Translate

Membangun Universitas Daerah

Oleh Aang Kusmawan

 

Kebutuhan akan kompetensi sumber daya manusia yang mempunyai mutu tinggi tampaknya sudah sangat mendesak. Tingkat persaingan hidup yang tampaknya akan semakin tinggi dan cepat telah menjadi alasan utamanya.

 

Dalam konteks tersebut, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka besar kemungkinan orang tersebut akan memenangkan persaingan. Dalam konteks seperti itu juga,  semakin banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi (baca: lembaga pendidikan tinggi) maka semakin banyak juga masyarakat yang kemudian bisa memenangkan persaingan.

 

Anak Tiri Republik

 

Namun dalam konteks Indonesia, mutu sumber daya manusia yang tinggi tampaknya hanya akan menjadi milik orang kota saja. Orang desa yang notabene mayoritas di republik ini nasibnya tidak melebihi orang kota.

 

Tentunya kesimpulan tersebut tidak muncul begitu saja. Silahkan baca dokumen tentang kondisi kemiskinan Indonesia yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 2009. Dokumen tersebut menghimpun data jumlah, konsentrasi kemiskinan di republik ini sejak tahun 1979.

 

Dari data tersebut, ternyata selama tiga puluh tahun lebih konsentrasi kemiskinan masyarakat tidak pernah bergeser. Dari tiga puluh tahun lebih tersebut, tercatat hampir sembilan puluh lima persen masyarakat miskin lebih banyak terkonsentrasi di desa.

 

Dalam konteks peningkatan mutu sumber daya manusia, tentu saja hal ini setidaknya menjadi sebuah sinyalemen, bahwa selama ini hanya sedikit orang saja yang mampu meningkatkan mutu sumber dayanya sehingga menjadi sumber daya manusia yang mempunyai kualitas “nomor satu”. Selebihanya (baca: masyarakat desa) hanya menjadi kualitas nomor tiga atau bahkan tidak mempunyai nomor sekalipun, alias buruk.

 

Seiring dengan hal tersebut, biaya untuk menempuh perguruan tinggi di kota ternyata mengalami kenaikan cepat. Silahkan amati biaya masuk perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri yang berubah menjadi perguruan tinggi berbadan hukum (baca :BHP dan BHMN) seperti UPI, ITB, UI dan lainnya.

 

Bagi penulis yang menetap di desa, kenaikan tersebut terasa sangat menghawatirkan. Sulit untuk membayangkan berapa besar biaya untuk menempuh perguruan tinggi bagi anak penulis kelak, ketika sekarang saja biaya untuk masuk UPI melalui jalur SNPMTPN lebih dari  Rp10.000.000.

 

Mengamati hal tersebut, meminjam istilah almarhum Franky Sahilatua, maka posisi masyarakat desa dalam kontek tersebut rasanya tidak lebih dari sekedar “anak tiri republik”. Keberadaanya diakui namun tidak mendapatkan “kasih sayang” seperti “anak” yang lainnya (baca:kota)

 

Meneguhkan Hati

 

Namun demikian,  peribahasa selalu mengatakan bahwa akan selalu banyak jalan menuju Roma.  Begitupun dalam konteks pengembangan sumber daya yang unggul.

 

Sebenarnya masyarakat desa telah mempunyai beberapa modal dasar dalam pembangunan sumber daya setinggi mungkin. Modal dasar itu adalah keberadaan Lembaga Pendidikan Tinggi (LPT) yang tersebar dari Sabang sampa Merauke.

 

Namun sayang, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut tampaknya “masih setengah hati” dalam membangun sumber daya masyarakat desa yang unggul.  Dalam amatan penulis ketimpangan dalam pemilihan fokus program studi yang akan diambil adalah bentuk setengah hati tersebut.

 

Akhirnya, mau tidak mau jika kemudian hal ini terus terjadi maka sumber daya manusia yang ada di desa akan sangat terbatas, karena pada suatu titik kebutuhan akan tenaga guru di desa akan mengalami titik jenuh. Di sisi lain, penulis meyakini bahwa masih sangat banyak masyarakat desa yang berminat selain menjadi guru.

 

Penulis beranggapan salah satu alasan penting kenapa banyak lembaga pendidikan tinggi yang memilh fokus dilembaga pendidikan, karena mungkin sumber dayanya melimpah dan tidak terlalu rumit dalam operasionalnya.

 

Akan tetapi diluar semua itu, penulis membayangkan bahwa kedepan sebenarnya fokus pemilihan program studi bisa dikelompokan menjadi dua kelompok sederhana saja. Pertama adalah kelompok studi yang fokus diwilayah kependidikan seperti LPTK. Kedua, fokusnya disesuaikan dengan potensi lokal di suatu wilayah.

 

Dalam konteks tersebut, kedepan penulis membayangkan akan ada satu lembaga pendidikan tinggi yang fokus di bidang pendidikan di satu kabupaten, dan satu lagi lembaga pendidikan yang fokus sesuai dengan potensi wilayah kabupaten tersebut.

 

Misalnya saja di Indramayu, sebagai wilayah yang berada di pesisir maka fokus utamanya adalah membuat jurusan atau program studi yang lebih banyak mengekplorasi laut atau ekosistem pesisir. Lalu untuk daerah pekebunan seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut fokus utamanya adalah membuka jurusan atau program studi yang berkonsentrasi pada pengembangan perkebunan di daerah tersebut.

 

Dengan skema tersebut, penulis berani berkeyakinan bahwa kedepan tidak perlu lagi masyarakat desa harus jauh-jauh menempuh pendidikan sampai harus keluar dari daerahnya, apalagi  dengan biaya yang sangat mahal tentunya.

 

Semoga saja dengan skema seperti ini peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia kedepan bisa berjalan dengan maksimal, sehingga akan melahirkan sumber daya manusia yang betul-betul unggul. Semoga masyarakat desa tidak hanya akan menjadi sekedar “anak tiri republik” akan tetapi akan betul-betul menjadi “anak kandung” republik ini.

 

Berdasarkan hal tersebut, penulis berpikiran bahwa semua elemen yang peduli dengan kemajuan sumber daya manusia di desa perlu bersepakat untuk meneguhkan hati dan menyatukan gerak secara bersama-sama. Tanpa adanya keteguhan hati, rasa-rasanya cita-cita tersebut akan menjadi utopia belaka. Mulai sekarang, saya telah meneguhkan hati  untuk membangun desa, lalu anda? ***

 

*Aang Kusmawan, guru ekonomi di Madrasah Aliyah (MA) Sukasari Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Kordinator Serikat Guru Muda (SGM) Bandung

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.