Translate

MK Kabulkan Gugatan Petani terhadap UU Perkebunan


Senin, 19 September 2011 | 16:33 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan petani terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Senin, 19 September 2011. "Mengabulkan permohonan pemohon terhadap Pasal 21 beserta penjelasannya, dan Pasal 47 beserta penjelasannya, dan bahwa keduanya tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD.

Majelis Hakim Konstitusi menilai Pasal 21 beserta penjelasannya tidak menjelaskan siapa yang mengakibatkan kerusakan kebun dan aset jika terjadi konflik antara petani dan masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan. "Bagaimana jika hal itu terjadi karena kelalaian pemilik kebun sendiri?" kata hakim.

Hakim juga menilai Pasal 21 UU Perkebunan tidak jelas dan tidak rinci menerangkan definisi aset yang dimaksud. Selain itu, Majelis Hakim dalam putusannya memaparkan sejumlah kasus yang sekarang muncul mungkin disebabkan tidak ada batas yang jelas antara hukum adat dan hukum baru.

Gugatan uji materi terhadap UU Perkebunan diajukan oleh empat petani, yakni Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin. Mereka menilai UU Perkebunan yang ada cenderung merugikan petani karena dapat memidanakan petani yang memperjuangkan hak-haknya. Japin dkk pun pada 20 Agustus 2010 lalu mengajukan gugatan terhadap Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan.

Pasal 21 UU Perkebunan melarang orang mengganggu usaha perkebunan dan Pasal 47 menentukan pelanggar Pasal 21 diancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda Rp 5 miliar. Menurut penggugat, pasal itu tidak mengatur luas maksimum dan minimum tanah untuk lahan perkebunan sehingga menimbulkan adanya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan oleh perusahaan.

Penggugat juga menilai Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan membuka ruang bagi perusahaan perkebunan untuk mengeksploitasi lahan rakyat secara besar-besaran. Kedua pasal juga mengkondisikan masyarakat adat dan petani tidak bisa mengakses tanah yang mereka kuasai turun-temurun sehingga membuat petani kehilangan lahannya.

Pasal 21 dan 47 UU Perkebunan juga dinilai merugikan petani karena memberi ancaman pidana bagi pelanggar undang-undang karena rumusan larangannya tidak spesifik dan lengkap. Akibatnya, dalam beberapa kasus, petani berpeluang dipidanakan.

Kondisi tersebut dialami salah satu pemohon, Vitalis, yang berasal dari Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat. Vitalis diketahui sempat duduk di kursi terdakwa lantaran melakukan aksi protes terhadap sengketa tanah. Namun perusahaan yang didemo Vitalis belakangan justru memidanakan Vitalis dengan alasan akibat aksi protes tersebut, usaha perkebunan terhambat.

Sejak UU Perkebunan diteken, sejumlah petani sudah menjadi korban. Enam bulan pertama 2010, setidaknya ada 106 kasus kriminalisasi petani di Indonesia. Jumlah sengketa tanah antara perusahaan perkebunan dan masyarakat adat juga terus meningkat. Data lembaga swadaya masyarakat, Sawit Watch, menunjukkan ada 514 kasus di 2007, 576 kasus pada 2008, dan 604 kasus pada 2009. Semester pertama tahun 2010 saja tercatat telah ada 608 kasus.

Ratusan konflik yang terjadi melibatkan sejumlah perusahaan besar, seperti badan usaha milik negara PTPN, PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas, dan Salim Group.

Usai sidang, salah satu kuasa hukum penggugat dari ELSAM, Andi Muttaqin, menyatakan kepuasannya terhadap putusan MK. Namun ia memandang masih banyak yang harus ditindaklanjuti setelah gugatan pihaknya dikabulkan hakim. "Kami harus mengkomunikasikan ini ke sejumlah pihak karena masih banyak petani yang berkasus," ujarnya.

ISMA SAVITRI

*ditaut dari http://tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/09/19/brk,20110919-357025,id.html

Korban Gempa Walatra Tagih Janji Wagub Jabar


Minggu, 11/09/2011 - 14:56



SOREANG, (PRLM).- Warga korban gempa bumi Pangalengan yang masih bertahan di Kebun Teh Walatra menagih janji Wagub H. Dede Yusuf yang akan mencarikan lokasi baru permukimannya. Warga mendesak agar segera mendapatkan lokasi baru sehingga tidak sering mendapatkan intimidasi maupun ancaman dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

“Kami menagih janji Bapak Dede Yusuf selaku wakil gubernur Jabar yang diucapkan selepas Salat Idulfitri tahun 2009 lalu. Waktu itu Pak Dede Yusuf akan merelokasi dan menyediakan permukiman segera kepada korban gempa,” kata Koordinator Solidaritas Masyarakat Korban Gempa Pangalengan (SMKGP), Wahyudin, dalam pernyataannya ke “PRLM”, Minggu (11/9).

Dari data, Wagub Dede Yusuf ikut dalam salat Idulfitri pada tahun 2009 di Kebun Teh Walatra bersama dengan para pengungsi. Wagub sempat makan ketupat bersama dan diwawancarai secara langsung oleh wartawan cetak dan elektronik termasuk janji untuk segera merelokasi para pengungsi ke lahan milik Pemprov Jabar yang berada di Pangalengan.

Menurut Wahyudin, saat itu Wagub berjanji selama 16 hari dari pascabencana 2 September 2009 akan memberikan relokasi kepada warga korban. “Wagub juga menyatakan Kampung Margakawit yang dihuni warga korban gempa adalah merupakan wilayah yang tidak layak huni dikarenakan kemiringannya sampai 45-60 persen dan rawan bencana Longsor,” ucapnya.

Jumlah korban gempa sebanyak 75 kepala keluarga (KK), kata Wahyudin, masih terkatung-katung nasibnya. “ Sampai detik ini , warga korban belum mendapatkan kejelasan tempat tinggal yang dijanjikan pemerintah. Kebijakan penanggulangan yang dilakukan Pemkab Bandung maupun Pemprov Jabar sangat lambat. Sebelumnya, memang ada upaya yang dilakukan DPRD Kab. Bandung dengan membuat surat kesepakatan bersama pihak PTPN VIII agar korban gempa persilahkan sementara waktu tinggal di lahan PTPN VIII sebelum ada kejelasan relokasi,” katanya.

Selain itu, korban gempa dan SMKGP juga meminta Komnasham melakukan investigasi atas penelantaran hak-hak asasi warga pengungsi Walatra. (A-71/A-120)***

ditaut dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/158089

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.