap melihat adiknya sedang dipukuli (dikeroyok).

Tak lama setelah Asep turun tangan, dan akhirnya dikeroyok juga, datanglah beberapa polisi dan tentara untuk melerai pemukulan tersebut dengan memberikan satu tembakan peringatan. Tiga orang warga Walatra pun diseret untuk diamankan dan dibawa ke rumah salah satu korban.

***


Mendengar kabar bahwa Teten sedang di pukuli di kantor desa Sukamanah, sekitar pukul 11:05, sebagian warga Walatra menuju kantor desa Sukamanah untuk membantu Teten. Namun, ketika sebagian warga Walatra tersebut sampai di kantor desa, massa PTPN VIII malah telah menuju lokasi pemukiman untuk melakukan perusakan.

Perusakan rumah warga korban gempa jabar 2009 dimulai sekitar pukul 11:15. awalnya adalah rumah Ujang S yang dikomandoi dan diawali oleh Ayi Bedog, lalu kerumah Ayi, kemudian ke rumah Ndo, setelahnya ke rumah dan kandang domba pak Iye (saat massa PTPN VIII melakukan Perusakan terhadap rumahnya, istri pak Iye, berumur 47 tahun, mengalami pelecehan—pelemparan sampah pada bagian muka—,  diancam mau dibakar rumahnya, dihina dengan kata-kata “dasar tidak punya malu menempati tanah milik PTPN VIII, dasar tidak sekolah, dasar PKI) oleh salah satu massa PTPN VIII yang bernama Ayi Bedog. Setelah merusak rumah pak Iye, datanglah pihak Polisi dan menggiring massa PTPN VIII tersebut ke tempat paling luar lokasi pemukiman Walatra. Untuk istirahat dan turun minum. Massa PTPN VIII tersebut diberi beberapa dus Aqua gelas oleh satpam PTPN VIII yang dibantu supir Pintuan (angkutan umum Pangalengan). Ketika massa PTPN VIII yang telah merusak beberapa rumah tersebut sedang istirahat untuk turun minum, beberapa jumlah massa lainnya berdatangan dari arah pintu Malabar, entah berapa orang (menurut kesaksian, berjajar ke belakang seperti antrean semut menyusuri galengan (jalan setapak) di antara tanaman teh PTPN VIII).

Kedatangan massa PTPN VIII yang berdatangan serupa antrean semut tersebut, ternyata untuk bergabung bersama massa PTPN VIII yang sedang istirahat untuk turun minum tadi. Setelah mereka berkumpul. Sejumlah ratusan massa PTPN VIII tersebut terbagi bagi tiga tindakan: ada yang melanjutkan tindakan perusakan dengan tujuan perusakan terhadap rumah Surya, yang lainnya melakukan pencangkulan lapang tempat bermain anak-anak, sementara sebagian lagi melakukan pengawasan.

***


Posisi massa PTPN VIII yang sedang melakukan perusakan terhadap rumah Surya berjarak sekitar 20 meter dengan massa warga Walatra yang hanya berjumlah 20 orang laki-laki, dan sebagian besar ibu-ibu, anak-anak, serta Jompo yang sebenarnya sejak awal kejadian perusakan telah berkurang banyak dari jumlah penghuni yang sebenarnya karena telah diungsikan ke Marga Kawit akibat syok dan pingsan.

Atas tindakan brutal massa PTPN VIII yang sedang melakukan perusakan, penjarahan dan penganiayaan terhadap ternak (Sapi) milik Surya sejak sekitar pukul 12:30, sejumlah massa Walatra hanya duduk diam menyaksikan tindakan brutal tersebut agar tidak terprovokasi oleh Ayi Bedog yang tak henti-hentinya menghina, melecehkan, bahkan menantang untuk beradu fisik.

Sementara dua orang polisi yang ada saat itu dan berada dekat dengan massa PTPN VIII yang sedang melakukan perusakan tidak melakukan apa-apa, bahkan cenderung melakukan pembiaran. Dan beberapa tentara yang ada di lokasi, dan berada dekat dengan warga Walatra, melakukan hal yang sama dengan polisi, bahkan meminta pada warga Walatra untuk duduk manis menyaksikan perusakan yang sedang terjadi.

Pemandangan memilukan yang menimpa korban gempa jabar 2009 di tengah hamparan kebun teh yang luas ini berlangsung hingga pukul 14:30, ketika rumah surya telah lantak, beberapa sapinya berlarian dan ada yang dibacok, suara pecahan kaca telah ke sekian kalinya berserakan di telinga, bahkan talang utama telah di tarik hingga muka rumah roboh, baru pasukan Dalmas datang dan menghalau massa PTPN VIII yang telah lemas karena puas menguras dan meremas rumah Surya (salah satu Pimpinan warga Walatra, lulusan Geodesi Unpad Bandung) yang beberapa hari sebelumnya melayangkan surat keberatan atas penanaman tanaman teh pada bulan Mei lalu. Dan mengirim surat keberatan itu pada Pemerintah Provinsi dengan tembusan kepada pihak Desa Sukamanah, Muspika, dan PTPN VIII Malabar. Dan inilah jawaban dari PTPN VIII atas surat keberatan warga Walatra yang bertandatangan atas nama perwakilan warga (Surya).

Setelah massa PTPN VIII yang melakukan perusakan pergi meninggalkan lokasi pemukiman warga Walatra, diintruksikan lah oleh pak Wawan untuk mengamankan barang-barang milik Surya. Dari  puing-puing akibat perusakan tersebut kemudian diketahuilah bahwa terjadi pula penjarahan (isi kelontong dan perabot dapur), pencurian (uang kontan sejumlah Rp. 1.500.000,- dari dompet yang disimpan di dalam lemari dan Rp 80.000,- yang tersimpan di dalam kelontong) terhadap kepemilikan Surya. Pada waktu yang bersamaan pula, warga Walatra dikumpulkan oleh pak Wawan untuk membawa barang-barang berharga warga Walatra turun ke Marga Kawit. Dari saat itu hingga pukul 21:30, aktivitas pengungsian barang berharga terus berlangsung. Terhitung 12 rumah rusak parah, 2 kandang hewan ternak (kandang kambing dan sapi) rusak, dan 5 orang sebagai korban pemukulan dan pengeroyokan.

***


Pada jam 19:30, pihak koramil: pak Tatang (koramil), Tarman (Babinsa), serta Agus (camat Pangalengan) bertamu ke rumah pak Momo yang di dampingi 2 tentara lagi di luar rumah. Inti pembicaraan dari pihak koramil, meminta agar pihak warga Walatra memandang kejadian ini sebagai musibah dan upaya penyelesaiannya lewat jalan dialog dan kekeluargaan, dengan tidak menggunakan jalur hukum yang ribet dan berbelit, dan dari inti pembicaraan pak Camat lebih pada penyerahan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan siang tadi pada birokrasi di atasnya (kabupaten dan propinsi), dan menyerahkan segala proses ajuannya pada pihak warga Walatra. Forum tersebut, lebih lama dalam hal pembicaraan yang tak tentu arah, hingga pukul 22:15.

Dari pukul 08:30 - 13.30, satu hari berikutnya (selasa, 26 Juli 2011), beberapa tentara beserta Camat, melakukan pendataan warga Walatra dengan dalih “pengecekan warga walatra karena ada isu bahwa penghuni Walatra adalah rata-rata orang luar Pangalengan”. Dari hasil pendataan tersebut, kemudian terbuktilah bahwa dugaan tersebut (yang telah menjadi kecemburuan sosial pekerja kebun) ternyata tidak tepat. Karena sesungguhnya, warga Walatra yang masih bertahan di lahan Walatra adalah korban gempa jabar tahun 2009 yang lalu, yang asal mula mereka adalah warga Marga Kawit. desa Sukamanah.

Disinyalir, dugaan ini (lebih tepat tuduhan dari entah): bahwa pernyataan yang menyatakan mayoritas warga Walatra adalah orang luar Pangalengan yang ingin mendapat tanah secara gratis dari PTPN VIII adalah upaya konkret pembelokan pemahaman warga sekitar Walatra. Agar kemudian tersebar wacana bahwa warga Walatra adalah pencuri tanah milik PTPN VIII dan bukan korban gempa jabar 2009. Ini jelas, suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan tidak BERPRIKEMANUSIAAN. Karena WARGA KORBAN GEMPA JABAR 2009 TELAH DIFITNAH, DIANCAM, DIINTIMIDASI, DIADUDOMBAKAN, DITEROR, DIPUKUL, DIJARAH, DICURI, dan rumah mereka yang tidak permanen pun DIRUSAK.

Bahkan tak selesai sampai di situ. Pada pukul 18:15, warga Walatra harus sport jantung kembali mendapat informasi bahwa warga kampung kebun Malabar dan warga kampung kebun Babakan Tanara telah berkerumun di tempatnya masing-masing dan diisukan akan melakukan penyerangan terhadap warga Walatra.

Dan setelah dikonfirmasi oleh pak Momo, tentang kebenaran informasi ini pada pak Wawan (intel polsek), dan secara kebetulan beliau sedang berada di kampung kebun Babakan Tanara, membenarkan bahwa warga kampung kebun Babakan Tanara telah berkumpul. Tapi bukan untuk menyerang, melainkan bersiap untuk menghadapi serangan balik dari warga Walatra.

Warga Walatra tak habis pikir atas isu penyerangan (yang dihembuskan oleh “entah”) yang akan dilakukan oleh warga Walatra yang hanya berjumlah 20 orang laki-laki dewasa dan selebihnya hanya ibu-ibu, anak-anak di bawah umur, serta jompo dengan jumlah total tinggal 76 KK terhadap warga kampung kebun Babakan Tanara dan Malabar yang tentu secara jumlah dan kekuatan pun jauh lebih besar dibanding warga Walatra (yang ketika diserang pun hanya duduk diam menyaksikan kengerian atas kebrutalan massa PTPN VIII saat itu)

Kini, pukul 22:45, ketika kronologis ini dituliskan hingga pukul 02:28, suasana di lokasi pemukiman warga korban gempa jabar 2009 yang ditempatkan di Walatra, dalam keadaan mencekam, dan traumatik. Berkumpul di antara puing-puing rumah. Wajah memar dan perih akibat luka. Sama seperti ketika nyawa mereka terancam oleh bencana gempa 2 tahun yang lalu.

Pangalengan, 27 Juli 2011


 


DAFTAR KERUGIAN FISIK WARGA WALATRA ATAS TINDAKAN PERUSAKAN MASSA PTPN VIII MALABAR


(Senin, 25Juli 2011)
















































































































































































































no



Nama dan usia pemilik rumah



Jenis rumah



Luas



kerusakan



Jumlah penghuni



Perabot rumah



Kerusakan lain



hilang



rusak



1.



Cahya (32th)



Panggung



4x6



Dinding dan atap



4 orang



-



Perabot dapur, prangkat makan, tv 14”



-



2.



Pa Udis (56)



Panggung



4x6



Dinding dan atap



3 orang



Asbes dan kaca



Perabot dapur, prangkat makan, tv 14”



-



3.



Feri (45)



Pangung



4x6



Dinding dan atap



5 orang



Asbes dan kaca



prangkat makan



Pagar dan tanaman kentang 140 m2



4.



Ade Yono (40)



Semi tenda



4x7



Dinding



6 orang



Pompa air



Perabot dapur, perabot rumah, prangkat makan,



-



5.



Jek (40)


   

3 orang


  

Tanaman kentang 140 m2



6.



Cucu (35)



Pangung



4x6



Total



3 orang



-



Total



-



7.



Asep (40)



Semi tenda



4x7



Hancur total



5 orang



-



Total



-



8.



Ma Engkom (71)



Semi Tenda



4x7



Hancur total



1 orang



-



Total



-



9.



Ibu Alit (40)



Pangung



3x5



Dinding dan kamar mandi


 

-



-



-



10.



Ibu Nung (40)



Panggung



8x6


+


3x3



Kaca dan dinding



3 orang



Besi plat dan alumunium



Tempat tidur



Kandang ternak domba 8x7, tanaman kacang 140 m2



11.



Endo (26)



Pangung



4x6



Dinding



3 orang



-



-



-



12.



Pak Enje (65)



Semi Tenda



4x7



Roboh



3 orang



-



-



Tanaman kentang habis



13.



Pak Amir (60)



Panggung



8x6



-



3 orang



-



-



Tanaman kentang habis



14.



Ujang S (40)



Semi Tenda



4x4



-



 4 orang



-



-



Tanaman kentang 140 m2



15.



Ayi Ating (35)



Panggung



6x6



Dinding



5 orang



-



-



-



16.



Surya



Semi permanen



6x6



Total



5 orang



Uang Rp. 1.580.000,-


Wajan, dan barang dagangan



Total



Kandang sapi, 2 ekor sapi luka-luka, bio gas.



17.



Mak Cucu



Panggung



3x5



Dinding



2 orang



Barang dagangan



-



warung kelontong



Catatan:

-          Biaya pembangunan rumah: panggung Rp. 900.000,-/ m2, semi tenda Rp. 300.000,-/ m2

-          Semi tenda (kerangka dari kayu, dinding dengan bilik, namun atap dari terpal)

-          Biaya tanam kentang Rp. 100.000,-/14 m2

Disusun oleh warga walatra pada hari Rabu, 27 Juli 2011 pukul 09:10 WIB


 


[slideshow]

TOLAK RUU PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Pernyataan Sikap Yayasan LBH Indonesia Tentang perampasan tanah dengan RUU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, disampaikan Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia Alvon Kurnia Palma, SH dan Abdul Kadir Wokanubun, SH masing-masing sebagai wakil ketua dan direktur advokasi dan kampanye, Rabu (23/3).

Pernyataan sikapnya sebagai berikut:

Modus perampasan hak atas tanah rakyat marak terjadi di negara ini, mulai pada jaman Orde Baru hingga sekarang. Berbagai bentuk perampasan dan pencaplokan tanah-tanah rakyat dengan mengatasnamakan Pembangunan demi kepentingan umum, namun faktanya pembangunan yang dimaksud hanya untuk kepentingan segelintir orang-orang yang disekeliling pemegang tampuk kekuasaan (negara) & yang punya modal (swasta).

Konsepsi Pembangunan untuk kepentingan umum kemudian ditafsirkan dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang dirubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pada awalnya sangat ditentang oleh masyarakat banyak.

Saat ini Perpres tersebut bermetamorfosa menjadi RUU Pengadaan tanah Untuk Kepentingan Umum.

DPR-RI melalui Surpres Nomor R-98/Pres/12/2010 tertanggal 15 Desember 2010 menyerahkan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Dalam Surpres ini Presiden memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala BAPPENAS secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri mewakili pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang ini.

RUU ini disahkan menjadi Prolegnas prioritas tahun 2011 pada tanggal 14 Desember 2010 oleh Ketua DPR-RI Marzuki Alie melalui Keputusan DPR-RI Nomor 02B/DPR RI/II/2010-2011 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2011, dan Saat ini RUU tersebut sementara di bahas di DPR RI.

RUU Pengadaan Tanah mempunyai anatomi Judul, Konsiderann sosiologis, philosophis dan batang tubuh. Sedangkan batang tubuh terdiri dari XI BAB dan 73 pasal.

RUU ini secara umum mengatur tentang pengadaan tanah untuk kepentingan untuk kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta (vide pasal 4 RUU).

Pengaturan pengadaan tanah sebagaimana disebutkan dalam pasa 4 RUU tersebut mempunyai tahapan proses yang mirip yakni meliputi adanya proses pengadaan tanah yang apabila untuk kepentingan umum lebih menditeil jika dibandingkan untuk kepentingan swasta.

Adapun RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang baru ini juga menyimpan potensi masalah yang cukup mengkhawatirkan & pemaksaan kehendak Negara yang kecenderunganya akan terjadi pelanggaran HAM.

RUU Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum lahir di tengah konflik pertanahan yang tak berkesudahan.

Yayasan LBH Indonesia dengan 15 kantor LBH melalui catatan akhir tahun 2010, menangani sebagian besar konflik agraria, dengan jumlah 3.406 kasus, yang melibatkan pemegang tampuk kekuasaan (negara) & yang punya modal (swasta) , maka sudah bisa di pastikan ketika RUU ini menjadi UU eskalasi konflik pertanahan semakin massif dan tentunya rakyat yang menjadi korban.

RUU Pengadaan tanah untuk kepentingan Umum merupakan alat legitimasi perampasan tanah rakyat tanpa adanya jaminan perlindungan hak milik, mengingat RUU ini mensyaratkan kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi.

Padahal, sebagian tanah rakyat yang ada di Indonesia tidak beralaskan sertifikat, hanya mengandalkan kebiasaan-kebiasaan lokal dengan batas-batas alam.

Berdasarkan itu, Yayasan LBH Indonesia yang konsern terhadap HAM, Hukum dan Demokrasi menyatakan sikap :

1. Menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang sedang dibahas oleh Pansus DPR-RI;

2. Menghentikan pembasan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan oleh Pansus DPR-RI. *en*

Kampanye Bulan Ini "Segelas Beras untuk Petani"

Kronologis Konflik Lahan Antara AGRA AC Pangalengan dengan PDAP

Rangkaian upaya PDAP untuk merebut kembali lahan yang kini digarap anggota AGRA diawali pada pertemuan antara pihak PDAP, Umar ghani (Komisi C dari partai gerindra) dengan warga Marga Mekar di gd. Pertemuan Tani, lingkungan desa Marga Mekar, pada Minggu, 20 februari 2011. Yang mengeluarkan surat undangannya adalah Partai Gerindra AC Pangalengan dengan agenda pembahasan kerja sama di bidang pertanian dengan bentuk pemerian modal, bibit dan obat. Dan pihak AGRA yang diundang hanya Sutarman (AC AGRA).

Warga yang menghadiri pertemuan tersebut hampir semuanya menyepakati program kerja sama tersebut. Namun setelah diketahui bahwa lahan yang menjadi sasaran progran tersebut adalah lahan Sampalan, maka Bung Tarman angkat bicara dan membantah kesepakatan tersebut dan meminta agenda pembahasan tersebut diulang kemudian hari dan bersama angota AGRA. Maka kesepakatan warga saat itu pun dianggap tidak sah.

Ternyata pada seminggu kemudian, Minggu, 27 februari 2011, terjadi pertemuan dengan cara yang serupa di kp. Citere, desa Sukamanah tanpa sepengetahuan Bung Tarman. Saat itu, selain warga, dihadiri juga oleh pimpinan Ranting Sukamanah 2 Pa Momo, dan Dahro (Pim. AC) yang kemudian melakukan penolakan serupa dengan Bung Tarman saat di desa Marga Mekar. Maka pertemuan pun tanpa kesepakatan apa pun.

Setelah berkali-kali Asep Umar mendatangi rumah Sutarman untuk memastikan agenda pertemuan antara Gerindra, PDAP, dan AGRA, akhirnya pada hari Minggu, 13 Maret 2011, kembali digelar pertemuan di Gd. Pertemuan Tani, Desa Marga Mekar, dengan agenda pembahasan soal kemitraan dan legalsasi garapan tanah Sampalan. Dari pihak PDAP dihadiri oleh Asep Sunarya (Direksi PDAP) beserta jajarannya, Umar Ghani (Komisi C DPRD Jabar, dari P Grindra), dari pihak AGRA dihadiri oleh hampir seluruh pimpinan dan beberapa puluh anggota hinga memenuhi ruangan. Pertemuan tersebut dimoderatori oleh Asep Umar (AC Pangalengan P Grindra).

Penyampaian dari Umar Ghani diawali dengan klarifikasi soal keterkaitan Prabowo dalam program kerja sama tersebut, kemudian tentang peran dan fungsinya sebagai dewan Komisi C yang mengasuh perusahan daerah propinsi dan berupaya menjembatani konflik antara PDAP dengan AGRA melalui program kemitraan. Kemudian mengantarkan Asep Sunarnya untuk menjelaskan lebih dalam soal program legalisasi hak garap lahan Sampalan.

Penyampaian dari Asep Sunarya lebih pada penjelasan legalisasi yang dimaksud sejak pertemuan pertama dan kedua. Ternyata PDAP bermaksud mengeluarkan SKP (Surat Keterangan Penggarap) yang berisi 9 poin perjanjian yang cenderung merugikan peran dan posisi petani penggarap (AGRA) dengan harus mengakui SHPL 2004 PDAP, dan tunduk pada peraturan penggarapan (jenis tanaman, masa penggarapan) yang ditentukan oleh PDAP.

Maka ketika Umar Ghani ijin pada forum untuk meninggalkan ruangan karena istrinya sakit, para pimpinan pun turut meninggalkan ruangan tanpa memberi pendapat atau tangapan atas dua penyampaian sebelumnya. Pertemuan pun bubar tanpa ada kesepakatan.

Kemudian pada hari kamis, 17 maret 2011 di bekas kator BBU, pihak PDAP mengumpulkan preman di 3 desa (Pulosari, Marga Mekar, Sukamanah) untuk dibentuk tim. Menurut informasi, yang hadir saat itu ada 35 orang. Namun kemudian hanya 30 orang yang benar-benar jadi tim bentukan PDAP. Terdiri dari 14 orang dari desa Marga Mekar yang dikordinatori oleh Asep Umar (AC Pangalengan P Grindra) dan 16 orang dari desa Sukamanah yang dikordinatori oleh Intan (ketua LPMRI—Lembaga Pemantau Masyarakat RI). Dengan upah antara Rp. 80.000,- sampai Rp. 100.000,- per hari. Secara umum tugas tim 30 tersebut adalah mengajak dan menghimpun fotocopy KTP, KK, serta tandatangan anggota AGRA di atas SKP bermatrai Rp. 6.000,- sebagai bukti kesepakatan program yang ditawarkan pada tiga pertemuan sebelumnya. Tindakan ini sama sekali sepihak. Tanpa persetujuan sedikit pun dari pihak AGRA.

Dalam perkembangannya, nyatalah praktek tim 30 tersebut bisa dinyatakan telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan demi mendapatkan tanda tangan anggota di atas SKP yakni dengan bentuk penipuan: mernyatakan bahwa telah 70% anggota AGRA telah sepakat bermitra, akan diberi sapi, program bantuan tanpa pengambilan lahan, dan bahkan mengabarkan bahwa pimpinan Anak Cabang AGRA pun telah memberikan tandatangannya di atas SKP.  Bahkan sampai melakukan pemaksaan terhadap anggota AGRA.

Akhirnya terjadi kebingungan dan ketakutan di tengah anggota AGRA. Ada yang percaya begitu saja, ada juga yang melakukan klarifikasi langsung pada pimpinan tentang kabar yang dihembuskan oleh tim 30 bentukan PDAP tersebut. Maka secara organisasioanal AGRA kemudian mengintruksikan pada masing-masing Pim. Ranting untuk melakukan klarifikasi pada kelompok dan anggota tentang benar atau tidaknya isu tersebut.

Pada tanggal 13 April, digelar kembali pertemuan yang digagas PDAP dengan arahan hanya mengundang jajaran Pimpinan AGRA saja, tapi pertemuan tersebut dihadiri hampir 250 anggota AGRA hingga 2 ruang kelas di sekolah Citere, Desa Sukamanah tak mampu menampung anggota yang datang ke tempat tersebut. Dari pihak PDAP, pertemuan tersebut dihadiri oleh orang dandengan pembahasan yang sama dengan tiga pertemuan sebelumnya, namun untuk kali ini didampingi oleh Polsek dan Koramil.

Ketika sesi tanya jawab dibuka oleh Asep Umar, seseorang Bernama Abas, warga Citere (non anggota AGRA) mengajukan diri dan dipersilahkan maju di antara beberapa anggota dan pimpinan yang mengajukan diri untuk bicara. Karena yang diutarakan oleh seorang Abas tersebut dinilai telah keluar jalur pembahasan dan dalam upaya menjatuhkan AGRA di depan PDAP, Dewan, Polsek dan koramil bahwa telah terjadi pungutan terhadap penggarap (anggota) dalam bentuk iuran sebesar Rp. 1.500,-/bulan dengan tanpa pemerian kwitansi, maka terjadi keributan yang membuat Abas berhenti berbicara dan forum pun bubar dengan kondisi yang memanas.

Di sela keributan tersebut, terdengar celotehan dari Koramil bahwa akan ada pimpinan yang diculik di kemudian hari karena telah menolak ajakan kerjasama dari PDAP. Sebagai respon atas kejadian tersebut, kemudian AGRA menggelar rapat darurat dan memutuskan untuk menolak secara tegas ajakan PDAP tersebut, dan menghentikan segala rayuan, intimidasi dan penipuan yang dilakukan oleh Tim 30 terhadap anggota.

Maka pada jam 19:00, 14 kendaraan bermotor roda dua mendatangi pihak-pihak yang terkait dengan PDAD. Paling pertama kali didatangi adalah kantor Koramil di lingkungan kantor kecamatan Pangalengan, untuk memastikan celetukan tersebut, dan memastikan tanggung jawab Koramil bila dikemudian hari ada pimpinan yang hilang tanpa sepengetahuan seorang pun. Kemudian menuju kp. Keramat, desa Marga Mekar, rumah Asep Umar, untuk menyatakan penolakan secara tegas atas ajakan kerja sama dari PDAP dan menjelaskan alasan penolakan bahwa hakekatnya PDAP berupaya merampas kembali lahan Sampalan yang telah digarap AGRA selama 7 tahun lamanya. Dan saat itu pula Asep Umar menyatakan mengundurkan diri dari tim 30 bentukan PDAP. Setelahnya rombongan langsung menuju sekretariat LMPRI di kp Citere, desa Sukamanah, arahan utamanya selain menyatakan penolakan kerjasama yakni untuk memastikan juga mengambil SKP yang telah ditandatangani anggota yang diisukan oleh tim 30 telah mencaai 70% tersebut. Namun pihak LPMRI, yang pernyataannya diwakili oleh Intan, tidak mampu menunjukkan SKP yang berjumlah hingga 70% anggota AGRA, malahan berkilah bahwa SKP tersebut telah diserahkan pada PDAP dan disimpan di kantor barunya di daerah Dago, Kota Bandung. Dengan penuh rasa kecewa, namun masih dalam koridor kesopanan sebagai tamu, pimpinan AGRA menuntut agar pihak LPMRI, pada tanggal 1 mei 2011 dapat menyerahkan SKP tersebut.

Setelah lumayan lama, segala intimidasi dari tim 30 bentukan PDAP reda, apalagi ketika tanggal 1 mei 2011, AGRA saat itu menggelar aksi lokal dalam momentum May Day, sekitar 250 motor mendatangi kembali pihak-pihak yang terkait dengan PDAP yakni LPMRI, dan Polsek Pangalengan untuk mengambil SKP (meski hanya beberapa saja fotocopy KTP dan KK anggota yang didapat dan ada juga yang non anggota).

Ternyata pihak PDAP, atas nama Asep Sunarya (Direksi PDAP) kemudian mengambil jalur hukum setelah segala upaya intimidasi, rayuan, dan negoisasi gagal dengan tindakan mengkriminalisasikan AGRA AC Pangalengan dalam bentuk pengaduan pada pihak Polres Bandung, dengan tuntutan KUHP pasal 385 tentang penggelapan tanah di atas lahan bersertifikat, serta perpu no 51 pasal 06 th 1960 tentang kondisi darurat. Mula-mula pada tanggal 26 mei 2011, Sutarman mendapat panggilan pertama dengan status sebagai Saksi untuk memberikan kesaksian pada tanggal 30 Mei 2011.

Sehari setelah menerima surat panggilan tersebut, Sutarman beserta Dije mendatangi LBH untuk mengkonsultasikan persoalan hukum yang sedang dihadapi. Karena kondisi yang tidak memungkinkan, pada tangga 30 Mei 2011, Sutarman tidak memenuhi panggilan tersebut. Kemudian pada tangga 02 Juni 2011, surat panggilan kedua datang agar Sutarman memberikan kesaksian pada tanggal 06 Juni 2011. Dan panggilan kedua tersebut dipenuhi. Dengan proses pem-BAP-an sekitar 4 jam di Polres Bandung, Soreang, Kab. Bandung, Jabar.

Kemudian pada tanggal 8 Juni 2011, datang surat panggilan pertama untuk Agit (pasal dan statusnya sama dengan Sutarman), Sumpena dan Ndang (pasal dan statusnya sama dengan Sutarman namun terdapat tambahan pada penjelasan tentang pendirian rumah di atas tanah bersertifikat) untuk memberikan kesaksian pada tanggal 9 Juni 2011 di Polres Bandung. Karena suratnya sampai melalui pihak RW, sangat mendadak, dan belum sempat menghubungi LBH, akhirnya 3 orang tersebut tidak memenuhi panggilan pertama. Namun tak lama kemudian pada tanggal 12 Juni 2011, mendapat kabar dari pihak RW ada surat panggilan kedua. Karena kedatangan suratnya lagi-lagi mendadak dan melalui RW, akhirnya hanya Agit dan Sumpena saja yang memenuhi panggilan pada tanggal 13 Juni 2011 dengan proses pem-BAP-an selama 3 jam dan Ndang tak sempat menerima informasi karena sedang berada di hutan (memburuh tani di hutan). Tapi akhirnya pada tanggal 14 Juni 2011 Ndang berangkat ke Soreang untuk memberikan kesaksian dan diproses BAP.

Sejatinya, segala upaya PDAP untuk merebut kembali lahan Sampalan dari tangan petani pengarap yang tergabung dalam ormas AGRA AC Pangalengan dengan bentuk kekerasan pada tahun 2004, penyuapan pada tahun 2005 dan kini pada tahun 2011 dengan bentuk bujukan kemitraan yang berujung pada kriminalisasi, bisa disebut perbuatan yang tidak menyenangkan, intimidasi dan teror. Karena petani penggarap memegang teguh pada UUPA th 1960, dengan konstitusi AGRA yang melarang praktek penyewaan atau pemindahtanganan, apa lagi jual beli lahan, maka gugatan hukum dari PDAP dianggap tidak berdasar secara hukum. Jika pun ada beberapa anggota yang melakukannya, karena terdesak kebutuhan darurat seperti untuk biaya pengobatan dan perawatan rumah sakit.

Tidak seperti yang telah dilakukan PDAP sebelum okupasi terjadi. Menurut keterangan, PDAP telah melakukan jual beli lahan seluas 1 Ha pada warga cieurih dengan tameng penebusan sertifikat tanah yang bekerja sama dengan pihak Desa Marga Mekar.Juga melakukan praktek penyewaan lahan (pada H Ayi, H Amas, Wargi Mandiri, Tresna Mekar, H Atan, H Aep, H Dadang, Mang Ruhyat, Ade Ustad, Paguyuban, dll) dengan biaya sewa Rp. 5.000,- s/d Rp. 6.000,- per tumbak per tahun (1 tumbak = 16 Meter2 / 14 Are / 0,0016 Ha), Praktek penebangan pohon,dan yang terungkap secara jelas oleh BPK atas pemeriksaan tahun buku PDAP 2003-2005 ditemukan praktek KKN oleh jajaran direksi PDAP seperti: Penyimpangan Penjualan Tanah dan Bangunan Eks Pabrik Tenun Garut (PTG) Jl. Guntur No. 9 Garut Merugikan Keuangan Daerah Sebesar Rp7.568.626.000,-. Penyimpangan Pemberian Kompensasi Bagi Penghuni Rumah Dinas dan Penggarap Lahan di Komplek Eks PTG Yang Tidak Didukung dengan Dasar Hukum Yang Sah, Merugikan Keuangan Daerah Sebesar Rp2.932.656.250,-. Penyimpangan Pemberian Bonus Penjualan Aset Eks PTG Yang Tidak Didukung dengan Dasar Hukum Yang Sah Merugikan Keuangan Daerah Sebesar Rp587.821.341,-. Penyimpangan Kegiatan Penambangan Mangan yang Tidak Mengikuti Ketentuan Yang Berlaku Merugikan Keuangan Daerah Sebesar Rp825.520.465,-. Penyimpangan Pada Pekerjaan Renovasi Bangunan Pabrik Teh Hitam yang Tidak Mengikuti Ketentuan yang Berlaku, Sehingga Merugikan Keuangan Perusahaan/Daerah Sebesar Rp428.057.839,63. Kenyataan ini tidak sejalan dari tujuan penggabungan 4 perusahaan daerah oleh Pemprop pada tahun 1999, yakni untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat sekitar dan meningkatkan PAD Pemprop Jabar.

Maka pada hari senin, 27 Juni 2011 AGRA AC Pangalengan menggelar aksi massa ke Gd. Sate dengan jumlah massa sekitar 700 orang dengan arahan beraudiensi bersama dewan komisi A dan C dengan tuntutan: cabut gugatan hukum PDAP, Bubarkan Tim 30 bentukan PDAP, hentikan segala bentuk intimidasi terhadap petani penggarap Sampalan, serta dikemudian hari minta dipertemukan dengan pihak BPN untuk membahas soal ajuan legalisasi seperti yang telah dilakukan AGRA AC Pangalengan pada tahun 2006 .

Atas tuntutan tersebut, pihak dewan komisi A dan C akan merespon dengan menghentikan tindakan kriminalisasi dari PDAP serta mengadakan forum bersama antara AGRA AC Pangalengan, PDAP, Perangkat Desa Marga Mekar, dan BPN untuk membahas status lahan sampalan dikemudian hari. Dengan syarat penyusunan sejarah lahan dan menghadirkan ahli sejarahnya, dan surat C dari Desa.

Pangalengan, 1 Juli 2011


Namun  pada perkembangannya, tepatnya pada tanggal 8 Juli 2011, datang surat panggilan dari Polres Bandung pada Sutarman dengan status tersangka. jerat hukum yang digunakan tinggal perpu no 51 pasal 06 th 1960 tentang kondisi darurat dengan keterangan atas dasar "pendudukan lahan di atas sertifikat SHPL PDAP seluas 340 tumbak". Sehingga pada tanggal 9 Juli 2011, Sutarman menghadap panggilan dan di-BAP kembali di Polres Bandung, Soreang, Kab. Bandung, Jabar. kemuadian, Sutarman menjadi tahanan kota dengan ketentuan wajib lapor setiap hari Senin dan Kamis.


Tidak seperti ketentuan wajib lapor biasanya, pada hari Senin 11 Juli 2011, Sutarman tidak sekedar memberikan tandatangan pada lembar wajib lapor tersangka tahanan kota, melainkan Sutarman terus mendapat desakan dan pertanyaan mengenai ajakan kerjasama dari PDAP dari penyidik.


Pada hari berikutnya; Rabu, 13 Juli 2011, surat panggilan datang untuk Mas Agit dan Sumpena, dengan status dan jeratan hukum yang sama. Perbedaannya hanya tentang luas penggarpan 60 tumbak pada suratnya masing-masing. sehingga keduanya datang memenuhi panggilan tersebut untuk pem-BAP-an ulang pada hari Kamis, 14 Juli 2011.


Atas perkembangan kondisi ini, satu pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak petani penggarap lahan Sampalan yang tergabung dalam AGRA AC Pangalengan: "mana janji dewan komisi A dan C Propinsi Jabar pada hari Senin, 27 Juni? tindakan kriminalisasi dari PDAP terus berjalan dan forum antara AGRA, PDAP, BPN dll tak kunjung tiba!".


Pangalengan, 17 Juli 2011

press release tuntutan Aksi AGRA AC Pangalengan 27 Juni 2011

Hentikan Tindakan Kriminalisasi  Terhadap Petani Penggarap Pangalengan

 

Upaya perampasan tanah di negeri setengah jajahan setengah feudal ini, kian massif dan meresahkan petani penggarap. Dengan bentuk bujuk dan rayuan, intimidasi, terror, hingga tindakan kriminalisasi.

 

Semua itu sedang dialami oleh petani penggarap lahan Sampalan, Desa Marga Mekar Kecamatan Pangalengan yang telah tergabung dalam organisasi massa AGRA AC Pangalengan.

 

Sejak bulan Maret 2011, pihak perusahaan PDAP bersama perwakilan Dewan Propinsi Komisi C, telah berupaya membujuk petani penggarap sampalan untuk bermitra dan mengembalikan lahan tersebut pada PDAP, namun dengan tegas para petani penggarap menolak ajakan tersebut karena PDAP nyatanya telah gagal menyejahtrakan masyarakat dan bahkan merugikan Pemerintah Propinsi hingga ratusan Milyar Rupiah (laporan pemeriksaan BPK—TB PDAP th 2003-2005).

 

Atas penolakan tersebut, pihak PDAP membentuk tim 30 untuk melakukan intimidasi, penipuan, dan terror terhadap petani penggarap Sampalan agar memberikan KTP dan KK serta menandatangani SKP (Surat Keterangan Penggarap). Para petani penggarap pun kemudian melakukan perlawanan terhadap tim pebentukan PDAP tersebut.

 

Namun pihak PDAP, BUMD yang sebenarnya sedang diputihkan dan tak mendapat anggaran sedikit pun dari PemProp tahun ini (berita ANTARA tgl 2/3 2011 ), kemudian melakukan upaya keriminalisasi dalam bentuk pengaduan hukum pada Polres Bandung yang menggugat para petani penggarap dengan tuntutan KUHP pasal 385 serta pasal 6 perpu no 51 th 60 atas dasar rasa kebermilikan PDAP pada lahan tersebut dengan SHPL no 1 tahun 1994 yang sebenarnya tak bisa dibuktikan sejak awal terjadi okupasi oleh petani penggarap pada tahun 2005. Padahal, sejak tahun 2006, para petani penggarap telah mencoba melakukan legalisasi atas tanah garapannya, dengan sandaran UUPA th 60, namun tak kunjung mendapat respon positif dari pemerintah.

 

Maka, kami para petani pengarap yang tergabung dalam AGRA AC Pangalengan, menyatakan sikap dan menuntut pada Pemerintah Propinsi untuk:

1. Cabut gugatan PDAP di Polres Bdg terhadap Petani penggarap,

2. Bubarkan tim 30 bentukan PDAP

3. Hentikan intimidasi, terror dan kekerasan terhadap petani penggarap sampalan – Pangalengan

 

Pangalengan, 27 Juni 2011


 

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.