Translate

Videokeman

videokeman mp3
The Unforgiven – Metallica Song Lyrics
[gigya width="300" height="44" src="http://videokeman.com/music/videokemanplay.swf" quality="high" flashvars="playerID=1&bg=0xffffff&leftbg=0xCA4536&lefticon=0xffffff&rightbg=0xCA4536&rightbghover=0x999999&righticon=0xffffff&righticonhover=0xffffff&text=0xCA4536&slider=0x303030&track=0xFFFFFF&border=0x666666&loader=0xC52C24&autostart=yes&loop=yes&soundFile=http://videokeman.com/dload/flvs/VPS01/MetallicaxdasThexspacunforgiven.doc" wmode="transparent" ]

Mao Tse-Tung

Mao lahir di Chaochan di provinsi Hunan. Dia berasal dari keluarga petani. Seperti semua petani yang tinggal di China Abad Kesembilan Belas, hidup sulit dan tidak mengalami kemewahan.


Dia pertama kali bertemu Marxisme ketika ia bekerja sebagai asisten di perpustakaan Universitas Peking. Pada tahun 1921, ia mendirikan Partai Komunis China. Mao memberikan suatu pandangan geografis untuk Marxisme karena ia merasa bahwa dalam sebuah masyarakat Asia, komunis harus berkonsentrasi pada pedesaan ketimbang kota-kota industri. Pada kenyataannya, ini adalah keyakinan logis seperti Cina, industri yang sangat sedikit tetapi jutaan rakyat terlibat dalam pertanian. Mao percaya bahwa elit revolusioner hanya akan ditemukan di kaum tani dan bukan orang yang bekerja di kota.

Dengan Zhou Enlai, Mao mendirikan basis revolusioner di perbatasan Hunan. Pada tahun 1931, Mao mendirikan sebuah republik Soviet Cina di Jiangxi. Hal ini berlangsung sampai 1934 ketika Mao dan para pengikutnya terpaksa meninggalkan Kiangsi dan menuju Sensi dalam legendaris Long March yang berlangsung sampai 1935. Di sini mereka relatif aman dari pemimpin Kuomintang, Chiang Kai-shek, meski jauh dari kursi kekuasaan yang sesungguhnya di Cina - Peking (Beijing).

Dari tahun 1937 sampai 1945, permusuhan antara KMT dan Komunis dimasukkan ke satu sisi baik sebagai sumber daya terkonsentrasi mereka pada Jepang yang telah melancarkan invasi skala penuh dari Cina pada tahun 1937 . Selama kurun waktu ini bahwa Mao mengembangkan pengetahuan tentang perang gerilya yang ia gunakan dengan efek yang besar dalam perang sipil melawan KMT setelah perang dengan Jepang berakhir pada tahun 1945.

Pada musim semi tahun 1948, Mao menganti serangan gerilya ke skala penuh pertempuran. KMT telah efektif rusak oleh keterampilan taktik gerilya Mao. Pada bulan Oktober 1949, Mao diangkat Ketua Republik Rakyat Cina.

Dia memerintah sebuah negara yang bertahun-tahun kebelakang berada dalam masalah yang sangat besar dan Mao memutuskan untuk memperkenalkan solusi radikal untuk menjawab kelemahan domestik Cina daripada terus bergantung pada watak konservatif.

Dari 1950 tentang Mao memperkenalkan reformasi agraria dan Rencana Lima Tahun yang pertama  dimulai pada tahun 1953.  Koperasi Petani didirikan. Pada tahun 1958, Lompatan Besar ke Depan diperkenalkan sebagai komune tanah pertama. Meskipun ia menggunakan istilah "Rencana Lima Tahun", Mao tidak menerima teori bahwa semua ide harus mulai dari Rusia dan Cina harus mengikuti. Bahkan, Mao tetap sangat independen dari Rusia dan secara terbuka mengkritik pemerintahan Khrushchev ketika menjadi pemimpin Rusia.

di bawah ini beberapa artikel Mao dari tahun 1926-1949.

1926 "Analisa Klas-Klas Dalam Masyarakat Tiongkok" unduh

1928 "Mengapa Kekuasaan Politik Merah Tiongkok Dapat Berdiri" unduh

1934 "Memperhatikan Penghidupan Massa dan Cara Bekerja" unduh

1937 "Tentang Praktek" unduh

1940 "Tentang Politik" unduh

1941 "Mengubah Pelajaran Kita" unduh

1943 "Beberapa Masalah Mengenai Metode Memimpin" unduh

1946 "Memusatkan Kekuatan Unggul Untuk Memusnahkan Musuh Satu Demi Satu" unduh

1947 "Tentang Pengumuman Kembali Tiga Disiplin Besar dan Delapan Pasal Perhatian" unduh

1949 "Diktatur Demokrasi Rakyat" unduh

HENTIKAN KEKERASAN TERHADAP WARGA PENGUNGSI DI WALATRA, PANGALENGAN

Praktek pemonopolian tanah oleh pemerintah lewat BUMN dan BUMD telah jelas-jelas tak sejalan dengan upaya mensejahtrakan rakyat Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 45 pasal 33. Apalagi penguasaan tanah oleh perusahaan swasta, sejatinya menindas dan menggilas keberadaan rakyat sekitarnya.

Kasus-kasus sengketa agraria antara perusahaan (pemerintah atau swasta) seringkali berujung kekerasan dan rakyatlah yang disalahkan. Praktek kriminalisasi akan langsung dialami rakyat ketika melakukan perlawanan namun hukum seolah tumpul ketika rakyat tak melakukan perlawanan ketika rumah, barang, atau fisiknya mengalami kekerasan secara bersamaan di muka umum oleh pihak perusahaan.

Seperti yang terjadi pada warga pengungsi korban gempa jabar 2009 yang menduduki blok wlatra hingga proses relokasi ke lahan yang layak mukim terealisasi. Telah tercatat berkali-kali terjadi intimidasi berupa tindak kekerasan dari juli 2011 hingga yang terbaru januari 2012. Kekerasan yang terjadi dilakukan dengan jelas oleh massa dan karyawan PTPN VIII Malabar-Pangalengan.

Padahal proses pengeluaran kebijakan relokasi telah di depan mata. Komisi A dan Komisi E DPRD Provinsi pun telah memastikan soal proses relokasi warga walatra di Aula Kecamatan Pangalengan secara terpisah dan dihadiri oleh pihak PTPN VIII. Namun seperti tak peduli pada kesepakatan bersama seluruh pihak (DPRD Prov Jabar, Muspika, PTPN VIII dan Warga) tentang penjaminan kebijakan relokasi dan keamanan warga walatra selama proses relokasi teralisasi, pihak PTPN VIII kembali melakukan tindak kekerasan terhadap pengungsi di blok walatra.

Hal ini tak bisa dibiarkan. PTPN VIII Malabar  telah bertindak di luar kewenangannya sebagai perusahan pemerintah (BUMN). Warga pengungsi yang tinggal sementara di blok walatra tidak bisa diperlakukan seperti hewan. Mereka manusia. Memiliki hak previlage sebagai rakyat Indonesia yang harus dihormati oleh pemerintah. Berpayung hukum dan HAM.

Maka dengan ini Al Jabar menuntut:
1.    Segera realisasikan kebijakan relokasi warga walatra ke lahan layak mukim,
2.    Hentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga pengungsi di blok Waltra.

Bandung, 24 Januari 2012

Pernyataan Sikap Aksi Tanggal 12 Januari 2011

 Pernyataan Sikap

Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Hak Rakyat Indonesia

„Reforma Agraria, Pembaruan Desa dan Keadilan Ekologis Jalan Indonesia Berkeadilan Sosial“

Jakarta, 12 Januari 2012



Pernyataan Sikap

Kami dari “Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia”, aliansi dari organisasi Petani, Buruh, Masyarakat Adat, Perempuan, Pemuda Mahasiswa, Perangkat Pemerintahan Desa, dan NGO.


Kamis 12 Januari 2012 melakukan aksi serentak di Jakarta dan 21 (27) Provinsi di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NusaTenggara dan Maluku.


Kami menyatakan Perlawanan dan Membentuk Aliansi Gerakan Perlawanan Terhadap Perampasan Tanah-Tanah Rakyat dan perampokan sumber daya alam (SDA) yang difasilitasi oleh rezim SBY-Boediono di seluruh Indonesia.


Kami Berpandangan:

Bahwa masalah utama agraria dan sumber daya alam di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar, di tengah puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. Ironisnya, ditengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi.


Perampasan tanah tersebut terjadi karena persekongkolan jahat antara Pemerintah dan DPR-RI yang telah  mengesahkan berbagai

Undang-Undang seperti: UU No.25/2007 Tentang Penanaman Modal, UU No.41/1999 Kehutanan, UU 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No.7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009 Minerba, dan yang terbaru pengesahan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.


Keseluruhan perundang-undangan tersebut sesungguhnya telah melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa, kesemuanya hanya untuk kepentingan para pemodal.

Perampasan tanah rakyat juga berjalan dengan mudah dikarenakan pemerintah pusat dan daerah tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian untuk membunuh, menembak, menangkap dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika ada rakyat yang berani menolak dan melawan perampasan tanah.


Kasus yang terjadi di Mesuji dan Bima adalah bukti bahwa Polri tidak segan-segan membunuh rakyat yang menolak perampasan tanah dan penghancuran lingkungan. Hal ini terjadi karena Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara jelas dan terbuka telah menjadi tenaga aparat bayaran perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Kasus PT.Freeport  dan Mesuji membuktikan bagaimana polisi mendapatkan telah menjadi aparat bayaran tersebut.


Cara-cara yang dilakukan oleh rezim SBY-Boediono dalam melakukan perampasan tanah dengan menggunakan perangkat kekerasan negara, mulai dari pembuatan undang-undang yang tidak demokratis hingga pengerahan institusi TNI/polri untuk melayani kepentingan modal asing dan domestik sesungguhnya adalah sama dan sebangun dengan cara-cara Rezim Fasis Orde Baru.

Kami menilai bahwa perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa yang terjadi sekarang ini adalah bentuk nyata dari perampasan kedaulatan rakyat.


Bagi Kaum Tani, Nelayan, Masyarakat Adat, dan Perempuan perampasan tersebut telah membuat mereka kehilangan tanah yang menjadi sumber keberlanjutan kehidupan.


Bagi Kaum Buruh, perampasan tanah dan kemiskinan petani pedesaan adalah sumber malapetaka politik upah murah dan sistem kerja out sourching yang menindas kaum buruh selama ini. Sebab politik upah murah dan system kerja out sourching ini bersandar pada banyaknya pengangguran yang berasal dari proses perampasan tanah. Lebih jauh, perampasan tanah di pedesaan adalah sumber buruh migran yang dijual murah oleh pemerintah keluar negeri tanpa perlindungan.


Bagi mahasiswa  tindakan-tindakan tersebut merupakan cermin bahwa pemerintah telah melakukan penghianatan terhadap UUD 1945 dan Pancasila.


Melihat kenyataan tersebut, kami berkesimpulan: Bahwa dasar atau fondasi utama dari pelaksanaan sistem ekonomi neoliberal yang tengah dijalankan oleh SBY Boediono adalah Perampasan Tanah atau Kekayaan Alam yang dijalankan dengan cara-cara kekerasan.

Kami berkeyakinan bahwa untuk memulihkan hak-hak rakyat Indonesia yang dirampas harus segera dilakukan Pembaruan Agraria, Pembaruan Desa demi keselamatan ekologis dan keberlanjutan kehidupan.


Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya seperti terangkum dalam UUPA 1960 pasal 6,7,9,10,11,12,13,14,15,17. Pembaruan Agraria adalah mengutamakan petani, penggarap, nelayan tradisional dan masyarakat golongan lemah lainnya untuk mengelola tanah, hutan dan perairan sebagai dasar menuju kesejahteraan dan kedaulatan nasional.


Pembaruan Desa adalah pemulihan kembali hak dan wewenang di Desa atau nama lain yang sejenis, yang telah dilumpuhkan dan diseragamkan oleh kekuasaan nasional sejak masa Orba melalui UU No.7/1979 tentang Pemerintahan Desa. Penyeragaman tersebut telah menghilangkan pranata asli masyarakat pedesaan yang merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” yang tak ternilai harganya.

Pembaruan Desa adalah pemulihan hak dan wewenang desa dalam mengatur sumber-sumber agraria di desa dengan cara memberikan wewenang desa dalam mengelola kekayaan sumber-sumber agrarian untuk rakyat, memberikan keadilan anggaran dari APBN, menumbuhkan Badan Usaha Bersama Milik Desa untuk mempercepat pembangunan ekonomi pedesaan dan peningkatan tarap hidup rakyat.


Bingkai utama dari pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pembaruan Desa adalah menuju Keadilan Ekologis. Dengan demikian, keseluruhan pemulihan hak-hak agraria rakyat, pemulihan desa adalah untuk memulihkan Indonesia dari kerusakan ekologis akibat pembangunan ekonomi neoliberal selama ini.


Melalui Aksi ini, kami Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat menyerukan: Kepada seluruh rakyat Indonesia yang terhimpun dalam organisasi-organisasi gerakan untuk merebut dan menduduki kembali tanah-tanah yang telah dirampas oleh pemerintah dan pengusaha. Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk organisasi-organisasi perlawanan terhadap segala bentuk perampasan tanah.


Kami juga mengajak kepada para cendikiawan, budayawan, agamawan, professional agar mengutuk keras dan melawan segala bentuk pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dalam melakukan perampasan tanah.

Untuk itu, Kami Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia menuntut :



  1. Menghentikan Segala Bentuk Perampasan Tanah Rakyat dan Mengembalikan Tanah-Tanah Rakyat yang Dirampas.

  2.  Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati sesuai dengan Konsitusi 1945 dan UUPA 1960

  3. Mendesak DPR segera membentuk Pansus penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam

  4. Tarik TNI/Polri dari konflik Agraria, membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah.

  5. Melakukan Audit Legal dan Sosial Ekonomi terhadap segala HGU, HGB, SK HTI dan HPH, Izin Usaha Pertambangan, baik kepada Swasta dan BUMN yang telah diberikan dan segera mencabutnya untuk kepentingan rakyat.

  6.  Mencabut seluruh HGU, Kontrak Karya Pertambangan, izin usaha pertambangan, izin pengelolaan hutan tamanan yang bermasalah dengan rakyat dan lingkungan yang dilakukan baik oleh asing, sawasta maupun BUMN

  7. Membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat, khususnya penduduk desa dan masyarakat adat dalam mengelola Hutan

  8. Penegakan Hak Asasi Petani dengan cara mengesahkan RUU Perlindungan Hak Asasi Petani dan RUU Kedaulatan Pangan.

  9. Penegakan Hak Masyarakat Adat melalui Pengesahan RUU Perlindungan Masyarakat Adat

  10. Pemulihan Hak dan Wewenang Desa dengan segera menyusun RUU Desa yang bertujuan memulihkan hak dan wewenang desa atau nama lain yang sejenis dalam bidang ekonomi, politik hukum dan budaya.

  11. Penegakan Hak Asasi Buruh dengan Menghentikan Politik Upah Murah dan Sistem Kerja Out Sourching dan membangun Industrialisasi Nasional

  12. Penegakan Hak Asasi Nelayan Tradisional melalui perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional

  13. Pemulihan Hak dan Wewenang Desa dengan segera menyusun RUU Desa yang bertujuan memulihkan hak dan wewenang desa atau nama lain yang sejenis desa dalam bidang ekonomi, politik hukum dan budaya.

  14. Pencabutan sejumlah UU yang telah mengakibatkan perampasan tanah yaitu : UU No.25/2007 Penanaman Modal, UU 41/1999 Kehutanan, UU 18/2004 Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009 Minerba, dan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan


Demikian Pernyataan Sikap ini

Koordinator Umum Aksi:


Agustiana / 085223207500

Juru Bicara Sekber:


  1. Henry Saragih  0811655668 

  2. Idham Arsyad 081218833127 

  3. Rahmat Ajiguna 081288734944 

  4. Berry N Furqon 08125110979



Anggota Sekber

Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Petani Pasundan (SPP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)  Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P31), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Tani Nusantara (ASTANU), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Serikat Hijau Indonesia (SHI), Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ), Serikat Petani Merdeka (Setam- Cilacap), Rumah Tani Indonesia (RTI), Aliansi Petani Indonesia (API), SPTBG, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, EksekutifDaerah WALHI Jakarta, Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat, Sawit Watch, KIARA, KpSHK, HuMA, Greenpeace,  Jaringan Advokasi Tambang  (JATAM), Pusaka Indonesia, Bina Desa, Institute Hijau Indonesia,  JKPP, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, KONTRAS, IMPARSIAL, IHCS, ELSAM, IGJ,  Parade Nusantara, Koalisi Anti Utang (KAU), Petisi 28, ANBTI, REPDEM. LIMA, Formada NTT, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Front Aksi Mahasiswa (FAM Indonesia) LSADI, SRMI,  Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), Liga Pemuda Bekasi (LPB),  Gabungan Serikat Buruh Independent (GSBI), Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI-Tangerang), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), , KPO- PRP, , Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (PERGERAKAN), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Komite Serikat Nasional (KSN)  INDIES, SBTPI, Gesburi, Serikat Pekerja Kereta Api Jakarta (SPKAJ), SPTBG, Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), GMPI,  SBTNI, Punk Jaya, PPMI,FPPJ, Perempuan Mahardika.

PERNYATAAN SIKAP Solidaritas dan Persatuan Rakyat Jawa Barat “Menuntut Pemulihan Hak Rakyat dan Penyelesaian Konflik Agraria dan Lingkungan Hidup”

Oleh: SEKRETARIAT BERSAMA RAKYAT JAWA BARAT
“ PULIHKAN HAK RAKYAT”



Tragedi kematian dan kejahatan kemanusiaan akibat konflik agraria dan lingkungan hidup dalam kasus Mesuji Lampung dan Sumatra Selatan, Sape Bima NTB, Tiaka Sulut, dan ribuan kasus sengketa agraria dan lingkungan hidup di Indonesia adalah segelintir kasus dari ribuan kasus sengketa agraria dan lingkungan hidup yang terjadi Indonesia.

Situasi yang sama di Jawa Barat, beragam konflik agraria dan sengketa ruang dan lingkungan hidup terus berlangsung dan belum terselesaikan. Sengketa agraria dan lingkungan hidup hampir terjadi di 26 kabupaten/Kota di Jawa Barat. Ancaman dan dampak dari sengketa agraria dan lingkungan hidup adalah tindakan kekerasan, intimidasi, dan represifitas aparatur negara (kepolisian, TNI dan pemerintah) yang kemudian berujung pada konflik sosial, kriminalisasi warga/rakyat bahkan berujung kejahatan kemanusiaan dan kematian.

Keberadaan MOU antara BPN dan Kapolri No No 3/SKB/BPN/Tahun 2007 dan No B/576/III/2007  tentang Penanganan Masalah Pertanahan adalah faktor yang determinan terjadinya upaya kekerasan dan represfitas aparatur Kepolisian, TNI dan pemerintah terhadap rakyat yang sedang bersengketa agraria dan lingkungan hidup.Berdasarkan catatan yang ada, sekitar 16 orang menjadi korban kriminalisasi sengketa lahan agraria dan lingkungan hidup.

Contoh kasus yang mengemuka di Jawa Barat diantaranya, kasus sengketa lahan antara Petani penggarap dengan perkebunan di Kertasari, sengketa Lahan di Perum Perhutani (KPH Sumedang, Indramayu, Karawang, Bogor, Bandung Utara dll), sengketa lahan antara Pengungsi Walatra dan perkebunan, Sengketa lahan Warga Puncrut, sengketa lahan kampung Ciosa RDP, Babakan Siliwangi, Warga Bangbayang, Kriminalisasi warga oleh hotel Luxton, sengketa sosial karena pembangunan PLTSA,  kriminalisasi warga di lahan hutan konservasi, Sengketa sosial di kawasan Karst Citatah, sengketa pertambangan pasir besi di pesisir pantai Selatan Jawa Barat, kriminalisasi Warga Gandoang Cileungsi Bogor,  Sengketa Lahan  PDAP Pangalengan, sengketa buruh dengan majikan diperusahaan, sengketa lahan pada pembangunan Waduk Jati Gede Sumedang, penggusuran lahan untuk pembangunan  dan lain-lain.

Fakta ini menunjukaan situasi sosial, ekonomi dan politik  bahwa rezim penguasa yang telah berkuasa dan sedang berkuasa saat ini benar-benar tidak berpihak pada rakyat. Rezim penguasa di Republik Indonesia mulai dari Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota lebih memihak pemodal dan pengusaha untuk menindas rakyatnya sendiri. Selain itu, sengketa agraria dan lingkungan hidup merupakan menyebabkan hak-hak dasar rakyat semakin tidak terpulihkan.

Tuntutan Rakyat
Berdasarkan fakta sosial di atas maka, kami rakyat Jawa Barat  menyatakan sikap pulihkan hak rakyat dan menuntut :
1.    Jalankan  Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta laksanakan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
2.    Tolak Perampasan Tanah
3.    Perlindungan Tanah Ulayat /Adat
4.    Tanah, modal dan teknologi pertanian ekologis modern untuk petani penggarap di bawah kontrol organisasi rakyat
5.    Kemandirian ekonomi nasional, nasionalisasi industri asing, bangun industri dalam negeri berbasis kerakyatan  dan renegoisasi utang luar negri
6.    Cabut Kesepakatan Bersama antara BPN dan Kapolri No 3/SKB/BPN/Tahun 2007 dan No B/576/III/2007  tentang Penanganan Masalah Pertanahan
7.    Bentuk Panitia Penyelesaian Sengketa Agraria (Nasional dan Daerah) dan jalankan Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang UUPA
8.    Tolak Undang-Undang tentang pengadaan tanah untuk pembangunan,  minerba, penanaman modal, kehutanan, sumber daya air dan sektor lainnya yang menindas hak-hak rakyat.
9.    Tangkap dan adili para pelaku pelanggar Hak Asasi Manusia di Mesuji, Sape Bima, Tiaka dan kasus lainnya
10.    Kesehatan dan pendidikan gratis untuk rakyat
11.    Tolak dan hentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga, petani, buruh dari oleh aparatur negara di Jawa Barat (Kasus Petani penggarap di Kertasari, Pengungsi Walatra, Warga Puncrut, Kampung Ciosa Resort Dago Pakar, Babakan Siliwangi, Warga Bangbayang, Kriminalisasi warga oleh hotel Luxton, PLTSA,  Sengketa Karst Citatah, pertambangan pasir besi pantai selatan Jawa Barat, sengketa Jati Gede Sumedang, warga korban kriminalisasi Gandoang Bogor, sengketa lahan di Perum Perhutani (KPH Sumedang, Indramayu, Karawang, Bogor, Bandung Utara ),  Sengketa Lahan  PDAP Pangalengan, penggusuran akibat pembangunan dan lain-lain.
12.    Menuntut Pemerintahan Daerah (Kota/Kabupaten) di Jawa Barat bertanggung jawab menyelesaikan kasus sengketa agraria, lingkungan hidup, pertanian, perkebunan, pertambangan, kehutanan  dalam bentuk kesepakatan multipihak yang melibatkan organisasi rakyat
13.    Upah layak untuk buruh, tolak praktik union busting, hapus sistem kerja kontrak dan out sourching dan bangun Industri kerakyataan.

Seruan Rakyat Jawa Barat
Kami menyerukan kepada seluruh Rakyat Jawa Barat untuk :
1.    Mendiskusikan dan menyuarakan setiap permasalahan ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam di Jawa Barat
2.    Membangun posko bersama untuk pulihkan hak rakyat Indonesia  dan penyelesaian sengketa sumber daya alam di Jawa Barat
3.    Merapatkan barisan bersama di Sekber Rakyat Jawa Barat sebagai Posko Pulihkan Hak Rakyat Jawa Barat dan penandatanganan petisi dukungan penyelesaian sengketa agraria dan lingkungan hidup.

Bandung, 11 Januari 2011
SEKRETARIAT BERSAMA RAKYAT JAWA BARAT
“ PULIHKAN HAK RAKYAT”


STNPRM, SRMI, AGRA, Warga Pengungsi Waltra, Warga Jatigede Sumedang, Komunitas Ibun, Komunitas korban Banjir Cieunteung, Warga Ciosa dan Puncrut, FKPA, FK3I, MPLH Godong Sewu, GMNI Jabar dan Sumedang, SHI Jabar, LBH Bandung, Baraya Tani, YKPA, FKWPL Bogor, FMN Bandung, WALHI Jawa Barat, Komunitas Kabuyutan, DPKLTS, Kopri PMII, PSDK,
BANGAR, FP2KC, PRD Jawa Barat, PERAK Indonesia, FPB, FAF, Palamus Subang, GPI,
Himapikani Unpad,  Daya Cipta Budaya

Catatan Akhir Tahun WALHI Jawa Barat : Jejak Krisis Ekologi di Tatar Pasundan 2011

Oleh: WALHI Jawa Barat
Rekaman krisis ekologi di Tatar Pasundan (Jawa Barat) sepanjang tahun 2011 semakin memprihatinkan dan menambah catatan sejarah buruknya perlindungan dan penegakan keadilan lingkungan hidup. Krisis ekologi dipastikan akan berdampak pada berkurangnya daya dukung dan tampung lingkungan hidup di bumi Jawa Barat. Krisis ekologi yang terjadi merupakan kelanjutan dari krisis pengrusakan alam dan lingkungan hidup sebelumnya yang belum terselesaikan, ditambah kasus-kasus baru yang mengemuka di 26 kabupaten/kota di Jawa Barat.

Fenomena Krisis Ekologi
Fenomena krisis ekologis dapat kita periksa dari beragam kasus lingkungan hidup yang setiap hari muncul baik yang terpublikasikan maupun yang tidak terpublikasikan di media massa. Dari catatan WALHI Jawa Barat, setiap media dalam sehari mempublikasikan minimalnya sekitar lima kasus lingkungan hidup. Jika diakumulasikan maka sepanjang tahun 2011 diperkirakan sekitar 10.800-an kasus lingkungan hidup terjadi di kawasan bioregional Tatar Pasundan. Fenomena krisis ekologi mengemuka dibeberapa sektor penting diantaranya kehutanan, pertambangan, persampahan/limbah, penataan ruang, sumber daya air dan wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat.

Di sektor kehutanan, krisis ekologis dapat di tunjukan dengan semakin kritisnya ekologi hutan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kualititatif, alih fungsi kawasan hutan baik di kawasan konservasi, lindung dan produksi semakin marak terjadi dan mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati, mengurangi pasokan ketersediaan air, longsor dan banjir di musim penghujan. Berdasarkan laporan dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia, Indek Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dari aspek tutupan hutan di Jawa Barat bernilai 38,69, berada dalam indeks kualitas yang sangat rendah.

Secara kuantitatif, berdasarkan catatan WALHI Jawa Barat, praktik alih fungsi kawasan hutan hingga tahun 2011 terakumulasi sekitar 95.000 hektar atau 10% dari total kawasan hutan negara di Jawa Barat. Artinya jika rata-rata tegakan dalam 1 Ha adalah 1000 pohon maka sekitar 95 juta pohon lenyap dari hutan. Alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani melalui skema kerjasama operasional (KSO) dan pinjam pakai kawasan. Kegiatan pertambangan mineral dan panas bumi baik terbuka maupun tertutup, wanawisata, pertanian dan pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang utama kerusakan hutan. Sementara, berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat tahun 2010 saja sekitar 515.000 Ha kondisi hutan masih berada dalam kondisi kritis dan belum terpulihkan.

Di samping itu, pendapatan negara dari sektor kehutanan di Jawa Barat belum secara terbuka menjadi informasi publik. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan, wanawisata, dan jenis usaha lainya menyimpan potensi korupsi dan kerugian negara yang cukup besar. Berdasarkan kajian WALHI Jawa Barat, dari sekitar 18 perusahaan tambang di kabupaten Bogor diperkirakan pendapatan sektor kehutanan yang dihasilkan sekitar Rp 78 milyar selama 5 tahun, artinya dari satu perusahaan potensi pendapatan negara bisa mencapai rata-rata 4 Milyar dalam setahun.

Berdasarkan data yang dimiliki WALHI Jabar, tercatat sekitar 790 KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dalam rentang 2007-2012. Artinya potensi pendapatan dari KSO dan pinjam pakai kawasan jika diakumulasi rata-rata bisa mencapai Rp 3.160 milyar atau Rp 3,16 Trilyun. Bisa dipastikan betapa besarnya pendapatan dari sejumlah KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani serta kerjasama-kerjasama yang dilakukan BBKSDA dan Dinas Kehutanan di  Jawa Barat.

Krisis ekologi di sektor pertambangan hingga akhir 2011, dapat ditunjukan dengan semakin meluasnya praktik pertambangan galian pasir mencapai sekitar 25.000 ha, pertambangan mineral galena, emas, mangan, karst dll mencapai sekitar 156.000 ha, pertambangan panas bumi di wilayah hutan konservasi, lindung dan produksi yang mencapai sekitar 1200 ha serta peningkatan kegiatan penambangan pasir besi yang terindikasi ilegal di selatan Jawa barat yang mencapai 3000 ha.

Di sektor tata ruang, alih fungsi ruang dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya semakin meluas seiring dengan pembangunan infrastruktur, pemukiman, perdagangan, hotel, mall, jalan, bandara, waduk, PLTN dan sarana fisik lainnya. Perluasan perkebunan sawit juga semakin meningkat dan dipastikan mengurangi luasan lahan konservasi /resapan di Jawa Barat. Pembangunan yang membabi buta menjadi pemicu konversi lahan secara besar-besaran.

Di sektor persampahan, produksi limbah domestik dan industri semakin bertambah. Tingkat konsumsi sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat yang semakin besar akan berdampak pada peningkatan produksi sampah domestik. Rata-rata produksi sampah tiap kabupaten/kota di Jawa Barat sekitar 5 Juta liter/hari, berarti dalam setahun ini, volume sampah di Jawa Barat sekitar 130 Juta liter/perhari, jika diakumulasi dalam setahun maka sekitar 47.320 Juta liter/hari sampah dihasilkan. Sedangkan yang bisa ditangani dengan baik hanya sekitar 20% dari total volume sampah yang dihasilkan. Permasalahan tata kelola sampah komunal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dilakukan oleh propinsi dan kabupaten/kota di Jawa Barat juga masih buruk dan belum terkelola sesuai dengan manajemen pengelolaan sampah yang lebih memperhatikan lingkungan hidup.

Selain sampah rumah tangga, produksi limbah cair, padat dan uap/gas dari pabrik /industri juga semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan industri di Jawa Barat. Sekitar 93% emisi pencemar dihasilkan oleh kegiatan industri. Berdasarkan data Dinas ESDM sekitar 226 perusahaan yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota memakai dan memproduksi limbah batu bara. Diperkirakan pada tahun ini, limbah batubara yang dihasilkan mencapai 3,5 juta ton, meningkat dari tahun 2009 yang mencapai 3,29 ton. Kemudian, limbah cair dan gas yang dihasilkan industri dan gas kendaraan bermotor dipastikan semakin meningkat. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor hingga tahun 2011 mencapai 5,8 Juta unit menjadi penyumbang emisi dan pencemaran udara yang signifikan.

Di sektor sumber daya air yang memiliki kaitan dengan kualitas daerah aliran sungai di Jawa Barat menunjukan kondisi yang memprihatinkan. Keseluruhan DAS di Jawa Barat berada dalam kondisi kritis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif sekitar 60%-80% DAS penting (Citarum, Ciujung, Cisadane, Citanduy, Cimanuk, Ciwulan, Cisanggarung dll) berada dalam situasi kritis. Berdasarkan laporan KLH, indeks kualitas air di Jawa Barat pada tahun 2009-2010 sekitar 15,33 berada di peringkat terendah diantara 33 propinsi di Indonesia. Dipastikan angka ini tidak akan mengalami kenaikan malah sebaliknya akan mengalami penurunan seiring dengan eksploitasi sumber daya air di Jawa Barat.

Fenomena krisis ekologis juga terjadi di wilayah pesisir dan laut baik utara maupun selatan Jawa Barat. Di pesisir utara, alih fungsi kawasan mangrove, abrasi dan rob adalah fenomena krisis ekologi yang belum terpulihkan. Kemudian, di pesisir selatan Jawa Barat, pembangunan infrastruktur dan meluasnya aktivitas pertambangan pasir besi di pesisir selatan akan mengancam tatanan ekologi sekitar 5840 ha wilayah pesisir dan laut selatan Jawa Barat. Surat Edaran Gubernur tentang Moratorium Ijin Penambangan Pasir Besi tidak menjadi kekuatan hukum pengendalian dan cenderung diabaikan oleh pemerintahan kabupaten di Jabar Selatan, Tim Terpadu Pengendalian Penambangan Pasir Besi pun belum memberikan kontribusi dalam menjalankan pengawasannya. Krisis di wilayah pesisir dan laut dipastikan akan mengancam keberlangsungan perikanan dan kelautan dan keberlanjutan keselamatan kehidupan kaum nelayan.

Jika percepatan pembangunan dilakukan dengan memperluas penambangan di kawasan hutan, mengalihfungsikan kawasan lindung menjadi budidaya, pembangunan industri di kawasan lahan pertanian produktif, pembalakan hutan dilakukan dan praktik pembangunan yang tidak berpijak kerangka penataan ruang yang ada, maka sangat sulit 45% kawasan lindung Jawa Barat bisa tercapai.

Ancaman Krisis Ekologi
Melihat fenomena dan kasus yang muncul, maka krisis ekologi di Jawa Barat merupakan ancaman dan dipastikan akan menimbulkan dampak bagi keberlanjutan kualitas kehidupan manusia, diantaranya :

Pertama, bencana ekologi disertai bencana alam yang akan mengancam keselamatan kehidupan sekitar 44 juta rakyat Jawa Barat. Dampak bencana ekologis ini dapat ditunjukkan dengan krisis rawan pangan karena gagal panen, kekeringan di musim kemarau, terbatasnya ketersediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, peningkatan emisi, keterbatasan lahan, terancamnya ketersedian perumahan, sandang dan keberlanjutan kesehatan, kemiskinan dan berujung malapetaka kematian.

Dari catatan WALHI Jawa Barat sepanjang tahun 2011, beragam bencana alam dan ekologi telah menewaskan sekitar 120 jiwa sedangkan frekuensi kejadian beragam bencana mencapai 2032 kali kejadian. Contoh kasus di Kabupaten Bogor misalnya, sejak Januari hingga Desember 2011, sebanyak 44 orang meninggal dunia. Sedangkan jumlah bencana di Bogor yang tercatat sebanyak 332 kali. Krisis juga diperparah dengan pembiaran dan penelantaran pemerintah propinsi dan kabupaten/kota terhadap warga korban beragam bencana (longsor, banjir, bajir bandang, rob dll)   yang tengah menjerit-jerit dan membutuhkan perlindungan. Kasus banjir di Jawa Barat meluas hingga 14 kabupaten/kota.

Kedua, krisis ekologi telah berdampak pada semakin meluasnya sengketa ruang. agraria dan lingkungan hidup. Dari catatan WALHI Jawa Barat, sepanjang tahun 2011, rata-rata sengketa lingkungan hidup dan sumberdaya alam di setiap kabupaten/kota di Jawa Barat mencapai 30-an kasus. Jika diakumulasi maka diperkirakan sekitar 720 kasus sengketa/konflik ruang dan lingkungan hidup terjadi di tahun 2011. Hampir sekitar 80%, konflik ruang dan lingkungan hidup memiliki kaitan erat dengan konflik agraria/pertanahan. Perkawinan sengketa ruang agraria dan lingkungan hidup terjadi di seluruh kawasan bioregional Cekungan Bandung, Ciayumajakuning, Purwasuka, Priangan Timur dan Pangandaran, Bodebekpunjur dan wilayah Sukabumi dan sekitarnya.

Ketiga, ancaman konflik ekologi adalah terjadinya kriminalisasi terhadap warga/rakyat sebagai korban. Dalam kebanyakan kasus dan sengketa ruang dan lingkungan hidup yang ada, warga sebagai pihak korban harus berhadapan langsung dengan pengusaha dan pemerintah di pihak lainnya. Ancaman kriminalisasi diawali dengan tindakan represif, intimidasi, intervensi dari aparatus negara dan pihak pemodal/pengembang usaha terhadap warga yang memperjuang lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan catatan, sekitar 12 orang telah menjadi korban kriminalisasi di tahun 2011. Berdasarkan laporan dari LBH Bandung, tercatat sekitar 10 sengketa lingkungan yang berujung kriminalisasi yang telah ditangani dari ratusan kasus sengketa lingkungan yang ada.

Keempat, krisis ekologis juga secara kualitatif berdampak pada kualitas kesehatan manusia itu sendiri. Kualitas kesehatan akan berpengaruh pada angka harapan hidup dan kematian manusia. Ada korelasi yang nyata antara kualitas lingkungan hidup yang sehat dengan tingkat harapan hidup manusia itu sendiri. Hal ini ditunjukan oleh meningkatnya kasus gizi buruk di masyarakat yang berujung pada kematian. Kelima, krisis ekologi berdampak pada konflik/sengketa sosial di masyarakat, selain sengketa rakyat dengan pengusaha dan pengurus negara. Dari pengalaman penanganan kasus ruang dan lingkungan hidup, konflik/sengketa sosial berupa pertengkaran antar keluarga, tetangga, masyarakat, masyarakat adat di lokasi-lokasi yang berkasus. Bahkan konflik sosial di masyarakat berujung kematian.

Faktor Utama Krisis
Melihat fakta krisis ekologi yang terjadi di tahun ini, faktor utama krisis ekologi yang terjadi di Jawa Barat tidak berbeda dengan kondisi sebelumnya, diantaranya:

Pertama, produksi kebijakan pemerintah tidak memihak pada keadilan ekologi. Produksi kebijakan pusat dan aturan di kementrian kehutanan, ESDM, Bappenas, pertanian, perdagangan, industri serta pekerjaan umum yang secara terus menerus menjadi pemacu terjadinya krisis ekologi di level lokal/daerah bahkan desa. Dalam konteks Jawa Barat, krisis ekologi terjadi akibat berjalannya agenda koridor ekonomi Jawa Barat yang dilegalisasi melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 Tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

Produksi kebijakan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota terus mengalir atas dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan rakyat menjadi pemacu krisis ekologi. Kebijakan otonomi daerah dijadikan alat keruk eksploitatif sumber daya alam tanpa kendali kaidah lingkungan hidup seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan nilai-nilai kearifan lokal. Kebijakan RTRW bukan menjadi instrumen yang memberikan jaminan perlindungan ruang dan lingkungan hidup, namun menjadi pintu masuk perijinan pembangunan dan pengrusakan lingkungan hidup yang masif. Padahal, semua kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki potensi rawan dan rentan terjadinya beragam bencana ekologi.

Kedua, penegakan hukum dan pengawasan ruang dan lingkungan masih lemah yang dijalankan aparatus negara. Indikasi lemahnya penegakan hukum ruang dan lingkungan dapat ditunjukkan dengan lemahnya kapasitas PPNS dalam melakukan pengawasan dan penyidikan kasus lingkungan hidup baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif, jumlah PPNS rata-rata setiap kabupaten/kota hanya memiliki 3-4 orang. Secara kualitatif, PPNS juga memiliki kapasitas yang rendah dari sisi komitmen, integritas dan kompetensi.

Kondisi yang sama juga dialami oleh institusi kepolisian dan pengadilan. Rendahnya kapasitas penyidik kepolisian, kejaksaan dan kehakiman memahami secara komprehensif hukum tata ruang dan lingkungan hidup menjadi indikasi penegakan hukum lingkungan tidak berjalan. Dari catatan yang ada, dari 20 kasus pengrusakan ruang dan lingkungan yang dilakukan oleh pengusaha/pemodal yang masuk ruang pengadilan, hanya 3 kasus yang dimenangkan di persidangan. Situasi ini menunjukkan bahwa keadilan ruang dan lingkungan belum secara sejati ditegakkan. Salah satu kasus yang mengerikan, ketika warga desa  kampung Pangguh Desa Ibun, pencari kayu bakar di hutan harus menjalani tahanan dan persidangan sementara negara membiarkan ratusan pemodal/pengusaha yang melakukan pengrusakan lingkungan hidup (pencemaran, pembabat hutan, pelanggar tata ruang) dan jelas-jelas melanggar tata ruang dan lingkungan hidup tidak diseret ke pengadilan.

Ketiga, masih rendahnya alokasi anggaran sektor lingkungan hidup untuk memulihkan krisis lingkungan hidup yang terjadi di daerah. Semisal di tahun 2011, APBD Propinsi Jawa Barat hanya menganggarkan sekitar Rp 9,9 milyar atau 1% dari total belanja setiap tahun untuk pemulihan dan pengelolaan lingkungan. Di kabupaten/kota rata-rata belanja untuk sektor lingkungan hidup  hanya 2-3 milyar atau 0,6 sampai 1% dari total belanja. Jumlah anggaran ini tidak sebanding dengan tingkat kerusakan dan potensi kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam yang dijalankan. Sementara, tingkat realisasi anggaran di tingkat daerahpun berkisar antara 75-80 persen, sehingga sisa anggaran rata-rata yang tidak terserap sekitar 20 persen per tahun.

Keempat, belum terkelolanya aktivasi kesadaran dan partisipasi komunitas dan para pihak yang berpartisipasi nyata dalam memperbaiki lingkungan hidup di Jawa Barat. Rendahnya upaya pemajuan kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan faktor determinan yang berkontribusi nyata dalam memajukan kualitas lingkungan hidup. Rendahnya kesadaran masyarakat akan ruang dan lingkungan hidup disebabkan oleh terbatasnya akses informasi atas kebijakan perencanaan ruang dan lingkungan hidup serta pengelolaan lingkungan di pelbagai sektor. Namun, meluasnya praktik komunitas dan para pihak lainnya secara swadaya dalam melindungi ruang dan lingkungan hidup menunjukkan perubahan positif yang bisa dikelola secara kolektif.

Jejak krisis ekologi di Jawa Barat tahun 2011 menjadi catatan reflektif bersama, bahwa semua pihak masih memiliki pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secara kolektif. Bahkan diprediksi, krisis ekologi ke depan akan semakin hebat, alam dan lingkungan hidup akan semakin rusak sejalan dengan kebijakan pengadaan tanah untuk pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.

Jejak krisis ekologi ini sekaligus menjadi catatan kritis atas kegagalan pengurus negara (Gubernur dan 26 Bupati/Walikota di Jawa Barat) dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan alam di Tatar Pasundan. Akhirnya, semoga rekaman jejak krisis ini membangkitkan kesadaran semua pihak untuk secara progresif memajukan kualitas lingkungan hidup, memastikan perlindungan koridor ekologi dan empat puluh lima persen kawasan lindung di bumi Tatar Pasundan bisa tercapai.


Ditulis oleh Dadan Ramdan. Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat 2011-2015.
No Kontak 082116759688

Membangun Universitas Daerah

Oleh Aang Kusmawan

 

Kebutuhan akan kompetensi sumber daya manusia yang mempunyai mutu tinggi tampaknya sudah sangat mendesak. Tingkat persaingan hidup yang tampaknya akan semakin tinggi dan cepat telah menjadi alasan utamanya.

 

Dalam konteks tersebut, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka besar kemungkinan orang tersebut akan memenangkan persaingan. Dalam konteks seperti itu juga,  semakin banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi (baca: lembaga pendidikan tinggi) maka semakin banyak juga masyarakat yang kemudian bisa memenangkan persaingan.

 

Anak Tiri Republik

 

Namun dalam konteks Indonesia, mutu sumber daya manusia yang tinggi tampaknya hanya akan menjadi milik orang kota saja. Orang desa yang notabene mayoritas di republik ini nasibnya tidak melebihi orang kota.

 

Tentunya kesimpulan tersebut tidak muncul begitu saja. Silahkan baca dokumen tentang kondisi kemiskinan Indonesia yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 2009. Dokumen tersebut menghimpun data jumlah, konsentrasi kemiskinan di republik ini sejak tahun 1979.

 

Dari data tersebut, ternyata selama tiga puluh tahun lebih konsentrasi kemiskinan masyarakat tidak pernah bergeser. Dari tiga puluh tahun lebih tersebut, tercatat hampir sembilan puluh lima persen masyarakat miskin lebih banyak terkonsentrasi di desa.

 

Dalam konteks peningkatan mutu sumber daya manusia, tentu saja hal ini setidaknya menjadi sebuah sinyalemen, bahwa selama ini hanya sedikit orang saja yang mampu meningkatkan mutu sumber dayanya sehingga menjadi sumber daya manusia yang mempunyai kualitas “nomor satu”. Selebihanya (baca: masyarakat desa) hanya menjadi kualitas nomor tiga atau bahkan tidak mempunyai nomor sekalipun, alias buruk.

 

Seiring dengan hal tersebut, biaya untuk menempuh perguruan tinggi di kota ternyata mengalami kenaikan cepat. Silahkan amati biaya masuk perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri yang berubah menjadi perguruan tinggi berbadan hukum (baca :BHP dan BHMN) seperti UPI, ITB, UI dan lainnya.

 

Bagi penulis yang menetap di desa, kenaikan tersebut terasa sangat menghawatirkan. Sulit untuk membayangkan berapa besar biaya untuk menempuh perguruan tinggi bagi anak penulis kelak, ketika sekarang saja biaya untuk masuk UPI melalui jalur SNPMTPN lebih dari  Rp10.000.000.

 

Mengamati hal tersebut, meminjam istilah almarhum Franky Sahilatua, maka posisi masyarakat desa dalam kontek tersebut rasanya tidak lebih dari sekedar “anak tiri republik”. Keberadaanya diakui namun tidak mendapatkan “kasih sayang” seperti “anak” yang lainnya (baca:kota)

 

Meneguhkan Hati

 

Namun demikian,  peribahasa selalu mengatakan bahwa akan selalu banyak jalan menuju Roma.  Begitupun dalam konteks pengembangan sumber daya yang unggul.

 

Sebenarnya masyarakat desa telah mempunyai beberapa modal dasar dalam pembangunan sumber daya setinggi mungkin. Modal dasar itu adalah keberadaan Lembaga Pendidikan Tinggi (LPT) yang tersebar dari Sabang sampa Merauke.

 

Namun sayang, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut tampaknya “masih setengah hati” dalam membangun sumber daya masyarakat desa yang unggul.  Dalam amatan penulis ketimpangan dalam pemilihan fokus program studi yang akan diambil adalah bentuk setengah hati tersebut.

 

Akhirnya, mau tidak mau jika kemudian hal ini terus terjadi maka sumber daya manusia yang ada di desa akan sangat terbatas, karena pada suatu titik kebutuhan akan tenaga guru di desa akan mengalami titik jenuh. Di sisi lain, penulis meyakini bahwa masih sangat banyak masyarakat desa yang berminat selain menjadi guru.

 

Penulis beranggapan salah satu alasan penting kenapa banyak lembaga pendidikan tinggi yang memilh fokus dilembaga pendidikan, karena mungkin sumber dayanya melimpah dan tidak terlalu rumit dalam operasionalnya.

 

Akan tetapi diluar semua itu, penulis membayangkan bahwa kedepan sebenarnya fokus pemilihan program studi bisa dikelompokan menjadi dua kelompok sederhana saja. Pertama adalah kelompok studi yang fokus diwilayah kependidikan seperti LPTK. Kedua, fokusnya disesuaikan dengan potensi lokal di suatu wilayah.

 

Dalam konteks tersebut, kedepan penulis membayangkan akan ada satu lembaga pendidikan tinggi yang fokus di bidang pendidikan di satu kabupaten, dan satu lagi lembaga pendidikan yang fokus sesuai dengan potensi wilayah kabupaten tersebut.

 

Misalnya saja di Indramayu, sebagai wilayah yang berada di pesisir maka fokus utamanya adalah membuat jurusan atau program studi yang lebih banyak mengekplorasi laut atau ekosistem pesisir. Lalu untuk daerah pekebunan seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut fokus utamanya adalah membuka jurusan atau program studi yang berkonsentrasi pada pengembangan perkebunan di daerah tersebut.

 

Dengan skema tersebut, penulis berani berkeyakinan bahwa kedepan tidak perlu lagi masyarakat desa harus jauh-jauh menempuh pendidikan sampai harus keluar dari daerahnya, apalagi  dengan biaya yang sangat mahal tentunya.

 

Semoga saja dengan skema seperti ini peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia kedepan bisa berjalan dengan maksimal, sehingga akan melahirkan sumber daya manusia yang betul-betul unggul. Semoga masyarakat desa tidak hanya akan menjadi sekedar “anak tiri republik” akan tetapi akan betul-betul menjadi “anak kandung” republik ini.

 

Berdasarkan hal tersebut, penulis berpikiran bahwa semua elemen yang peduli dengan kemajuan sumber daya manusia di desa perlu bersepakat untuk meneguhkan hati dan menyatukan gerak secara bersama-sama. Tanpa adanya keteguhan hati, rasa-rasanya cita-cita tersebut akan menjadi utopia belaka. Mulai sekarang, saya telah meneguhkan hati  untuk membangun desa, lalu anda? ***

 

*Aang Kusmawan, guru ekonomi di Madrasah Aliyah (MA) Sukasari Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Kordinator Serikat Guru Muda (SGM) Bandung

“Galang Gerakan Rakyat Anti Perampasan Tanah”

Oleh: AGRA

Perampasan tanah di masa SBY-Kalla dan SBY-Budiono ini adalah perampasan tanah yang terjadi dalam kurun waktu di mana krisis ekonomi dan krisis keuangan terjadi secara dunia dan semakin akut. Dalam kurun waktu ini, kita melihat bagaimana kaum imperialis dunia menghalalkan segala cara, baik dengan cara bengis melalui agresi militer maupun damai, untuk mencari jalan keluar dari krisis umum yang mereka hadapi. Dengan demikian, kita harus selalu menghubungkan antara krisis dunia, nasional dan lokal yang ditandai dengan maraknya perampasan tanah dan bagaimana caranya rezim boneka imperialis di Indonesia melayani seluruh kepentingan kaum imperialis.

Pada pokoknya perampasan tanah yang terjadi dewasa ini, berlandaskan pada monopoli tanah yang telah ada sebelumnya. Monopoli tanah yang telah ada sebelumnya di Indonesia yang telah dibangun selama 32 tahun masa rezim fasis Orde Baru (1966-1998), sesungguhnya telah lebih memudahkan proses-proses perampasan tanah yang terjadi dewasa ini. Monopoli tanah yang terjadi di masa Orde Baru terutama terjadi dalam bentuk konsentrasi penguasaan tanah-tanah pertanian melalui skema Revolusi Hijau, penguasaan tanah-tanah perkebunan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU), penguasaan tanah-tanah hutan melalui konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), penetapan kawasan taman nasional dan taman hutan raya, penguasaan tanah-tanah pertambangan melalui konsesi pertambangan seperti kontrak karya pertambangan, serta konsentrasi penguasaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dan pemukiman (properti).

Bentuk-bentuk perampasan tanah yang terjadi saat ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi di masa Orde Baru. Yang membedakannya adalah perampasan tanah yang dilakukan saat ini adalah dalam rangka mencari jalan keluar dari krisis umum imperialisme yang sedang mengalami kebangkrutannya. Sehingga tingkat penindasan dan penghisapannya terhadap rakyat serta manipulasinya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Karena bila tidak mereka lakukan secara vulgar, maka krisis yang ada sekarang akan betul-betul menjadi kuburan bagi kaum imperialis tersebut.

Untuk mendukung skema kaum imperialis ini, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah aturan yang terkait dengan pengaturan tanah dan kekayaan alam di Indonesia seperti Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), UU Perkebunan, UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan pengesahan UU Pengadaan Lahan Untuk Pembangunan dan Kepentingan Umum yang baru saja disahkan oleh DPRRI serta mengeluarkan Masterplan percepatan pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Semua aturan terkait perkebunan, pertambangan mineral dan batubara, penanaman modal dan pertanian pangan tersebut mencerminkan watak komprador dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono (SBY-Budiono). Karena memberikan fasilitas sedemikian luas kepada modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, baik melalui konsesi hak guna usaha, kontrak karya pertambangan maupun kemudahan-kemudahan investasi lainnya bagi investor asing untuk menguasai tanah di Indonesia dan menindas serta menghisap rakyat Indonesia.

Dalam pandangan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), aturan-aturan yang disebutkan di atas, memberikan pengesahan atas terjadinya perampasan tanah.

Data tabulasi perampasan tanah priode SBY

No    Pelaku – Proyek – Program    Lokasi    Jumlah (hektar)    Keterangan
1    PT Perkebunan Nusantara (PTPN)   di Seluruh Indonesia    1.729.251 hektar,   Meliputi lebih dari 7 komoditas perkebunan, di luar Rajawali
2    Perkebunan Besar Swasta (Cargill, Sinar Mas, dan lain-lain)  di Seluruh Indonesia    21.267.510 hektar   Meliputi 7 komoditas perkebunan
3    Kalimantan Border Oil Palm Mega Project   di Perbatasan Indonesia – Malayasia    1.800.000 hektar dengan  Komoditas sawit untuk produksi energi nabati
4    Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)   di Merauke, Papua    2.823.000 hektar   Pertanian pangan dan energi nabati terintegrasi.
5    Grup Salim  di  Nusa Tenggara Barat    120.000 hektar dengan komoditas kebun  Tebu
6    Taman Nasional  di   Seluruh indonesia    15.000.000 hektar  dengan  50 jenis taman nasional di seluruh Indonesia

Total tanah yang di Rampas        42.739.761.     Belum termasuk proyek infra stuktur seperti jalan tol, dan dan lain lain

Sumber data AGRA, 2011

Keperluan mendesak bagi kaum tani

Atas penjabaran di atas maka kaum tani perlu melakukan politik pemblejetan terhadap Rezim SBY-Budiono sebagai rezim fasis. Perampas Tanah Rakyat dan memimpin seluruh perjuangan rakyat tani di pedesaan untuk mempertahankan dan merebut tanah yang telah dirampas oleh musuh-musuh kaum tani. Hal ini dapat kita lihat dari tindakan fasis yang dilakukan rezim SBY-Budiono yang telah membunuh dan menyiksa secara brutal terhadap kaum tani di Mesuji dan Bima yang baru saja terjadi. Berbagai kebijakan yang sudah di keluarkan maupun yang sedang disiapkan (Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria yang rencananya akan dikeluarkan pada bulan Januari 2012) ini tentu saja akan diarahkan untuk memuluskan perampasan tanah sebagai bentuk pengabdian setianya pada Imperialis dan mengeluarkan konsep REFORMA AGRARIA PALSU. Selain itu, melalui tujuan ini juga diharuskan seluruh jajaran pimpinan maupun anggota AGRA untuk melakukan pendataan dan analisa tentang dampak yang ditimbulkan akibat kebijakan rezim SBY-Budiono. Data-data dan analisa inilah yang akan kita propagandakan secara luas sebagai bukti bahwa Rezim SBY-Budiono merupakan “Rezim fasis yang Anti-Tani dan anti-Rakyat”.

Memajukan kesadaran politik rakyat agar mengerti bahwa selama system negeri ini didominasi oleh imperialisme dan feodalisme sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, maka monopoli atas tanah dan perampasan tanah dengan cara kekerasan tetap berlangsung. Oleh karenanya perlu dilaukan kerja-kerja propaganda yang lebih intensif agar rakyat dan kaum tani mengerti perjuangan jangka panjang untuk mengubah system yang ada menjadi system social yang baru sama sekali yang mencerminkan demokrasi rakyat. Sehingga, berbagai persoalan yang ada dapat dilenyapkan sepenuhnya. Juga penting bagi organisasi AGRA untuk mengajak rakyat mengerti sepenuhnya, bahwa di dalam situasi sekarang yang mungkin hanya mengurangi berbagai bentuk Monopoli atas tanah, sementara untuk bisa melenyapkan sepenuhnya Monopoli atas tanah hanya bisa ditempuh jika rakyat dan kaum tani berjuang bersama-sama mengubah system sosial yang ada.

Membangun persatuan rakyat untuk menolak perampasan tanah, dengan jalan membangun aliansi di setiap tingkatan (Provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa) dengan membangun SEKRETARIAT BERSAMA GERAKAN RAKYAT ANTI PERAMPASAN TANAH sebagai pusat informasi, komunikasi, dan koordinasi untuk melakukan kampanye massa anti perampasan tanah. ***

HENTIKAN PERAMPASAN TANAH UNTUK PERKEBUNAN SKALA BESAR, PERTAMBANGAN SKALA BESAR, TAMAN NASIONAL DAN PROYEK INFRASTRUKTUR YANG MERUGIKAN RAKYAT!

oleh: SEKRETARIAT BERSAMA GERAKAN RAKYAT ANTI PERAMPASAN TANAH

Pengantar
Situasi politik dunia sekarang ini semakin memanas seiring badai krisis ekonomi dunia yang akan berlangsung lama karena bangkrutnya sistem kapitalisme dalam skala dunia. Krisis ekonomi dan keuangan yang memu-kul pusat kekuatan imperialis seperti di Amerika Serikat dan Uni Eropa, telah membawa malapetaka besar bagi rakyat di negeri-negeri imperialis dan rakyat di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Gerakan rakyat yang bangkit di berbagai negeri menandakan masa senjakala dari sistem kapitalisme yang sekarat dan semakin barbar. Berbagai bentuk perlawanan rakyat yang semakin besar dan massif mewarnai hari-hari dalam pusaran badai krisis yang semakin dalam; secara langsung telah menyerang sistem kapitalisme dalam skala dunia yang tidak lagi menjadi solusi bagi rakyat dunia namun justru malapetaka. Tak terkecuali bagi rakyat Indonesia.

Indonesia adalah negeri setengah jajahan dan setengah feodal yang ditandai dengan ketergantungan ekonomi yang sepenuhnya bertumpu pada modal asing dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan kapitalis monopoli asing dan bukan untuk rakyat Indonesia. Dominasi kapital asing telah meliputi seluruh sektor kehidupan ekonomi nasional tanpa kecuali. Hancurnya ekonomi nasional karena dominasi kapital monopoli asing (imperialisme) ini tidak bisa dipisahkan dari kedudukan dan peranan klas-klas reaksi yang mengontrol negara Republik Indonesia dan pemer-intah yang sedang berkuasa di bawah rezim boneka SBY-Budiono. Politik nasional Indonesia yang terjajah dan menjadi pemerintah boneka imperialis pimpinan AS, telah menjadikan pemerintah SBY-Budiono sebagai pintu gerbang bagi penindasan dan penghisapan rakyat In-donesia yang semakin brutal yang dilakukan oleh negeri-negeri imperialis agar bisa keluar dari badai krisis yang ten-gah menyerang negeri-negeri mereka.

Pada perkem-bangan situasi nasional sekarang, ma-salah politik na-sional semakin memanas oleh berbagai isu sosial-ekonomi maupun politik karena tindakan-tindakan perlawanan kolektif massa rakyat yang luas dan ditindas dengan cara-cara fasis yang kejam oleh tentara dan polisi di bawah pemerintah SBY. Belum lama berselang, suku bangsa minoritas di Papua telah mendapatkan tindaan yang kejam dari Polri/TNI, selain gerakan buruh di PT Freeport, yang ditembak mati oleh aparatus tentara-polisi.

Masih segar dalam ingatan kolektif massa rakyat Indonesia, bagaimana PT Freeport juga menyatakan bahwa pe-rusahaan imperialis dari AS ini telah memberikan dana sebanyak 14 juta USD kepada Polri/TNI di Papua untuk biaya pengamanan areal tambang yang semakin menjelaskan Polri/TNI sebagai aparatus imperialis secara lang-sung. Situasi ini sangat nyata dan terang menjelaskan perwujudan watak korup dan fasis yang dilakukan oleh pe-merintah SBY sebagai boneka yang melayani kepentingan imperialis yang panik di tengah krisis. Di tengah situasi seperti inilah gerakan rakyat anti perampasan tanah telah menemukan dasar obyektifnya untuk memperbesar dan memperkuat gerakan rakyat dalam garis anti-imperialisme, anti feodalisme dan anti-kapitalisme birokrat.

Rezim SBY-Budiono sebagai Rezim Fasis Perampas Tanah Rakyat


Hakekat fasisme adalah kekerasan dengan menggunakan apara-tus negara yang melayani dan melindungi kepentingan investasi asing milik imperialis dengan cara menindas perlawanan rakyat secara kejam dengan kekerasan bersenjata maupun cara-cara terselubung yang licik.

Fakta fasisme di Indonesia bisa dengan mudah kita lacak dari jejak berdarah tindasan militer yang dilakukan oleh mesin ne-gara reaksi melalui kapitalis birokrat mulai dari Presiden, TNI-Polri, Gubernur, hingga Bupati dari Sabang hingga Merauke. Kapitalis birokrat sejak jaman Suharto hingga SBY saat ini terus menyempurnakan diri agar memiliki legitimasi melakukan tin-dakan fasisnya dengan berbagai perundang-undangan yang mengesahkan penangkapan, penculikan, penghilan-gan paksa, penyadapan, pembreidelan, pelarangan organisasi, penggusuran massal, perampasan tanah, pen-gusiran paksa, pembubaran paksa demonstrasi, dan sebagainya.

Secara militer, negara reaksi juga belum membubarkan komando teritori dari tingkat Kodam hingga Koramil dan terus bergerak aktif dalam mengintimidasi kehidupan rakyat serta mengamankan kepentingan vital milik imperialis. Dengan berbagai kedok mereka juga membangun dan membina berbagai organisasi masyarakat yang ber-jubah agama dan kesukuan untuk memecah-belah dan mengadu-domba rakyat, bahkan disiapkan untuk melaku-kan tindakan fasis atas nama agama atau stabilisasi politik bagi iklim investasi asing yang setiap saat dibutuhkan.

Secara umum, jejak langkah fasis yang berderap ini menyertai isu-isu strategis yang disokong langsung imperial-isme AS seperti anti-terorisme maupun proyek-proyek besar milik imperialis yang tengah membuang kapitalnya ke Indonesia agar tidak membusuk seperti pertambangan besar, perkebunan besar, taman nasional, kawasan in-dustri, dan proyek infrastruktur besar.

Rakyat suku bangsa minoritas di Papua belum bebas dari operasi militer, mengalami penindasan fasis militer oleh aparat TNI-Polri yang mengamankan perusahaan tambang emas terbe-sar di dunia PT Freeport Mc Moran maupun proyek perkebunan besar untuk pangan dan energi (MIFEE). Di Su-lawesi, investasi besar-besaran di tambang nikel dan minyak, (Inco, Exxon Mobile Oil, Medco), perkebunan kelapa sawit (Sinarmas, Cargill, Lonsum, dsb), bendungan besar (Bank Dunia, ADB), taman nasional, dan infrastruktur (PLTA), semuanya menggusur tempat tinggal dan sumber ekonomi rakyat atas nama pembangunan, penanaman investasi dan perdagangan yang kesemuanya adalah kepentingan bisnis imperialis. Di Kalimantan dan Sumatra,
proyek perkebunan kelapa sawit (Cargill, Sinar mas), perkebunan tanaman industri (Barito Pasific, Sinarmas, Golden Eagle), tambang batubara, taman nasional, juga membawa konsekwensi kejam bagi suku bangsa minoritas maupun rakyat setempat.

Konflik agraria akibat perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan skala besar juga telah memakan korban di Mesuji Lampung dan Sumatra Bagian Selatan. Rakyat di Register 45, Moro-moro, Lampung sudah sangat lama dirampas tanahnya dan kehilangan hak sosial-ekonomi dan politiknya. Sekitar 30 rakyat meninggal dan ratusan rakyat di penjara akibat aksi perebutan lahan antara rakyat dan perusahaan perkebunan PT Silva-inhutani, PT SWA dan PT BSMI. Aparat polisi, tentara, hingga Pam Swakarsa bentukan perusahaan perkebunan telah menjadi mata rantai fasis di lapangan yang seluruh operasionalnya disokong oleh pihak perusahaan perkebunan.

Sementara pembantaian rakyat di Lambu, Sape, Bima, NTB, lebih terang menjelaskan bagaimana rakyat dijadikan tumbal bagi perusahaan tambang besar milik imperialis bernama PT Arc Exploration, sebuah perusahaan tam-bang emas dari Australia yang menjadi pemegang saham mayoritas PT SMN.

Aksi blokade pelabuhan yang dilaku-kan rakyat Lambu dibubarkan paksa dengan berondongan senjata oleh pihak Brimob-Polri. Dampaknya 2 orang meninggal dunia dan puluhan luka-luka berat. Penembakan, pemukulan dan penganiayaan berat terhadap rakyat secara terang-terang menjelaskan peranan TNI/Polri sebagai alat fasis negara yang menginjak-injak hak asasi rakyat dan melayani kepentingan kapital asing.

Demikian pula yang terjadi di Sinyerang, Jambi. Sekitar 1500 petani sedang berkonflik dengan PT APP anak peru-sahaan Sinar Mas yang merampas tanah sekitar 7244 hektar milik rakyat. Petani Sinyerang bangkit melakukan perlawanan dengan merebut kembali tanah yang telah dirampas oleh PT APP dengan menebang kayu dan men-guasai kembali lahan.

Berbagai bentuk perampasan tanah skala luas yang sedang berjalan saat ini pada hakekatnya adalah skema dari imperialis. Pertambangan skala besar (minyak, emas, batubara, mineral, pasir besi, panas bumi, dsb), perkebunan skala besar (kelapa sawit, hutan tanaman industri, karet), taman nasional, proyek infrastruktur (kawasan industri milik imperialis, jalan tol, bandar udara, waduk, fasilitas militer, dsb), hingga isu perubahan iklim yang meng-gunakan program REDD+. Esensi dari seluruh penerapan kebijakan tersebut adalah perampasan tanah yang ha-rus dilawan oleh seluruh rakyat di pedesaan maupun perkotaan.

Ditinjau dari seluruh rencana pembangunan tersebut, secara hakekat merupakan kepentingan imperialis dan rezim SBY me-layani imperialis yang sangat menentukan dari aspek modal (kapital) yang besar, jenis tanaman maupun produksi, jenis proyek, hingga tujuan produksi dan proyek yang sepenuhnya untuk melayani kepentingan imperialis.

Kecaman, Tuntutan dan Seruan

Kecaman :

Mengutuk Pemerintah SBY-Budiono sebagai rezim fasis perampas tanah rakyat yang harus bertanggung jawab atas seluruh pembantaian dan kekerasan brutal yang dila-kukan oleh aparat Polri/TNI/Pam Swakarsa.

Tuntutan :

1. Hentikan seluruh bentuk perampasan tanah yang sedang maupun yang sudah berlang-sung untuk kepentingan perkebunan skala besar, pertambangan skala besar, taman nasional, dan proyek infrastruktur yang merugikan rakyat!

2. Hentikan seluruh tindakan kekerasan fasis yang dilakukan oleh aparat negara TNI/Polri maupun kelompok sipil bayaran (pam swakarsa) terhadap rakyat!

3. Hentikan kriminalisasi terhadap rakyat dan bebaskan seluruh pejuang rakyat yang telah melakukan perjuangan hidup-mati untuk merebut tanah sebagai sumber kehidupan rakyat!

4. Tarik seluruh pasukan TNI/Polri dari seluruh wilayah konflik agraria

5. Hukum dan copot seluruh aparat TNI/Polri dari jabatannya yang telah melakukan penembakan dan penganiayaan brutal terhadap rakyat!

6. Cabut seluruh undang-undang yang menjadi dasar hukum perampasan tanah Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), UU Perkebunan, UU No.41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan pengesahan UU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

7. Tolak dan Blejeti Reforma Agraria palsu pemerintah SBY!

8. Laksanakan Landreform Sejati!

Seruan :

Menyerukan kepada seluruh kaum tani di Indonesia untuk merebut kembali tanah-tanah dari para perampas tanah yang dilakukan oleh musuh-musuh petani, mempertahankan tanah yang telah diduduki dan mengelola tanah agar produktif untuk kelangsungan hidup keluarga petani. Menggalang persatuan rakyat seluas mungkin dengan membangun SEKRETARIAT BER-SAMA GERAKAN AKYAT ANTI PERAMPASAN TANAH untuk menggelorakan dan menyatukan perjuangan rakyat anti tambang besar, anti perkebunan skala besar, anti taman nasional, dan proyek infrasturktur yang merugikan kepentingan rakyat! Mengkoordinasikan seluruh perjuangan rakyat anti perampasan tanah dalam skala na-sional dan menghubungkan dengan perjuangan rakyat di berbagai negeri untuk meng-galangsolidaritas internasional dalam garis politik anti imperialisme, anti feodalisme, anti kapitalisme birokrat.

Hidup Kaum Tani Indonesia!
Tanah untuk Buruh-Tani!
Laksanakan Landreform Sejati!

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.