Translate

Aliansi Mahasiswa UPI Tolak Kenaikan BBM



Bumi Siliwangi, isolapos.com-

Menjelang 1 April, reaksi mahasiswa menolak rencana pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin marak. Salah satunya, aksi yang digelar oleh Aliansi Mahasiswa UPI (AMUPI).

Aksi yang dipimpin oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) UPI, Hamdan Ardiansyah ini dimulai dari depan Gedung PKM menuju gerbang atas UPI, Senin (26/3).

Hamdan menegaskan aksi ini merupakan bentuk penolakan mahasiswa UPI akan naiknya harga BBM.

“Saya sebagai perwakilan dari organisasi inter dan ekstra UPI menolak kenaikan BBM,” tegas Hamdan.

Menurut bagian hubungan masyarakat AMUPI Aldi Febrian, aksi ini bertujuan untuk mengkampanyekan aksi lanjutan yang akan dilakukan esok hari di Gedung Sate Bandung. “Aksi ini untuk menggalang massa untuk melakukan aksi long march dari UPI ke Gedung Sate besok,” ucap Aldi.

Dalam aksinya, mereka menuntut empat hal kepada pemerintah yaitu, membatalkan kebijakan kenaikan BBM, nasionalisasikan blok migas dan kekayaan lainnya yang dikuasai oleh perusahaan asing, menolak bentuk kebijakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai solusi kenaikan BBM kepada masyarakat, dan turunkan harga sembako.

Aksi ini mendapat juga mendapat dukungan dari beberapa orang yang melintas di sekitar kampus UPI. Sopir angkot jurusan Stasiun-Lembang, Enjang mengatakan mengapresiasi aksi penolakan kenaikan harga BBM. “Pokoknya saya dukung supaya BBM ngga jadi naik,” ujarnya saat di temui isolapos.com.

Senada dengan Enjang, Winda Primarisky mahasiswa Pendidikan Manajemen Bisnis UPI menyatakan dukungannya. “Karena BBM naik tidak adil, dampak dari naiknya BBM bukan hanya untuk para pengendara saja,” jelas Winda. [Ratih Ika Wijayanti & Yuni Misdiantika]

sumber: http://isolapos.com/2012/03/amupi-gelar-aksi-tolak-kenaikan-bbm/

Tolak Kenaikan BBM, Massa FPR Kepung DPR

Oleh Sunandar



JAKARTA, PedomanNEWS - Massa aksi demonstrasi Front Perjuangan Rakyat (FPR) hari ini, kamis (29/03) menggelar aksi damai di gedung DPR-MPR RI untuk menolak rencana kenaikkan harga bbm.

Massa FPR berkumpul di depan TVRI sejak pukul 10.00 WIB dan long march menuju gedung DPR RI. "Kita akan melakukan aksi long mach ke DPR sekitar jam 11 siang," ujar juru bicara FPR, Hary Sandi kepada Pedoman NEWS, di Jl. Gerbang Pemuda, Senayan Jakarta, Kamis (29/3).

Menurutnya, massa aksi demonstrasi akan bergerak setelah berkumpul dengan beberapa elemen organisasi lainnya yang tersebar di 20 kota lain di Indonesia.

"Sekitar 2000 massa aksi akan datang kemari untuk memadati DPR dan menuntut anggota dewan agar membatalkan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) subsidi," ungkapnya.

Adapun tuntutan mereka kepada pemerintah mencakup kenaikkan upah buruh, tolak kenaikkan harga BBM, reformasi agraria dan berantas korupsi. Sampai berita ini diturunkan, massa FPR yang ada di daerah ditahan polisi.

"Dari Bandung surat ijin busnya ditahan sama Dishub Bandung. Lalu massa aksi Ddri Tangerang juga ditahan," tandasnya.

CR1/Sunandar

Kamis, 29 Maret 2012 12:56 WIB

sumber: http://www.pedomannews.com/politik-hukum-dan-keamanan/11884-tolak-kenaikan-bbm-massa-fpr-kepung-dpr'

Waria Orasi Ramaikan Aksi Tolak BBM Naik di Bandung

Oleh Oris Riswan Budiana - detikBandung



Bandung - Anggi (40), seorang waria, ramaikan aksi tolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jalan Diponegoro, Kamis (29/3/2012). Ia menjadi pusat perhatian ribuan pedemo lainnya lantara berorasi di atas mobil bak terbuka.

Anggi yang bernama asli Abdul, datang seorang diri dan bergabung dalam aksi. Dia didaulat menyampaikan orasi. Anggi pun langsung disambut tepuk tangan meriah massa.

"Pak SBY turunkan BBM kalau enggak mau disedot," teriak Anggi yang langsung disambut tawa massa.

Berkali-kali, ia melontarkan kalimat-kalimat yang mengundang gelak tawa. Namun ia mendapat aplaus. Bahkan tawa pedemo kian menjadi-jadi saat Anggi menyebut nama-nama pejabat negara.

"Ahmad Heryawan (Gubernur Jabar) sedot, Marzuki Alie sedot, terutama SBY sedot," katanya yang lagi-lagi ditimpali tawa riuh demonstran.

Disinggung maksud ia menyebut kalimat sedot, Anggi punya alasan sendiri. "Ya masak SBY nyedot harta rakyatnya. Harus saya sedot dong SBY," tuturnya.

Dengan tegas, ia menyatakan penolakannya terhadap kenaikan harga BBM. Sebab bisa dipastikan kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok lainnya.

"Sekarang saja sudah susah. Saya enggak akan kayak gini kalau hidup serba murah. Makanya saya tidak setuju BBM naik," tutur Anggi yang tinggal di Jalan Jembatan Empat, Kiaracondong, Kota Bandung.

Bahkan ia menyentil SBY yang tidak berpihak pada rakyat. "Yang memimpin kita seperti apa ih. Mungkin yang mimpin kita juga banci ih. Kalau SBY banci, dandan dong seperti saya," teriaknya.

Setelah berorasi, Anggi lalu turun dan orasi dilanjutkan dengan perwakilan massa lainnya. Unjuk rasa yang berlangsung sejak pukul 09.00 WIB ini masih berlangsung. Situasi terpantau kondusif.


(ors/bbn)

sumber: http://bandung.detik.com/read/2012/03/29/143821/1880071/486/waria-orasi-ramaikan-aksi-tolak-bbm-naik-di-bandung

Blejeti Rencana Jahat Pemerintah Menaikan Harga BBM pada Awal April 2012!

Pendahuluan

Pemerintah SBY kembali bertindak sebagai kepala batu. Di tengah badai krisis ekonomi dunia yang belum berlalu dan krisis dalam negeri yang semakin kronis, rakyat Indonesia kembali mendapatkan pukulan telak melalui kebijakan terbaru rezim yakni menaikkan harga BBM untuk yang keempat kalinya selama SBY berkuasa. Kebijakan ini kita nilai sebagai kebijakan kepala batu karena jelas merugikan rakyat dan berdampak luas bagi penderitaan mayoritas rakyat Indonesia yang miskin.

Kebijakan menaikkan BBM dan akan menyusul kenaikan TDL dalam waktu yang tidak lama, apapun dasar pikirnya adalah kebijakan anti-rakyat yang harus dilawan oleh seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan SBY sebagai rezim anti-rakyat yang keras kepala menaikkan harga BBM tidak mungkin dipisahkan dari perkembangan situasi internasional yang memicu kenaikan harga minyak dunia, skema umum imperialisme di Indonesia terkait penguasaan sumber-sumber energi (migas) dan dasar kebijakan atas politik anggaran (APBN).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perusahaan tambang minyak di Indonesia telah didominasi oleh perusahaan asing khususnya milik imperialis AS. Situasi ini mencerminkan kedudukan imperialis AS sebagai kekuatan monopoli tunggal dunia yang paling rakus dan barbar dalam menguasai sumber energi terpenting seperti minyak. Dengan jalan damai atau perang, imperialis AS telah terbukti menjadi perampok terbesar sumber kekayaan alam dunia bernama minyak dan tanpa saingan yang sepadan. Tak terkecuali di Indonesia. Perusahaan besar milik kapitalis monopoli dunia dari AS telah menjadi penguasa tunggal di sektor pertambangan di Indonesia seperti emas, minyak, gas bumi, dsb.

Selama masa kekuasaan pemerintah SBY sebagai pemerintah boneka AS, tidak terhitung jasanya dalam memastikan kepentingan kapitalis monopoli AS semakin intensif dalam mengeksploitasi alam dan rakyat Indonesia, termasuk monopoli atas tambang minyak. Pengesahan dan perpanjangan kontrak karya kuasa pertambangan minyak seperti terhadap Chevron dan ExxonMobile sterjadi pada masa pemerintah SBY yang membuktikan pengabdian besar SBY terhadap majikannya, imperialis AS. Selama SBY berkuasa, budak imperialis ini telah bertindak konsisten selayaknya pemerintah boneka yang berjasa dalam menyelamatkan perekonomian negeri imperialis dari badai krisis yang mereka derita akibat kerakusanna sendiri. Dan sebaliknya, SBY bertindak sebagai musuh nomer 1 bagi rakyat Indonesia melalui seluruh tindakan politiknya yang semakin menjauhkan rakyat dan negeri dari kemandirian dan kedaulatannya.

Sementara kebijakan menghapuskan subsidi atas BBM, tidak lebih hanya akal bulus SBY dalam mengutak-atik politik anggarannya agar sesuai dengan kepentingan klik-nya yang sedang berkuasa dan skema yang dikehendaki oleh imperialis. Seluruh dasar pikir dan kebijakan yang diterapkan dalam mengawal kenaikan BBM ini, secara tak terbantahkan pada akhirnya adalah meningkatnya penderitaan rakyat; semakin meluasnya kemiskinan dan pengangguran. Kenaikan BBM membawa dampak umum kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang jauh dari daya jangkau upah buruh maupun pendapatan kaum tani Indonesia yang mayoritas miskin. Kebijakan kenaikan BBM ini semakin menyerang kepentingan klas buruh, semi-proletar dan kaum tani Indonesia; suatu kebijakan yang dijalankan di atas kebijakan politik upah buruh murah dan perampasan tanah besar-besaran.

Atas dasar pendirian dan sikap yang terang bahwa kebijakan SBY menaikkan BBM adalah melawan kepentingan rakyat umum, maka seluruh rakyat memiliki kepentingan obyektif dan tunggal secara nasional dengan menolak dan melawan kebijakan menaikkan BBM ini.

A.     Membantah Alasan Palsu Pemerintah SBY di Balik Kenaikan Harga BBM

Apa alasan utama pemerintah SBY menaikkan harga BBM?

Alasan pertama), membengkaknya jumlah subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat naiknya harga minyak dunia. Dalam menghitung APBN 2012, pemerintah dan DPR menyepakati harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 90 per barel sebagai patokan. Kenyataannya, selama Februari rata-rata harga minyak mentah Indonesia saat ini sudah US$ 122,17 per barel. Sedangkan konsumsi solar dan premium juga meningkat dari 35,8 juta kiloliter pada 2010 menjadi 38,5 juta kiloliter pada 2011 lalu. Akibatnya, subsidi untuk solar dan premium sepanjang 2012 akan melonjak dari Rp 123,6 triliun menjadi 191,1 triliun. Jika harga minyak dunia terus naik, subsidi akan membengkak diluar kemampuan anggaran negara. Padahal, pengeluaran akan lebih bermanfaat bila dipakai untuk keperluan lain seperti pembangunan jalan, jembatan, dermaga, atau pelayanan pendidikan.

Alasan kedua) Masyarakat yang kurang mampu akan menikmati manfaat lebih besar jika harga premium dan solar lebih tinggi. Sebab masyarakat kurang mampu bukan konsumen premium maupun solar yang terbesar. Pemerintah SBY juga senantiasa menyebutkan bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran, karena 77% konsumsi BBM bersubsidi digunakan oleh kelas menengah ke atas atau yang memiliki mobil pribadi. Sehingga asumsi yang dibangun pemerintah atas kenaikan BBM agar subsidi BBM lebih tepat sasaran.

Alasan ketiga) Harga jual solar dan premium yang terlalu rendah dibanding harga diluar negeri juga cenderung mendorong penyelundupan dan penyelewengan solar dan premium yang seharusnya diperuntukkan konsumen dalam negeri. Mereka yang mendapatkan manfaat dari subsidi adalah para penyelundup dan penyeleweng.

Alasan keempat) Penerimaan dari migas semakin kecil karena produksinya menurun sementara subsidinya justru makin meningkat karena konsumsi semakin besar.

Demikianlah alasan kenaikan harga BBM sekaligus menjelaskan cara berpikirnya pemerintah anti rakyat yang dangkal, sepotong dan tidak konsisten. Bagaimana kita membantah semua kebohongan ini?

Bantahan Pertama), Dasar kenaikan harga BBM terkait dengan kebijakan subsidi yang membengkak karena kenaikan harga minyak dunia adalah omong kosong besar karena Indonesia adalah termasuk negara produsen yang seharusnya diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia. Selama ini pemerintah menutup-nutupi berapa keuntungan tambahan yang didapat dari naiknya harga minyak dunia. Bila masalahnya adalah patokan harga minyak mentah Indonesia yang dipatok sebesar US$ 90 per barel, dan harus disesuaikan dengan kenaikan harga yang baru, kebijakan ini bisa ditetapkan tanpa harus menaikkan harga BBM yang sangat merugikan rakyat umum. Artinya, dasar alasan menaikkan harga BBM bila dihubungkan dengan defisit anggaran APBN tidak menemukan alasan yang obyektif bila didasarkan pada kenaikan keuntungan yang didapat oleh Indonesia sebagai negara produsen minyak mentah. Masalahnya adalah pemerintah SBY tidak bisa dipercaya, manipulatif dan tidak berpihak pada kepentingan umum rakyat Indonesia.

Bantahan kedua), bahwa rakyat kecil bukan konsumen utama premium dan solar, sehingga subsidi bahan bakar ini hanya menguntungkan orang kaya Indonesia. Apakah benar rakyat Indonesia yang pada umumnya adalah rakyat miskin tidak diuntungkan oleh subsidi BBM? Bila alasannya adalah subsidi yang tidak tepat sasaran, mengapa kenaikan BBM tidak mengarah pada mempertahankan subsidi bagi konsumen rakyat miskin dan menghapus subsidi pada warga kaya, namun menaikkan secara pukul rata yang dampaknya menderita rakyat umum yang mayoritas miskin?

Dari data yang terhimpun, konsumsi BBM paling besar diduduki oleh sektor transportasi dengan kecenderungan yang terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Konsumen di sektor transportasi yang mengalami peningkatan pesat adalah kendaraan bermotor kemudian disusul oleh mobil (lihat, tabel. 1). Patut dicatat bahwa pengguna terbesar kendaraan bermotor adalah mayoritas rakyat dengan pendapatan yang minim; mereka yang mayoritas membeli kendaraan dengan cara kredit. Artinya, kenaikan BBM akan dengan segera memukul pendapatan mayoritas rakyat pengguna kendaraan motor yang sangat bergantung pada BBM.

Sedangkan sektor industri bahkan mengalami kecenderungan menurut, menurut data yang dihimpun hingga tahun 2009. Karakter industri dalam masyarakat setengah feodal yang didominasi oleh industri milik asing, mengalami pasang surut yang tidak menentu sebagai akibat dari krisis keuangan global yang memukul negeri-negeri imperialis seperti AS dan Uni Eropa; sementara banyak industri nasional yang mengalami kebangkrutan akibat badai krisis ekonomi kronis yang terjadi di dalam negeri dan dampak dari krisis keuangan yang terjadi sejak tahun 2008.

Tabel I: Penjualan Mobil dan Motor (2008-2011)







































NoTahunMobilMotorJumlah
12008603.7746.215.8316.819.605
22009486.0615.881.7776.367.838
32010764.7106.881.8937.646.603
42011813.8567.580.1048.393.960

Sumber : Kompas, 12 Maret 2012

 

 

Bantahan ketiga) Menurut pemerintah, harga jual premium dan solar yang terlalu rendah di dalam negeri telah mendorong kecenderungan penyelundupan dan penyelewengan, sehingga subsidi BBM hanya menguntungkan para penyelundup dan penyeleweng. Sungguh alasan dangkal dan tak bertanggung jawab yang menunjukkan Pemerintah SBY tidak memiliki kapasitas dalam penegakkan hukum untuk menangkap dan menindak para penyelundup dan penyeleweng BBM di dalam negeri. Dan sungguh argumen yang tak tahu malu bila ketidakmampuan Pemerintah SBY ini dicarikan solusi dengan menaikkan harga BBM. Lantas apa pekerjaan aparat hukum dari intelejen, kepolisian, tentara di wilayah perbatasan bila mereka tidak sanggup menangkap para penyelundup dan penyeleweng BBM ke luar negeri? Sekali lagi kita menemukan dasar argumen yang paling dangkal dan solusi yang justru merugikan rakyat pada umumnya.

Bantahan keempat) Pemerintah beralasan bahwa kenaikan BBM disebabkan oleh semakin kecilnya pendapatan dari sektor migas karena produksinya yang menurun sementara jumlah subsidi semakin besar. Masalah ini mengemukan sebagai akibat dari kebijakan Pemerintah SBY sendiri yang membudak pada imperialis dengan menyerahkan bulat-bulat seluruh kekayaan alam minyak dan gas kepada pihak asing. Penurunan produksi sangat berkaitan erat dengan siapa yang memonopoli sumber minyak kita. Apakah Pemerintah SBY pernah melakukan langkah politik untuk menyelamatkan migas nasional dengan jalan menghambat perusahaan migas asing, atau menasionalisasi perusahaan asing yang merampok dan merugikan rakyat Indonesia tersebut? Terdengar seperti ratapan hina seorang pengemis, Pemerintah SBY yang membuka lebar-lebar investasi asing untuk menguasai migas nasional, kemudian dia sendiri yang meratapi penurunan jumlah pendapatan dan produksi migas nasional. Dan lebih hina lagi, omong kosong inilah yang dijadikan sebagai alasan untuk menaikkan harga BBM dan bukan dengan melakukan kebijakan penguasaaan kembali seluruh sumber minyak nasional untuk kepentingan nasional sebagai solusi dengan jalan melawan dominasi asing.

 

Tabel 2, Jumlah dan Penghasil Produksi Minyak Bagi Indonesia












































































































No.

Perusahaan Penghasil Minyak



Jumlah Produksi Barrel


per Hari


1.PT Chevron Pacific Indonesia

357.000


2.PT Pertamina (EP)

135.000


3.Total Indonesia E&P (Kaltim)

86.000


4.ConocoPhillips Blok B (Natuna)

45.000


5.CNOOC. SES

38.000


6.Chevron Indonesia Co

28.300


7.PHE (ONWJ)

35.000


8.Medco Sumatera (Rimau & SSE)

22.960


9.BOB Sumatera-Bumi Siak Pusako

17.000


10.Petrochina International (Jabung)

17.300


11.Mobil Cepu Ltd (Pertamina dan Exxon Mobile Oil)

22.000


12.Vico (Sanga-Sanga)

15.000


13.PHE West Madura Offshore

23.000


14.ConocoPhillips Sumatera (Corridor Blok)

12.200


15.JOB PetroChina East Java (Tuban)

11.000


16.Kondur Petroleum

7.600


17.PetroChina Bermuda (Papua)

6.190


18.BP Indonesia Tangguh

5.400


19.Star Energy (Kakap)

4.500


20.ExxonMobil Oil (Aceh)

2.420



(Sumber: Kementrian ESDM http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/4921-20-kkks-tumpuan-produksi-minyak-2012.html, tanggal 13 September 2011)

B.     Monopoli minyak dalam negeri oleh perusahaan asing milik imperialis adalah sebab utama kenaikan harga BBM

 

Selama ini pemerintah Indonesia melakukan impor minyak sebesar 400.000 barel/hari untuk menutup kekurangan konsumsi minyak harian Indonesia yang mencapai 1,3 juta barel per hari, sedangkan produksi minyak dalam negeri selama ini hanya sekitar 910.000 – 920.000 barel perhari.  Hal tersebut menjadi alasan kenaikan harga BBM di dalam negeri sebesar Rp 1.500 untuk premium dan solar, karena tingginya harga minyak dunia. Monopoli atas produksi hingga distribusi minyak telah menyebabkan harga minyak naik sedemikian rupa, dan bukan sekedar akibat turunnya volume produksi maupun ulah spekulan di pasar minyak internasional.

 

Monopoli telah menyebabkan produksi dan penentuan harga sepenuhnya dikendalikan oleh kartel–kartel besar milik imperialis, bahkan negara penghasil atau produsen minyak pun tidak akan sanggup mengubah kebijakan harga di luar ketentuan dari kartel milik imperialis tersebut. Minyak sebagai komoditas penting terutama untuk industri dan transportasi telah sejak lama berada di bawah kendali kapitalisme monopoli. Kebutuhan super besar untuk menggerakan industri dan transportasi milik imperialis sesungguhnya dibarengi dengan pengendalian sepenuhnya atas industri minyak di seluruh dunia.

 

Dimulai dari proses produksi dan penguasaan cadangan minyak yang selama ini dipegang oleh perusahaan–perusahaan minyak milik Imperialis terutama melalui AS, dahulu ada istilah 7 sisters (Standard Oil of New Jersey, Royal Dutch Shell, Anglo Anglo Persian Oil Company (sekarang BP), Standard Oil of New York (Exxon Mobile), Standard Oil of California (Chevron), Gulf Oil dan Texaco) yang menguasai lebih dari sepertiga produksi dan cadangan minyak dunia yang seiring dengan krisis yang berkepanjangan yang menghasilkan merger, maka seven sisters terus berkurang dan hanya menyisakan Exxon Mobil, Shell, BP, Chevron dan Conocco Phillips.

 

Meskipun banyak pihak yang menyebutkan bahwa seiring berdirinya OPEC dan munculnya “new seven sisters” yang terdiri dari Saudi Aramco (Arab Saudi), Gazprom (Rusia), CNPC (China), NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brazil) dan Petronas (Malaysia) meruntuhkan dominasi imperialis AS atas monopoli minyak di dunia. Kenyataannya tidaklah demikian, apalagi dominasi bukan sekedar hanya dari proses produksi semata,  monopoli telah dilakukan imperialis dari hulu hingga hilir.

 

Exxon Mobil saja memiliki cabang hampir di seluruh dunia, dengan pegawai mencapai lebih dari 120.000 dan enam divisi besar yang masuk dalam tiga kategori Upstream, Downstream dan Chemical  yang bergerak dari hulu hingga hilir. Penghasilan Exxon di tahun 2005 saja sebesar US$ 36,13 miliar, sedikit lebih kecil dari PDB Azerbaijan, sedangkan pendapatannya lebih besar dari PDB Arab Saudi. Sedangkan tahun 2010, Exxon Mobil meraup keuntungan sebesar US$ 19,28 Miliar yang didapat dari total revenue sebesar US$275,56 Miliar. Termasuk di Indonesia, perusahaan minyak imperialis seperti Exxon, Shell, BP, ConoccoPhillip dan Chevron telah menggurita.

 

Sesungguhnya instrumen kekuasaan imperialis AS untuk memonopoli industri minyak dunia tidak hanya sebatas melalui perusahaan–perusahaan minyaknya saja. Bahkan imperialis AS menggunakan pasar sebagai intrumen pengendali industri minyak dunia, melalui pasar minyak terbesar NYMEX (New York Merchantile Exchange) di New York dan ICE (Intercontinental Exchange) Future di London (pemilik ICE ini merupakan perusahaan yang berbasiskan di Atlanta AS) serta DME di Dubai. Di mana spekulan minyak terbesar justru untuk “memainkan” harga minyak juga dikuasai oleh perusahaan keuangan dan perbankan terkemuka di AS, tercatat empat perusahaan yaitu Goldman Sachs, Morgan Stanley, sebagai firma dagang terkemuka serta Citigroup dan JP Morgan Chase yang  menguasai lebih dari 75% spekulasi dan harga minyak dunia.

 

Lembaga keuangan seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley, Citigroup maupun JP Morgan Case inilah yang selama ini “memainkan” harga minyak dalam transaksi–transaksi derivatif dalam kertas–kertas yang sesungguhnya jauh melebihi nilai riil dari harga minyak itu sendiri, semua itu dilakukan untuk mendapatkan serta memutarkan kapital super besar di tengah krisis. Fakta ini menunjukan bahwa harga minyak sesungguhnya dikontrol oleh Wall Street, dan bukan oleh OPEC.

 

Selama ini pertukaran minyak internasional dilakukan di NYMEX terutama untuk jenis WTI dan di ICE Future terutama untuk jenis Brent, sekaligus menetapkan patokan (Benchmark) atas harga kargo minyak yang diperdagangkan bebas. Peran kedua pasar minyak tersebut dominan atas pembentukan patokan harga (Benchmark) minyak khususnya untuk jenis crude oil West Texas Intermediate (WTI) dan North Sea Brent (Brent), selain itu DME juga memiliki peranan yang sama sebagai kepanjangan tangan dari NYMEX. Sekedar catatan, jenis Brent merupakan konsumsi pasar di Eropa dan Asia, sedangkan WTI merupakan konsumsi di AS. Kedua jenis minyak ini terutama jenis Brent, untuk penyempurnaan penyulingannya selama ini dilakukan di pantai timur AS.

 

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa ICE selama ini merupakan partner sejati bagi penguasa – penguasa perdagangan minyak seperti Chevron, Exxon, BP hingga Conocco Philip serta pedagang berjangka minyak raksasa seperti Goldman Sachs, Morgan Stanley hingga Citigroup. Bahkan tidak seperti umumnya perdagangan kertas berharga yang harus tercatat dan teregulasi, perdagangan di ICE selama ini tidaklah teregulasi dan diserahkan pada para pelaku pasar yang dengan seenaknya bisa memainkan harga minyak di pasar bursa. Selama ini ICE yang juga dikenal sebagai gerombolan kriminal atau mafia minyak selalu berlindung pada NYMEX, dan melalui OTC (over the counter) atau perdagangan surat melalui elektronik inilah bahkan pemalsuan transaksi seperti halnya “skandal Enron” dilakukan oleh imperialis untuk memonopoli minyak di pasar dunia.

 

Sehingga dari sinilah terlihat bahwa masalah kenaikan harga minyak tidak semata–mata diakibatkan oleh berbagai sebab yang selama ini dipropagandakan oleh Pemerintah SBY. Masalah tersebut hanyalah sekedar pemantik bagi munculnya spekulasi yang kemudian digiring oleh mafia minyak imperialis untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. Bahkan untuk lebih mendorong ekspektasi, perbaikan ekonomi AS sebagai konsumen minyak terbesar di dunia pun dijadikan ukuran atas naik atau turunnya harga minyak di pasar internasional.

 

Sesungguhnya monopoli imperialisme atas minyak dunia tidak akan berjalan mudah jika tanpa bantuan rejim komprador di berbagai negeri, mulai dari rejim negeri–negeri produsen minyak dunia di Timur Tengah hingga Afrika tunduk di bawah dominasi Imperialisme pimpinan AS. Hal yang sama juga berlaku di berbagai negeri di Asia, termasuk di dalamnya Indonesia yang sekarang berada di bawah kepemimpinan rejim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

 

Seperti pada umumnya maka rejim boneka atau komprador di berbagai negeri termasuk Indonesia memiliki peranan untuk membantu eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat dan merampok sumber bahan mentah bagi kepentingan imperialisme. Operator utama tentu saja adalah borjuasi besar komprador yang dibantu birokrat kapitalis dan tuan tanah yang seolah olah menjadi pengusaha nasional akan tetapi aslinya tidak lebih dari makelar atau calo penjual kekayaan negeri seperti Indonesia.

 

Kenaikan BBM, Pengabdian Pemerintah SBY Terhadap Imperialis

 

Fakta bahwa selama ini kebijakan dari rejim SBY tidak lebih dari sekedar pengabdian yang loyal terhadap imperalis telah banyak diketahui oleh rakyat Indonesia. Kebijakan yang senantiasa merugikan rakyat telah banyak membuktikan bahwa SBY adalah rejim anti rakyat. Hal tersebut berjalan seiring kekuasaan yang hanya berorientasi atas kekayaan pribadi dan klas atau golongan semata, yang terwujud pada akumulasi keuntungan melalui berbagai penggelapan, perampokan, penipuan serta korupsi kekayaan negara, dengan dalih pembangunan untuk rakyat.

 

Di balik kebijakan kenaikan harga BBM ini pun sesungguhnya merupakan bagian dari skenario rejim SBY untuk melayani kepentingan imperialis di Indonesia. Sejak awal berkuasa SBY telah menjalankan serangkaian kebijakan yang jelas–jelas merugikan rakyat Indonesia. Khusus di kebijakan kenaikan harga BBM yang telah ditetapkan per 1 April 2012 merupakan skenario untuk semakin menghisap rakyat Indonesia dan menghabisi segala potensi ekonomi rakyat yang ingin berkembang. Sejak pemerintah merencanakan pembatasan BBM bersubsidi dua tahun lalu, di sektor hilir antrian untuk pembukaan SPBU asing yang menjual BBM non subsidi telah antre panjang. Data BP-Migas mengungkap, dari lima perusahaan migas terbesar di Indonesia, empat di antaranya adalah milik asing. Rangking pertama produksi dipegang oleh PT Chevron Pacific Indonesia (Amerika Serikat), diikuti PT Pertamina milik Indonesia, PT Total Indonesia E&P (Prancis), PT CoconoPhilips (Amerika Serikat), dan perusahaan asal China, CNOOC, SES. Tentu semua 'pemain dunia' dunia itu bakal tergiur untuk main di sektor hilir, mengingat keuntungan yang berlipat ganda.

 

Sehingga ketika terjadi kenaikan harga BBM maka sudah tentu Pertamina akan dikepung oleh perusahaan asing. Meskipun sampai sekarang DPR masih membatasi SPBU asing, tetapi dengan hukum dagang milik imperialis yang berlaku, pendirian SPBU asing yang bebas hanya tinggal menunggu waktu saja.

 

Rencana pencambutan subsidi memang sesuai dengan kepentingan imperialis. Sekretaris Jenderal Organisations for Economic Co-operation and Development (OECD) Angel Guria pada 1 November 2010, dihadapan petinggi Indonesia, telah mendesak Indonesia untuk mencabut subsidi yang dianggap tidak efektif. Dikatakan bahwa Indonesia berkomitmen untuk mencabut subsidi energi dan mulai memenuhi target pembangunan jangka menengah. Dengan dalih bahwa Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbaik ketiga di G 20, maka sudah selayaknya Indonesia mencabut subsidi BBM.

 

Hal tersebut semakin terbukti jika melihat postur anggaran antara APBN 2012 dan APBN-P 2011 dimana ternyata bukanlah subsidi (termasuk subsidi energi) yang paling membebani anggaran negara, tetapi justru jumlah pembayaran utang yang meliputi utang pokok dan bunga hutang. Dalam APBN 2012, total subsidi ener­gi sebesar Rp 168,6 T dengan rincian subisidi BBM Rp 123,6 triliun dan subsidi listrik Rp 45 triliun. Adapun pembayaran utang sebesar Rp 170,4 triliun dengan rincian bunga utang Rp 123,1 triliun dan cicilan pokok utang luar negeri Rp 47,3 triliun. Sampai di sini saja terlihat anggaran pembayaran utang luar negeri masih lebih besar Rp 1,8 miliar jika dibandingkan dengan anggaran subsidi ener­gi. Akan terlihat semakin jomplang jika dibandingkan dengan APBN-P 2011. Dalam APBN 2012 total subsidi energi Rp 168,6 triliun lebih kecil daripada total subsidi energi dalam APBN-P 2011 yang sebesar Rp 195,3 triliun. Dari angka tersebut menunjukkan total subsidi energi APBN 2012 mengalami penurunan 13,7 % atau senilai Rp26,7 tri­liun dari total subsidi dalam APBN-P 2011. Nah, bandingkan dengan pembayaran utang yang justru mengalami peningkatan singnifikan dari APBN-P 2011 sebesar Rp 154 triliun menjadi Rp 170,4 trilli­un pada APBN 2012 atau terdapat selisih kenaikan Rp 16,4 triliun[1].

 

Bahkan gembar–gembor penghematan anggaran sesungguhnya hanyalah sebuah kebohongan besar di hadapan rakyat, karena faktanya selain korupsi yang akut, rejim SBY sesungguhnya paling pandai menghamburkan uang rakyat demi keuntungan kliknya semata. Mulai dari renovasi Istana kepresidenan sebesar 10,6 M, Pengembangan gedung Setneg yang menelen biaya sebesar Rp 41,3 M, pengembangan rumah negara 14,7 M, perawatan gedung DPR senilai Rp 500 M,  Renovasi ruang rapat banggar DPR dan toilet DPR yang masing – masing menelan dana Rp 20,3 Miliar dan 1,3 M, bahkan untuk parkiran saja membutuhkan biaya Rp 3 Miliar serta pengadaan mesin foto copy di gedung parlemen membutuhkan dana hingga Rp 4 Miliar, yang terakhir dan kita semua ingat betul adalah harga pesawat kepresidenan senilai Rp 525 Miliar.

 

Dalam keadaan seperti ini, tentu rakyat akan semakin paham bahwa komprador seperti SBY dan kroni – kroninya akan tetap memperoleh keuntungan yang besar, sekalipun berada di tengah–tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat. Komprador besar akan semakin senang menjual segala kekayaan alam Indonesia untuk mendapatkan limpahan receh dan keuntungan yang diberikan oleh tuan imperialisnya, melalui share profit, Kontrak Karya dan berbagai kemitraan dalam pertambangan minyak di Indonesia. Lihat saja bahkan selain melakukan import BBM memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia masih harus membeli kebutuhan konsumsi BBM kepada berbagai perusahaan minyak yang sebagian besar merupakan perusahaan minyak milik imperialis, seperti yang terlihat di bawah ini.

 

Hal tersebut semakin miris jika dibandingkan bahwa sampai tahun 2011, Pertamina hanya mampu memproduksi minyak sebesar 132.000 barel per hari dari 2.054 sumur yang dimilikinya. Sangat jauh bila dibandingan dengan produksi Chevron yang memiliki 7.762 sumur dengan total produksi mencapai 370.000 barel per hari, untuk kebutuhan minyak dalam negeri.

 

Susah untuk diterima akal sehat, di tanah yang begitu kaya akan sumber energi ini kita masih harus membeli dari pihak asing yang jelas–jelas “numpang” hidup di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi bagi rakyat. Penjualan konsesi atau kontrak karya atas ladang–ladang minyak yang ada di Indonesia jelas hanya akan untuk mencari keuntungan semata bagi komprador seperti SBY. Disisi lain hal tersebut akan semakin memberikan keuntungan bagi berbagai perusahaan minyak milik imperialis yang beroperasi di Indonesia.

 

Sehingga kita akan melihat bahwa di balik kenaikan harga BBM ada klas–klas yang diuntungkan, seperti :

-          Kapital Birokrat, seperti SBY dan anggota kabinetnya serta pejabat tinggi negara lainnya yang telah memimpin berbagai kebijakan yang anti terhadap rakyat, seperti pencabutan subsidi publik dan memberikan keuntungan yang begitu besar bagi imperialis untuk beroperasi di Indonesia. Memberikan perlindungan pada perusahaan imperialis melalui serangkaian instrumen, mulai dari UU jaminan investasi (UUPM) untuk menjamin kontrak karya dan operasinya di Indonesia, Privatisasi sumber daya alam Indonesia, jaminan keamanan dan kemudahan investasi (berwujud keringanan pajak, bea impor & ekspor murah dll). Kemudian tetap mempertahankan kebijakan Import BBM yang jelas telah merugikan keuangan negara.

-          Borjuasi Besar Komprador (Pedagang Besar Kompardor),  yang terdiri dari mereka yang diuntungkan melalui banyak cara, memanfaatkan keuntungan di tengah isu kenaikan BBM. Baik yang bekerjasama langsung dalam industri ekstraktif minyak bumi bersama perusahaan milik imperialisme, seperti halnya Medco, PT SAS dan lain sebagainya.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa masuknya perusahaan imperialis ke Indonesia selalu dengan menggandeng pengusaha Indonesia, baik sebagai partnership, join venture hingga mendudukan para jenderal militer baik TNI dan Polri, pengusaha, hingga pejabat ke dalam dewan komisaris maupun jajaran direksi. Model penyuapan untuk keamanan dan kelancaran bisnis imperialis di Indonesia.

Tidak heran, jika diberbagai sektor industri selain perusahaan milik monopoli kapitalis (TNC/MNC) selalu terdapat unsur dari Indonesia, baik itu sebagai mitra di lapangan, pemilik saham, operator hingga jajaran pimpinanan. Hal itu tidak lebih untuk menipu, dengan mengatakan kemandirian, industri nasional hingga alih teknologi yang semuanya adalah palsu dan menyesatkan.

-          Tuan tanah, terutama terkait berbagai proyek konsesi dan pembukaan ladang baru untuk minyak yang seolah untuk menutupi target produksi. Termasuk industri gas, pembukaan ladang baru gas sekarang telah menjadi primadona yang begitu menggiurkan atas dalih diservikasi energi yang tentu akan menguntungkan imperialisme, komprador dan tuan tanah.

Selain mereka, masih ada segelintir golongan yang mendapatkan keuntungan terutama para spekulan di pasar berjangka atau pasar saham yang diuntungkan dengan berbagai isu untuk mengail keuntungan berlipat ditengah kenaikan harga minyak. Akan tetapi semua hal tersebut tetap saja berpangkal pada bagaimana operasi kapitalis monopoli dalam bidang energi yang begitu dalam dan jahat dalam memonopoli sumber energi dunia.

Sekali lagi, diberbagai negara termasuk Indonesia, skenario tersebut niscaya tidak akan dapat berjalan dengan baik jika tidak memiliki pelaksana atau operator yang loyal, seperti halnya rejim Susilo Bambang Yudhoyono.

 

C.      Dampak Kenaikan Harga BBM Memberikan Beban Berlipat Ganda Bagi Rakyat

 

Sangat jelas, kenaikan harga BBM tidak memberikan keuntungan sedikit pun bagi rakyat kecuali klas-klas penghisap. Krisis yang berwatak kronis di negeri setengah jajahan dan setengah feudal seperti Indonesia akan semakin parah dan berdampak semakin terhisapnya rakyat, peningkatan tindasan politik dan fasisme, serta meningkatnya kemiskinan. Beban krisis yang ditanggung rakyat hakekatnya berlipat ganda dibandingkan rakyat di negeri-negeri imperialis karena harus menanggung beban penyelesaian krisis yang melanda negeri-negeri imperialis.

 

Beban itu dapat dilihat dari dampak rencana kenaikan harga BBM terhadap penghidupan rakyat dan sektor-sektor penting dalam ekonomi.

Pertama, Ekonomi. Dampak kenaikan ini telah mendongkrak kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat (sembako), ongkos transportasi, memukul usaha kecil-menengah, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan kemiskinan.

 

Kenaikan harga BBM menjadikan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, minyak goreng, telur, sayur-sayuran, cabai, daging, dan lain-lain. Meski pelaksanaan tarif baru berlangsung per 1 April 2012, faktanya harga sembako saja sudah naik. Di PD Pasar Jaya Jakarta (per 16 Maret 2012), kenaikan harga mencapai satu sampai 30 persen dari harga semula. Contoh: Gula pasir naik menjadi Rp 10.800/kg dari 10.900, daging sapi naik menjadi 79.223/kg dari Rp 78.329/kg, cabai mereh naik 30 persen menjadi Rp 25.867/kg, minyak goreng naik menjadi Rp 11.240/kg dari Rp 10.819/kg.

 

Beberapa komponen sembako masih bertahan di harga semula, tetapi perubahan dapat terjadi setiap hari dan cenderung untuk naik meski pelaksanaan tarif BBM baru belum berlaku. Dampak kenaikan tersebut sangat memberatkan bagi masyarakat di pedesaan atau pedalaman yang mengalami kesulitan akses. Harga barang-barang di daerah itu sudah mahal sebelumnya yang dipengaruhi biaya transportasi yang besar. Di Papua, harga eceran bensin mencapai antara Rp 10.000 per liter sampai Rp 50.000 per liter sudah sangat memberatkan rakyat, apalagi ditambah kenaikan per 1 April nanti pasti akan melesat naik.

 

Di sektor transportasi, pemerintah mengakui dampak kenaikan harga BBM adalah peningkatan biaya transportasi sebesar 19,6 persen. Peningkatan biaya transportasi akan memaksa rakyat  menambah pengeluaran hariannya yang sudah cekak sebelumnya.

 

Pemerintah berencana akan memberikan subsidi suku cadang dan pajak kendaraan bagi usaha transportasi tetapi hal itu hanya ditujukan bagi pengusaha transportasi.  Padahal, instrumen utama penggerak angkutan adalah sopir yang harus menanggung pengeluaran untuk BBM. Ini membebani para sopir angkutan (semi proletar) karena akan menambah beban setoran yang baru dan mengurangi pendapatan mereka. Contoh, sopir taksi di Jakarta harus mengejar target minimal Rp 500 ribu per hari  yang dialokasikan untuk setoran ke pemilik armada (perusahaan taksi) sebesar Rp 300 ribu per hari dan bensin sebesar Rp 200 ribu per hari. Upah sopir didapatkan dari selisih jumlah pemasukan selama operasi per hari dikurangi target minimal tersebut. Jadi, sopir tidak mendapatkan upah yang pasti dan selalu kecil yang berkisar rata-rata Rp 50 ribu per hari.   Jika harga BBM naik, maka akan semakin mengurangi pendapatan mereka.

 

Di sektor industri khususnya kecil dan menengah, banyak pengusaha akan mengalami kebangkrutan akibatnya meningkatnya harga bahan baku, listrik, transportasi pengangkutan, dan lain-lain. Mereka memiliki keterbatasan akses pasar di level nasional akibat dominasi imperialis, ditekan oleh borjuasi komprador, dan tuan tanah besar. Karena itu, kenaikan harga BBM mempengaruhi produksi dan distribusi mereka yang tidak mendapatkan perlindungan (regulasi, insentif, pasar) sehingga akan mengalami kebangkrutan.

 

Kenaikan harga tentu akan merampas upah buruh karena terpotongnya nilai riil pendapatan yang didapatkan. Kenaikan nominal upah mereka tidak berarti apa-apa dan tidak berhubungan dengan kenaikan nilai riil upah yang diterima. Kenaikan nominal upah buruh sekitar tujuh sampai delapan persen di tahun 2012 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang dan kebutuhan penting lainnya yang naik oleh kenaikan harga BBM sebesar 33 persen.

 

Selain itu, kenaikan harga berdampak pada meningkatnya angka PHK akibat kebijakan efesiensi perusahaan yang harus menanggung kenaikan biaya produksi. Cara-cara lain perampasan upah yang dilakukan akibat tersebut adalah peningkatan jam kerja lembur buruh dan penundaaan pembayaran upah. Untuk itu semua, pengusaha dan pemerintaha akan semakin mengekang kebebasan berserikat dan pemogokan buruh.

 

Struktur industri Indonesia yang didominasi oleh imperialis yang bekerjasama dengan kaki tangannya yakni borjuasi komprador menjadikan tidak adanya industri nasional yang mandiri. Keadaan ini telah menjadikan Indonesia menjadi lautan pengangguran yang mencapai lebih dari 40 juta dan semakin bertambah akibat dampak kenaikan harga BBM. Pengangguran itu merupakan tumpukan orang yang tidak terserap di industri ditambah dengan korban PHK  oleh perusahaan yang melakukan efesiensi.

 

Sementara itu, kaum tani menjadi klas mayoritas rakyat yang menderita akibat kenaikan harga BBM. Akibat penghisapan feodalisme dan dominasi imperialisme, mereka menanggung beban kerja berlipat akibat semakin tingginya biaya sewa tanah yang ditanggung, pemotongan upah, dan terjerat hutang lintah darat. Kenaikan harga menjadikan biaya produksi yang harus ditanggung petani miskin dan buruh tani untuk input pertanian yakni benih, pupuk, obat-obatan dan alat kerja.

Contoh, di desa Sukamulya Rumpin (Jawa Barat) harga pupuk kandang pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 meningkat menjadi Rp 4000 per karung (20 kg) dari harga sebelumnya Rp 2.700 per karung. Kenaikan ini akibat biaya transportasi dan harga karung. Di Cirebon, pasca kenaikan harga BBM tahun 2008 juga telah meningkatkan harga sewa tanah naik 100 persen menjadi Rp 10 juta/hektar per tahun.

 

Jelas, tarif baru BBM akan menjadikan penurunan daya beli masyarakat. Inflasi saja sudah menjadikan harga-harga barang meningkat apalagi ditambah kenaikan tarif baru nanti.  Keadaan itu akan menambah inflasi yang diperkirakan mencapai 6,5 persen sehingga nilai uang serta upah diterima pasti terpangkas lagi. Penghidupan kaum borjuasi kecil akan semakin menurun seiring terpotongnya upah kerja dan berkurangnya pemasukan usaha produksi dan dagang mereka.

 

Kenaikan harga-harga barang dan jasa sudah pasti menjadikan angka kemiskinan meningkat. Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa dan pengangguran diprediksikan meningkat 16,92 persen dari angka pengangguran resmi yang dilansir BPS sebesar 10,11 juta. Pemerintah selalu membanggakan keberhasilan palsunya dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar satu juta orang atau menjadi 30,5 juta orang pada tahun lalu. Akan tetapi, ia tidak bisa menjelaskan peningkatan sasaran bantuan tunai langsung (BLT) setiap kenaikan harga BBM melebihi angka rakyat miskin hasil rekayasa Badan Pusat Statistik (BPS). Mereka hanya bermain dengan kategori-kategori palsu tentang kemiskinan seperti tingkatan kemiskinan dan ukuran minimum rakyat miskin yakni hidup kurang dari Rp 7.000 per hari.

 

Kedua, Politik. Demi menjaga skema imperialis dalam mengatasi krisisnya yang berujung berlipatgandanya penghisapan terhadap rakyat maka rezim boneka AS SBY akan meningkatkan politik fasisme. Penghidupan rakyat yang semakin merosot pasti akan memercikan api perlawanan dan semakin meluas sehingga rezim meraca terancam dan bertindak fasis untuk menjaga stabilitasnya dan jaminan bagi tuannya, imperialis AS. Rezim reaksi sekarang ini telah memberi ancaman bagi gerakan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM dengan menyebarkan isu “makar” dan cap anti kemajuan negara.

 

Ketiga, Kebudayaan. Sudah pasti, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya pendidikan. Pemerintah selalu bersembunyi di balik topeng pengalihan biaya subsidi harga BBM yakni penambahan subsidi bagi pendidikan bagi keluarga miskin. Faktanya, harga biaya pendidikan semakin mahal sehingga meningkat angka putus sekolah.

 

Begitu juga dengan keadaan kesehatan masyarakat yang makin makin memburuk akibat mahalnya biaya kesehatan dan pelayanan yang buruk. Sejak Januari 2012, harga obat telah naik  hingga 10 persen, bahkan obat yang mengandung parasetamol mencapai 43 persen. Kenaikan itu semakin memberatkan karena pemerintah tak menanggung semua obat dalam program jaminan kesehatan yang diberikan bagi keluarga miskin. Keadaan gizi masyarakat akan menurun akibat mahalnya harga makanan dan nutrisi yang semakin menjadi-jadi akibat kenaikan harga BBM.

D.     Solusi palsu Pemerintah SBY untuk menjawab kenaikan harga BBM

Sedangkan untuk menjawab tuntutan rakyat atas imbas kenaikan harga BBM, Pemerintah SBY menerapkan skema yang sama dangkal dan klise seperti tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008, ada beberapa kebijakan yang diklaim mengurangi dampak kenaikan harga BBM yaitu 1) Pemberian kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT), 2) Konversi minyak tanah ke gas dan 3) Pemberian Raskin. Faktanya, harga berbagai kebutuhan pokok dan ongkos transportasi yang membumbung tinggi tetap tidak mampu diatasi dan dikurangi dampaknya dengan skema BLT maupun raskin.

Bahkan kebijakan pemberian paket Raskin tidak lebih dari proyek penghinaan terhadap rakyat di tengah kemiskinan yang akut. Diskriminasi dengan beras berkualitas buruk, bahkan tidak layak konsumsi dengan dalih tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat. Faktanya skema raskin, bahkan seperti menabur garam di lautan karena angka menunjukan antara 2005 hingga 2009 kemiskinan rakyat Indonesia di atas 33 juta jiwa, atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok sasaran BLT dan Raskin. SBY seperti tidak malu dengan kenyataan bahwa sebagian rakyat Indonesia masih makan nasi aking, tiwul serta akrab dengan penyakit busung lapar maupun gizi buruk. Bank Dunia mengatakan bahwa rakyat Indonesia, 50 persen lebih merupakan kelompok yang rentan terhadap kemiskinan terutama akibat kenaikan bahan pokok atau sembako.

Skema konversi minyak ke gas pun sesungguhnya lebih kental muatan politisnya dibandingkan dengan kebijakan efisiensi energi. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau kebijakan tersebut tidak lebih merupakan upaya mengeruk keuntungan komprador di Indonesia seperti JK, Bakrie dan berbagai perusahaan gas imperialis di Indonesia seperti Exxon, BP dan Chevron. Bahkan jauh sebelum kebijakan menaikan harga BBM, telah direncanakan pembatasan BBM bersubsidi dan bagi angkutan umum bahan bakarnya akan di konversi ke gas. Lagi–lagi sebuah proyek yang akan menguntungkan industri komprador maupun milik imperialis.

Untuk menangani keadaan ini, pemerintah masih menggunakan politik “pro-rakyat” palsu yang digunakan sejak kebijakan kenaikan harga BBM diluncurkan pada tahun 2005 dan 2008. Pemerintah berusaha menggelontorkan bantuan langsung untuk menekan dampak kenaikan terhadap masyarakat miskin yakni: Pertama, Bantuan langsung sementara (BLSM) sebesar Rp 150 ribu per keluarga yang dibagikan kepada 18,5 keluarga miskin dengan anggaran Rp 25,6 triliun. Kedua, Tambahan subsidi beras miskin selama dua bulan. Proyek ini memiliki anggaran sebesar Rp 5,3 triliun. Ketiga, Subsidi penambahan jumlah beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa dari keluarga miskin sebesar Rp 3,4 triliun. Keempat, Subsidi angkutan umum massal seperti kapal penumpang, kereta api, dan bus umum sebesar Rp 5 triliun.

 

Apa artinya itu semua? Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana untuk subsidi atas satu liter BBM dan mengubah bahasa subsidi menjadi dana kompensansi kenaikan harga BBM. Alasan pemerintah adalah merombak subsidi yang justru banyak dimanfaatkan orang kaya sebagai pengguna terbesar BBM. Kompensasi merupakan imbalan pemerintah kepada rakyat miskin yang terkena dampak yang jumlahnya ditentukan melalui rumus “khusus” a la pemerintah yang penuh kesesatan dan kepalsuan. Demikian cara pemerintah yang pasti sia-sia dan tidak menjawab masalah rakyat, bahkan semakin menderitakan rakyat.







[1] Data pokok APBN 2006-2012 Kemenkeu RI


Videokeman

videokeman mp3
Sugar – System of a Down Song Lyrics
[gigya width="300" height="44" src="http://videokeman.com/music/videokemanplay.swf" quality="high" flashvars="playerID=1&bg=0xffffff&leftbg=0xCA4536&lefticon=0xffffff&rightbg=0xCA4536&rightbghover=0x999999&righticon=0xffffff&righticonhover=0xffffff&text=0xCA4536&slider=0x303030&track=0xFFFFFF&border=0x666666&loader=0xC52C24&autostart=yes&loop=yes&soundFile=http://videokeman.com/dload/flv6/020810/System_of_a_Down_xdashx_Sugar.vkm" wmode="transparent" ]

Videokeman

videokeman mp3
Voodoo Child – Jimi Hendrix Song Lyrics
[gigya width="300" height="44" src="http://videokeman.com/music/videokemanplay.swf" quality="high" flashvars="playerID=1&bg=0xffffff&leftbg=0xCA4536&lefticon=0xffffff&rightbg=0xCA4536&rightbghover=0x999999&righticon=0xffffff&righticonhover=0xffffff&text=0xCA4536&slider=0x303030&track=0xFFFFFF&border=0x666666&loader=0xC52C24&autostart=yes&loop=yes&soundFile=http://videokeman.com/dload/fm1/0310/Jimi_hendrix_xdashx_Voodoo_child.vkm" wmode="transparent" ]

Politisasi Hubungan Kelamin di Indonesia

; sejarah gerakan wanita Indonesia dan Gerwani sampai orde baru*


Oleh Saskia Eleonora Wieringa


Pengantar


Jalan sejarah kita dibangun oleh para 'sejarawan' yang mengabdi kekuasaan militer ... Kita yang sudah disiksa dan kalah jangan sekali-kali menjadi putus asa. Kita harus berjuang untuk hidup. Generasi muda harus belajar dan tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa lalu. Sejarah harus ditulis di atas kejujuran, sehingga generasi-generasi mendatang tidak akan salah mengerti. (Dok IX 1992:22)


'Sejarah' yang dimaksud dalam kutipan tersebut di atas meliputi jangka waktu setengah abad, yaitu sejak Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sampai sekarang; dan khususnya sekitar tahun-tahun 1965, ketika Orde Lama Sukarno digantikan dengan Orde Baru Suharto. Mereka yang 'telah disiksa dan dikalahkan' itu adalah orang-orang dari Partai Komunis Indonesia dahulu, atau dari organisasi ini dan itu yang termasuk dalam 'Keluarga Komunis', (1) seperti misalnya organisasi perempuan Gerwani (2) (Gerakan Wanita Indonesia). Suharto tampil ke atas singgasana kekuasaannya dengan menciptakan kampanye kekerasan yang tak ada tolok bandingannya di masa lalu, dan dikuatkannya pula dengan tuduhan pesta-pora seksual yang konon dilakukan oleh para anggota Gerwani. Orde Baru tidak hanya dibangun di atas timbunan mayat-mayat, yang diperkirakan sebanyak satu juta(3), dari orang-orang tak berdosa yang dibantai selama bulan-bulan terakhir tahun 1965 dan bulan-bulan pertama tahun 1966. Tetapi Orde Baru juga dibangun di atas pembasmian kekuatan kaum perempuan, yang telah berhasil diperolehnya selama dasawarsa-dasawarsa sebelumnya, kekuatan yang oleh musuh-musuh mereka dilukiskan melalui metafora-metafora seksual.


Tidak banyak perhatian diberikan pada masa genting dalam sejarah modern Indonesia ini, baik oleh peneliti dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Seperti John Legge mengakui, 'barangkali karena yang dibunuh adalah orang-orang Komunis, maka sedikit banyak hati nurani dunia luar seakan-akan tidak terusik oleh apa yang harus digolongkan, apa pun penilaiannya, sebagai salah satu pembantaian paling keji dalam sejarah modern' (Legge 1972:399). Jelas jika  Amerika Serikat menjadi merasa lega, bila selagi berada di tengah kemelut Perang Vietnam, Sukarno, yang mereka pandang sebagai pengacau dunia yang hendak menyerahkan Indonesia ke tangan kaum Komunis yang berbahaya itu, telah berhasil disingkirkan oleh seorang jendral kanan yang dengan segala daya membawa Indonesia ke jalan kapitalis.(4) Seorang pengamat kekuasaan Suharto, Vatikiotis (1993:34), menulis: 'Indonesia, citra buruk bagi para pengamat politik luar negeri Amerika Serikat itu, dalam tahun 1960-an tiba-tiba memberi bukti paling terang, bahwa tidak semua kekuasaan yang dibangun di atas laras senjata adalah buruk'.


Dalam kajian ini saya akan membuktikan, bahwa alasan lain mengapa Dunia Barat tutup-mulut itu ialah, karena ketidak-mampuannya memahami tali-temali dan intrik-intrik yang ada di balik kampanye ketidak-amanan dan pembunuhan-pembunuhan massal, yang dilakukan sesudah kup 'pertama' tanggal 1 Oktober 1965. Kampanye beserta akibat-akibatnya itu saya pandang sebagai kup yang 'kedua', yang dengan diam-diam telah mengantar Suharto ke tahta kekuasaannya. Para pengamat umumnya mengabaikan adanya kup yang kedua ini, atau sekedar mengatakannya sebagai suatu periode genting dalam sejarah Indonesia yang 'tidak bisa dimengerti' (Tƶrnquist 1984:54). Beberapa penulis mengakui, bahwa keberhasilan Suharto naik ke tangga kekuasaan terjadi dalam dua tahap (Southwood dan Flanagan 1983; Pohan 1988; Vatikiotis 1993). Walaupun begitu orang mengabaikan mekanisme di balik tali-temali kup yang kedua itu: Suharto tampil di atas tahta kekuasaan di tengah kemelut kejadian-kejadian sesudah kup yang gagal, dan yang sampai sekarang sama sekali belum jelas ... Suharto dan sekelompok kecil pendukungnya mengambil kesempatan itu, seolah-olah tampil tanpa rencana sebelumnya yang terlalu jauh. (Vatikiotis 1993: 2&22)


Dalam kejadian-kejadian tersebut, kup tanggal 1 Oktober 1965 merupakan kejadian terpenting yang perlu dijelaskan. Karena, entah bagaimana pun juga, memang kejadian inilah yang akhirnya telah membukakan jalan bagi Suharto naik ke jenjang kekuasaan. Sebagai akibatnya, maka diabaikanlah kecerdikan Suharto dalam memanipulasi pendapat umum - segala dalih dan kebohongan telah digubahnya untuk menciptakan kondisi kekacauan masyarakat, serupa seperti adegan gara-gara dalam pergelaran wayang. (5)


Vatikiotis berpendapat, misalnya, bahwa mungkin orang-orang di sekitar Suharto itulah, khususnya para perwira muda dan mahasiswa
radikal (dengan dukungan satuan-satuan kesatuan khusus di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo), 'yang telah mendorong Suharto merebut kekuasaan' (Vatikiotis 1993:240). Kampanye ideologi dan pembunuhan-pembunuhan massal yang melandasi Orde Baru memang dilihat dengan kesedihan, namun begitu telah dianggap sebagai kejadian-kejadian yang tersendiri: yang mengawali penyusunan orde baru dan pembangunan kembali ekonomi Indonesia, merupakan periode lanjutan kekacauan
yang pendek tetapi berdarah. Orde Baru telah mengeksploitasi keadaan masyarakat warisan jaman Sukarno yang sangat terpolarisasi, untuk menumpas lawan- lawannya dan memberikan jalan keluar untuk terjadinya pertumpahan darah katarsis itu. (Vatikiotis 1993:33)


Sementara Dunia Barat demi alasan-alasannya sendiri berdiri di kejauhan, di Indonesia oposisi dipukul atau dengan cerdiknya dibikin tutup mulut oleh pemerintah melalui tindakan represi yang kejam. Tidak hanya dengan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang-orang yang berdosa, tetapi juga dengan menahan puluhan ribu lainnya, bahkan ada di antara mereka yang sampai lebih dari dua
puluh tahun. Hanya sedikit saja dari para tahanan itu yang dibawa ke depan mahkamah pengadilan, notabene pengadilan kanguru sekali pun.


Mereka yang selamat pun masih terus menderita. Bahkan sampai sekarang kartu penduduk para bekas tapol dan napol (6) masih harus bercap 'ET' (eks-tapol). Cap ini menjadi kendala yang efektif bagi mereka untuk bisa memperoleh kesempatan bekerja. (7) Pembatasan-pembatasan seperti itu juga diberlakukan terhadap anak-anak, cucu-cucu, dan saudara-saudara dekat mereka, jika mereka hendak
mencari kesempatan kerja dan belajar. Untuk bisa di terima bekerja atau masuk balai pendidikan, dengan surat keterangan resmi mereka harus bisa membuktikan bahwa mereka 'bersih lingkungan'. Artinya, bahwa tidak ada seorang ET pun di tengah-tengah keluarga mereka. Banyak eks-tapol yang sampai sekarang masih harus lapor diri secara teratur kepada penguasa militer.


Namun demikian dampak represi rezim Orde Baru tidak puas berhenti sampai dengan para korban atau keluarga mereka saja. Kampanye sesudah kup 1 Oktober 1965 yang dilakukan Suharto memang tidak hanya dimaksud untuk menumpas Komunisme di
Indonesia sampai seakar-akarnya, dan untuk membangkitkan kebencian massa terhadap politik Sukarno, sehingga ia akan melepaskan jabatan kepresidenannya. Kampanye itu juga bertujuan untuk menciptakan suasana mental, pembenaran ideologis bagi Orde Baru Suharto. Karena itu saya sama sekali tidak setuju terhadap pendapat yang mengatakan, misalnya, bahwa 'endapan perasaan tentang
periode ini belum memberi corak tertentu pada persepsi umum terhadap kekuasaan Suharto' (Vatikiotis 1993:34). Menurut pendapat saya, justru 'endapan perasaan' semacam itulah yang telah menjadi dasar rezim Suharto, yang tidak saja ditunjang dengan teror fisik yang dilakukan angkatan darat, tetapi khususnya oleh keberhasilannya yang meyakinkan, bahwa apa pun yang berkaitan dengan kritik
sosial ialah subversif, Komunis, dan akhirnya dikaitkanlah pula dengan perbuatan seksual kaum perempuan 'kita' yang tidak senonoh. Saya berpendapat, bahwa hendaknya ketakacuhan politik bangsa Indonesia tidak terlalu dilihat hanya sebagai akibat dari 'stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi' (Vatikiotis 1993) yang telah diciptakan Orde Baru saja. Tetapi, ketak-acuhan itu, juga timbul dari bayangan tentang kekacauan masyarakat berikut warna-warna seksualnya, pembunuhan massal yang terjadi karenanya, dan disusul represi yang tiada putus-putusnya itu. Untuk menjamin agar citra resmi itu tidak rusak, penguasa tetap sangat membatasi kebebasan pers. Dalam bulan Juni 1994 yang lalu saja ada tiga majalah dibredel: Tempo, DeTik, dan Editor.(8)


Dengan demikian periode traumatis 1965-1966 dalam sejarah Indonesia itulah, yang menandai pergantian dari Orde Lama Presiden Sukarno ke Orde Baru Presiden Suharto. Kekuasaan Orde Baru dibangun di atas model disiplin dan represi kejantanan militer, di mana setiap referensi mengenai ketimpangan sosial dituding sebagai dijiwai atau berkaitan dengan 'subversi Komunis'. (9) Mitos tentang lahirnya Orde Baru diciptakan oleh Presiden Suharto dengan sadar, dan terus-menerus diulang-ulangnya di dalam setiap kampanye indoktrinasi. Dalam hal ini termasuk, antara lain, pemutaran sebuah versi film tentang apa yang disebutnya sebagai 'pengkhianatan' PKI. Kampanye ini dibangun di atas metafora-metafora seksual, khususnya ketakutan laki-laki terhadap kastrasi yang, dengan dalih-dalih sangat menjijikkan, menggambarkan organisasi perempuan Gerwani (yang dikaitkannya dengan PKI), yang diduga berperanan di dalam kup tersebut. Sampai sekarang analisis-analisis mengenai kekuasaan Orde Baru selalu mengabaikan unsur-unsur kiasan seksual yang melandasi konfigurasi politik Indonesia dewasa ini. (10)


Kampanye tersebut di atas membawa implikasi-implikasi yang luas, dan memerlukan proses indoktrinasi yang terus-menerus. Indoktrinasi ini tak lain ialah brainwashing bagi seluruh bangsa agar mempercayai pandangan penguasa tentang masa lampau kolektif mereka, dan agar tidak mempersoalkan politik pemerintah Orde Baru. Bicara tentang masalah emansipasi perempuan, yang mengandung pandangan tentang keadilan sosial yang lebih luas, dapat menimbulkan kecurigaan.


Bukan hanya akan dikaitkan dengan 'Komunisme', tetapi juga dengan 'cara berpikir Orde Lama' pada umumnya. Seperti salah seorang pemimpin Perwari (11) mengatakan: 'Jika saya bicara tentang pandangan saya mengenai gerakan kaum perempuan Indonesia, dan harus menyebut cita-cita yang hendak saya capai atau membahas soal-soal emansipasi perempuan, seketika saya akan dituduh sebagai 'orang Orde Lama'. Pemerintah sekarang ini benar-benar mengajar rakyatnya agar menjadi bodoh. Padahal, tidakkah orang hanya akan bisa merdeka jika dia bisa berpikir, bukan? Kemerdekaan itu benar-benar tidak ada di sini. Di sini tidak ada jalan, bagaimana caranya supaya kita bisa berbicara atau berpikir menurut apa yang kita mau' (interviu 73, 31 Januari 1984).


Karena itu kajian ini tidak hanya merupakan kebutuhan sejarah. Analisis dari sudut gender tentang kejadian-kejadian tahun 1965-1966 yang dikemukakan di sini, ada hubungannya secara langsung dengan pemahaman terhadap persekongkolan kekuasaan Orde Baru pada umumnya, dan dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Presiden Suharto yang berwatak patriarkal militer, yang telah dibangunnya itu.


Sesungguhnya itulah alasannya, mengapa saya menjadi tertarik pada topik kajian sekarang ini. Dalam akhir tahun 1970-an, saya terkesima melihat kadar ketaatan dan dominasi laki-laki pada organisasi-organisasi terpenting kaum perempuan di Indonesia saat sekarang. Khususnya pada organisasi-organisasi istri para pejabat sipil (Dharma Wanita) dan pejabat militer (Dharma Pertiwi), demikian juga pada organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) (12) yang disponsori negara dan meluas di seluruh negeri itu. Belakangan saya tahu, organisasi-organisasi ini dibangun di atas reruntuk sejarah organisasi-organisasi kaum perempuan yang
mandiri dan giat. Seperti pada tahun 1985 pernah saya kemukakan, organisasi-organisasi baru ini didirikan oleh militer, sengaja untuk
menomor-duakan kembali kedudukan kaum perempuan Indonesia: Sekarang setiap suara yang mempersoalkan tentang sulitnya keadaan sosial dan ekonomi mendapat cap sebagai berbau politik. Maka soal-soal yang berimplikasi sayap-kiri dan 'kaum kiri', yang dikaitkan dengan 'kaum perempuan' semacam itu, membuka seluruh kotak asosiasi-asosiasi Pandora dengan pembunuhan-pembunuhan ritual dan pesta-pora seksual. (Wieringa 1985:38) (13)


Semula berkat cambukan Sukarno sendiri, sehingga kaum perempuan Indonesia giat berpartisipasi dalam perang kemerdekaan nasional. Namun sesudah kemerdekaan tercapai, berlangsunglah proses pemulihan kembali kekuasaan kaum laki-laki. Selama tahun-tahun pertama pemerintahan Sukarno, kaum perempuan selalu menjadi subjek yang vokal di tengah percaturan politik Indonesia, dengan menyerang benteng dominasi laki-laki dari dua penjuru. Pertama-tama, mereka menyerang hak prerogatif laki-laki berpoligini. Perjuangan mereka kalah, karena tak lain dari Presiden Sukarno sendiri yang menuntut hak beristri lebih dari satu orang.


Kedua, sebagian dari gerakan ini, itulah Gerwani, menuntut tempat di tengah gelanggang politik bagi kaum perempuan. Langkah ini membawa sejumlah konsekuensi. Pertama-tama, mereka memancing amarah organisasi-organisasi perempuan lainnya, yang berpendirian bahwa kedudukan perempuan di masyarakat tidak di bidang politik tetapi di bidang sosial. Selanjutnya Gerwani, yang menjadi semakin rapat mendekatkan diri pada PKI (yang tak banyak perhatiannya pada 'soal perempuan' itu) kehilangan banyak pendirian feminismenya yang semula. Ketiga, saya ingin mengemukakan, bahwa langkah Gerwani memasuki bidang yang sampai sekarang dipandang daerah kawasan laki-laki, telah memicu ketakutan di kalangan kelompok-kelompok tradisional di Indonesia, khususnya kalangan Muslim yang salih. Kalangan inilah yang pada waktunya merupakan lahan subur bagi kampanye Suharto tentang fitnahan seksual dalam akhir tahun 1965.


Untuk mengerti bagaimana organisasi-organisasi kaum perempuan dewasa ini berfungsi, baik sebagai tiang penyangga rezim Orde Baru maupun sebagai alat untuk menomor-duakan kembali kedudukan perempuan, saya merasa perlu meneliti periode Orde Lama dan lahirnya kekuasaan Orde Baru. Sementara meneliti sejarah dalam periode ini, saya melihat sehingga mana kiasan seksual dan penghinaan terhadap perempuan mengelilingi asal-muasal rezim Suharto. Namun dengan ini tidak bermaksud mengatakan, bahwa metafora-metafora seksual merupakan faktor satu-satunya yang turut menyebabkan terjadinya pembantaian massal, dan tampilnya
Suharto di atas singgasana kekuasaan. Faktor-faktor lain, selain dari kekacauan perekonomian, yang mengakibatkan rasa sangat khawatir baik di kalangan Angkatan Darat maupun kaum Komunis, termasuk juga percobaan-percobaan pembunuhan terhadap
Sukarno (Mei 1978), sakitnya Sukarno, dan seruan Sukarno untuk pembentukan Angkatan Ke-5. Walaupun Angkatan Ke-5 ini sedikit banyak sekedar merupakan retorika medio 1960-an belaka, (14) namun Angkatan Darat merasa sangat cemas melihat kemungkinan akan dipersenjatainya sekitar 21 juta kaum tani dan kaum buruh, yang sama sekali terlepas dari kendali pimpinan Angkatan Darat. (15)
Walaupun begitu, sugesti-sugesti tentang perbuatan seksual yang tak senonoh itulah, yang telah menjadi penyebab kotak mesiu meledak. Saya berpendapat, bahwa untuk mengerti tentang dalamnya krisis yang telah menenggelamkan Indonesia pada
tahun 1965 itu, tidak cukup dengan memberikan analisis politik saja, tetapi juga analisis dari sudut gender perlu dikemukakan. Analisis gender yang dikemukakan di sini akan menyoroti aspek-aspek tertentu dalam sejarah politik modern Indonesia, yang sedemikian jauh masih tetap merupakan misteri bagi banyak para peneliti, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pokok-pokok masalah yang umumnya diabaikan itu.


Halaman-halaman selanjutnya akan menguraikan sejarah yang terselubung itu dalam tiga tahap. Tahap pertama menguraikan sejarah feminisme Indonesia, yang mengenal saat-saat radikal dan berani lebih banyak lagi dari yang diakui para penulis sekarang. Tahap kedua memaparkan sejarah yang terlarang, yaitu sejarah Gerwani. Tentang anggota-anggotanya yang dibunuh, yang dipenjara dan yang hilang, serta dokumen-dokumen tentangnya yang di Indonesia dimusnahkan. Untungnya perpustakaan-perpustakaan di Negeri Belanda dan Amerika Serikat masih menyimpan bahan-bahan, yang atas dasar itulah kisah masa lampau Gerwani dapat disusun
kembali. Ketiga, dengan mengamati kejadian-kejadian tahun 1965 dan 1966 atas dasar analisis gender dari periode itu, akan menyingkap aspek-aspek tertentu mengenai lahirnya Orde Baru, yang sampai sekarang digelapkan (oleh militer Indonesia) atau diingkari (oleh para peneliti sejarah modern Indonesia).


Fokus karangan ini terletak di Jawa. Antara lain karena Jawa merupakan pulau di Indonesia yang berpenduduk paling padat, tetapi lebih dari itu karena Jawa merupakan pusat kegiatan politik untuk negeri ini. Dengan giat Sukarno menggalakkan Jawanisasi terhadap budaya politik Indonesia, suatu langkah politik yang diikuti PKI. Kebijakan ini tetap dilanjutkan di bawah rezim Suharto.


Butir utama argumen saya berkisar di seputar periode antara 1950 dan 1965; yaitu periode Orde Lama, dan meluas sampai 1976, yaitu ketika Sukarno memberi kekuasaan de facto atas Indonesia kepada Suharto. Oleh karena perkembangan-perkembangan yang terjadi selama Orde Lama diantar oleh kebangkitan nasional masyarakat Indonesia, yang berlangsung selama dasawarsa-dasawarsa
terakhir kekuasaan kolonial dan masa pendudukan Jepang, maka periode ini pun tidak saya luputkan dari perhatian.


Struktur karangan ini sebagai berikut. Proses penelitian diuraikan dalam bab pertama. Bab berikut menjelaskan tentang kerangka teoretis, yang saya bangun di atas konsep gender sebagai alat analisis untuk memahami gerakan-gerakan dan organisasi-organisasi kaum perempuan, serta manipulasi politik memperhinakan perempuan. Bab-bab mengenai sejarah yang menyusul masing-masing membahas sejarah organisasi-organisasi kaum perempuan Indonesia sampai saat kemerdekaan, perkembangan politik pemerintahan Orde Lama dan gerakan perempuan dalam periode ini. Tiga bab pertama tentang Gerwani membahas sejarah organisasi ini secara
umum, dan beberapa masalah keorganisasiannya. Dua bab berikutnya masing-masing menitik-beratkan pada politik dan ideologi Gerwani. Masalah pokok yang diajukan dalam dua bab ini yaitu, apakah alasan pembenaran untuk tuduhan yang dilemparkan
kepada Gerwani, sesudah 1 Oktober 1965 itu, dapat ditemukan di dalam ideologi dan praktik organisasi. Kesimpulan saya ialah, jika ditinjau dari sudut seksualitas, Gerwani dapat dikatakan suatu organisasi yang agak konservatif. Bab terakhir membahas 'kup pertama', 1 Oktober, dan mengemukakan cerita dari hari ke hari bagaimana tahap pertama dari kup kedua yang secara diam-diam, dan bagaimana kampanye menentang Gerwani dan PKI disusun.


Untuk mengantar tema-tema tersebut di atas, dan memberi contoh tentang dedikasi dan aspirasi anggota-anggota Gerwani, Kata Pengantar ini ditutup dengan sebuah wawancara dengan seorang kader Jawa. (16) Hampir dua puluh tahun sesudah 'kejadian' 1965 masih juga sangat berbahaya bagi bekas anggota Gerwani untuk ditemui orang asing. Tetapi wawancara ini dapat dilakukan dengan mudah, karena ketika itu saya mendapat sakit pinggang yang luar biasa dan dirawat oleh Ibu Marto, sebutlah ia begitu, seorang tukang pijit dan tusuk jarum yang terkenal.


Kepandaian-kepandaian memijit dan tusuk jarum itu mulai dipelajarinya ketika di dalam penjara. Kami berjanji bertemu di rumah seorang kenalan kami. Biasanya saya dipijit sepanjang pagi. Dalam kesempatan itulah, sambil memijit dan mengurut punggung saya, ia menceritakan kisahnya yang terpotong-potong. Setiap kali ia menyentuh bagian tubuh saya yang terasa sakit, kami berhenti bercakap-cakap. Pada saat-saat kami sama sekali saling membisu, kesunyian itu menjadi penuh diliputi bayang-bayang kisahnya yang menyihir seluruh isi bilik kecil kami. Dan saya biarkan jari-jemarinya yang kuat dan berpengalaman itu merajalela bermain-main di sekujur tubuh, dari ujung rambut sampai ujung jari-jari kaki. Andaikata seseorang di luar liwat, atau masuk rumah, yang terdengar dan terlihat olehnya hanyalah suara percakapan seorang tukang pijit dan pasiennya, yang bicara tentang pinggang yang nyeri.


Keluarga saya tidak berlatar belakang kiri. Saya sajalah satu-satunya di dalam keluarga kami yang masuk dalam organisasi progresif. Saudara misan saya anggota PKI. Dan ketika saya berumur 17 tahun, dialah yang mendorong agar saya masuk Pemuda Rakyat.


Saya sangat senang di Pemuda Rakyat. Kami melakukan segala macam kegiatan bersama-sama. Terkadang menari, menyanyi dan juga bermain drama, dengan cerita-cerita yang berisi politik. Juga diberikan kursus soal-soal kerumahtanggaan, seperti masak-memasak dan menjahit. Tentu saja setiap saat kami selalu berdiskusi soal-soal politik.


Beberapa tahun sesudah itu saya masuk Gerwani tingkat ranting. Pimpinan menaruh perhatian pada saya, karena saya selalu mendengarkan dengan baik, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan membantu mengurusi kegiatan. Saya mengikuti kursus kader, dan mulai giat di tingkat cabang. Saya sangat bersemangat dan bekerja keras, sehingga karenanya dipilih untuk tingkat daerah, dan akhirnya sampai tingkat pusat.


Seluruhnya sudah tiga kali saya mengikuti kursus. Yang paling lama di Jakarta. Di sini kami digembleng selama satu bulan, bekerja di berbagai daerah ke mana kelak kami masing-masing akan dikirim. Mata-pelajaran termasuk pendidikan politik, mempelajari teks-teks pidato Bung Karno dan Bung Aidit, diskusi tentang soal-soal keorganisasian dan kerumahtanggaan. Juga kami mendapat pendidikan
latihan kepemimpinan. Sore hari kami belajar teks-teks karya Marx, Lenin, Stalin, Engels, dan tentu saja beberapa bagian dalam Sarinah, buku karangan Bung Karno itu. Pimpinan pusat menggunakan semua teks itu sebagai bahan bacaan. Biasanya kami juga mendiskusikan sejarah organisasi. Saya menjadi anggota organisasi dalam pertengahan 1950-an, ketika namanya sudah berubah menjadi Gerwani. Gerwis, begitu dulu biasanya disebut, kamu tahu, sedikit sektaris.


Sedikit sekali perempuan dari lapisan bawah yang menjadi anggota. Organisasi ini dianggap terlalu merah, terlalu PKI, terlalu ekstrem. Sebenarnya kami rasa penilaian itu tidak benar. Orang yang pernah mengenal Gerwis di saat-saat awal, jauh lebih menyukai daripada ketika Gerwis telah berkembang menjadi besar. Tetapi begitu itulah orang menilai. Maka dalam kongres tahun 1954 jadilah kami
Gerwani. Dengan sikap yang lebih luwes, khususnya dalam soal-soal keperempuanan, lebih lembut, lebih halus. Pengutamaan pada soal-soal perempuan berkurang, sementara itu soal-soal ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan mendapat perhatian lebih besar.


Yang sangat saya senangi dari semua kegiatan selama tahun-tahun itu, ialah usaha kami untuk menjalin hubungan dengan perempuan tani. Jika saya pergi ke suatu desa dan di sana bertemu seorang perempuan, yang mungkin kenalan atau saudara salah seorang kenalan saya entah di mana, lalu memperkenalkan diri sebagai anggota Gerwani, kamu tahu apa yang terjadi? Biasanya mereka tidak kenal, apa
itu Gerwani. Lalu saya perlu menjelaskan kepadanya, soal-soal apa yang kita perjuangkan. Umumnya mereka tertarik pada organisasi kami karena pendirian kami terhadap poligami. Soal kedua yang menarik perhatian perempuan tani ialah soal upah rendah. Umumnya mereka menyetujui gagasan kemerdekaan perempuan, karena kejengkelan bahwa upah mereka lebih rendah dari upah laki-laki. Jika seseorang telah masuk menjadi anggota, kepadanya diminta agar menarik seorang teman, dan teman ini pun menarik seorang teman lagi, begitu seterusnya, sehingga terbentuklah sebuah kelompok kecil. Kelompok-kelompok inilah basis organisasi kami. Melalui rapat-rapat kelompok, mereka akan mulai mengerti tentang hak-hak mereka dan tentang sistem feodal. Karena sistem feodal inilah yang menjadi sebab-musabab penderitaan kaum perempuan Indonesia.


Tentang soal-soal seperti itu kami akan membacanya dalam koran Harian Rakjat dan berkala Berita Gerwani, lalu kami akan membahas bersama-sama karangan-karangan yang kami kehendaki. Kami hampir tidak pernah membaca Api Kartini, yang tidak berpihak, bebas, dan tidak jelas warnanya. Majalah ini tidak menarik untuk perempuan di desa-desa, atau perempuan-perempuan kampung di kota.
Kami bangga pada organisasi kami. Karena Gerwani telah berjuang untuk perbaikan nasib perempuan, menentang kenaikan harga, dan memperjuangkan kenaikan upah. Sungguh menyenangkan bisa berdiri di barisan depan, dan melihat bahwa sesungguhnya kami bisa berbuat sesuatu.


Di kota kita juga sangat giat, khususnya di kalangan kaum buruh. Buruh perempuan biasanya anggota SOBSI, tetapi di kampung kediaman mereka, mereka anggota Gerwani. Banyak di antara mereka itu merangkap keanggotaan. Itu mudah saja. Karena banyak soal-soal tentang nasib buruh perempuan, sehingga memungkinkan kami untuk bekerjasama. Misalnya SOBSI dan Gerwani bekerja sama memperjuangkan hak cuti haid. Jika terjadi buruh perempuan dipecat, karena menuntut hak sah mereka untuk cuti haid, baik Gerwani maupun SOBSI akan tampil bersama membela buruh itu.


Gerwani juga sangat giat dalam usaha pemberantasan buta-huruf. Banyak sekali kursus-kursus PBH yang kami selenggarakan. Kami juga memperjuangkan hak-hak politik kaum perempuan, agar lebih banyak lagi perempuan yang menjadi anggota parlemen pusat dan daerah, atau agar mereka bisa dipilih menjadi lurah desa atau menteri, sama mudahnya seperti kaum laki-laki. Tentang hak-hak politik ini, terutama di desa-desa, banyak mengalami tentangan. Banyak golongan Islam yang memandang hal itu sangat menimbulkan perselisihan. Mereka tidak mau memberi hak apa pun bagi perempuan. Juga tak sedikit tuan tanah yang sangat konservatif.


Dalam aksi-aksi sepihak tahun 1960-an kaum perempuan ikut mengambil peranan aktif. Mereka tidak sekedar bersorak-sorai di garis pinggir. Di Kediri dan Jengkol, perempuanlah yang mengadang traktor-traktor tuan tanah, yang berusaha mengusir mereka dari tanah kediaman mereka. Dan perempuan itu jugalah yang mati ditembaki tentara.


Memang benar, aksi-aksi ini banyak tidak disukai di desa-desa. Bahwa begitu banyaknya perempuan yang dibunuh, mungkin inilah sebabnya: orang-orang Gerwani terlalu mandiri. Mereka membenci Gerwani. Mereka menghendaki agar perempuan hanya bergerak di bidang kemasyarakatan. Kadang-kadang mereka mengadakan arisan, bolehlah, seperti halnya semua organisasi perempuan lainnya. Tetapi di dalam Gerwani, perempuan juga giat berpolitik. Ya, itulah hal yang sangat dibenci.


Saya sering merasa heran, bagaimana semuanya bisa menjadi serba salah begitu. Satu hal memang jelas. Yaitu bahwa Sukarno tidak konsekuen dalam menangani sisa-sisa feodalisme yang masih ada di dalam masyarakat kami. Itulah sumber malapetaka yang menimpa kami. Kami bekerja bersama dengannya di dalam Front Nasional yang anti-imperialis. Tetapi ia tidak pandai memegang janjinya,
misalnya dalam pelaksanaan undang-undang land reform. PKI yang konsekuen, dan dalam hal ini kami bekerja bersama-sama dengannya. Peranan Gerwani dalam aksi-aksi sepihak sangat besar. Tetapi sekarang hampir dilupakan sama sekali.


Juga koran-koran ketika itu, tidak banyak yang meliput aksi-aksi kami itu. Kaum laki-laki selalu ingin dilihat sebagai lebih militan dari kaum perempuan. Kami di pihak Sukarno dalam konfrontasi menentang Malaysia. Tetapi sesungguhnya buat kami tidak terlalu menarik. Itu hanya untuk mengalihkan perhatian dari persoalan nasional saja. Karena itu sikap kami mula-mula agak maju-mundur.
Tetapi akhirnya dengan bersemangat kami mendukungnya, dan bahkan mengirim sukarelawan. Juga kaum perempuan di dalam PNI, Wanita Marhaen dan Wanita Demokrat, (17) berbuat sama; begitu pula halnya beberapa organisasi perempuan lainnya.


Pada waktu itu saya sendiri tidak di Jawa. Pada tahun 1962 saya, seorang diri, ditugasi di pulau lain. Sering saya merasa sangat kesepian. Karena saya tidak mengerti baik bahasa, masyarakat, maupun kebudayaan setempat. Saya harus berusaha merasa kerasan di tengah-tengah lingkungan yang asing itu. Saya tinggal bersama kader-kader lain, dari PKI dan Pemuda Rakyat, di sebuah rumah yang
besar. Seorang pemuda dari Pemuda Rakyat sering membantu saya. Kadang-kadang saya merasa begitu sedih, sehingga ingin menangis. Lalu, di saat-saat begitu, ia datang menghibur saya, menjelaskan hal-ihwalnya kepada saya, dan jika perlu juga membantu saya. Beberapa bulan pertama sering saya merasa sangat sedih, sehingga ingin segera pulang saja ke Jawa. Yang juga membuat terasa berat karena saya, sebagai anak gadis, tidak biasa hidup sendirian di tengah orang-orang laki-laki asing. Orang sangat suka bergunjing. Maka saya selalu harus mempertahankan diri.


Daerah tempat penugasan saya pun daerah sulit. Mempunyai kebanggaan yang besar terhadap sejarah perlawanannya menentang Belanda, dan juga tidak terlalu senang terhadap Jakarta. Islam sangat kuat, laki-lakinya berwatak congkak. Saya perempuan Jawa, orang asing, tidak boleh sekali-kali menonjol-nonjolkan diri. Jangan sekali-kali saya berusaha menampilkan diri sebagai guru yang serba tahu. Jadi saya harus menunggu saja, sampai mereka sendiri datang kepada saya dan mengemukakan persoalan mereka. Kader-kader yang bekerja di daerah ini tidak banyak mendapat pendidikan, dan juga sangat sedikit pengetahuan mereka tentang apa sebenarnya yang dibela Gerwani, dan apa yang dicita-citakannya. Melalui rapat-rapat saya menjadi tahu, siapa-siapa di antara mereka yang paling cerdas.

Lalu perempuan itu saya dekati, dan perlahan-lahan saya mencoba menerangkan serba sedikit tentang organisasi, kegiatan-kegiatannya, dan seterusnya dan seterusnya. Tetapi saya sama sekali tidak boleh menampak sebagai pemimpin. Untuk pemimpin haruslah seseorang dari daerah ini sendiri. Sungguh sangat berat buat saya untuk bisa menyesuaikan diri. Oleh karena saya
tidak biasa hidup di tengah daerah yang sangat kuat Islamnya, di mana perempuan tidak bisa bergerak leluasa. Akhirnya saya mendapat jalan untuk lebih memudahkan orang-orang perempuan itu datang menghadiri rapat-rapat kami. Mereka mengenal
banyak tari-tarian setempat. Laki-laki melarang istri mereka keluar rumah jika sendiri-sendiri, tetapi tidak jika mereka pergi bersama-sama. Lalu kami membentuk kelompok-kelompok kesenian, menari dan menyanyi, yang tidak terlarang bagi kaum perempuan. Tetapi kami tidak berhenti di situ. Kelompok-kelompok ini lalu kami beri isi. Kami berdiskusi tentang soal-soal sehari-hari bersama
mereka. Dengan sangat mudah kita bisa mendidik perempuan tentang soal-soal ekonomi melalui kegiatan arisan. Sekali kita mulai bicara tentang bagaimana yang sebaik-baiknya perempuan membelanjakan uangnya, seketika itu tibalah kita pada soal tentang kenaikan harga-harga. Dari situ lalu bisalah kita bicara tentang siapa yang bertanggungjawab dalam persoalan harga tersebut. Lalu bisalah sudah kita mulai bicara secara langsung tentang pendidikan politik.

Sesudah akhirnya mereka mengerti tentang apa cita-cita Gerwani, banyak orang-orang perempuan yang memberi dukungan kuat pada kami, walaupun mereka itu semuanya beragama Islam. Mereka membenci suami mereka yang berpoligami, dan senang menghadiri rapat-rapat kami untuk membahas persoalan itu. Mereka juga sangat senang belajar bagaimana membuat kue-kue, dan membahas masalah situasi politik. Yang paling menarik untuk anak-anak gadis ialah hak menikah atas dasar suka sama suka, sedangkan untuk ibu-ibu khususnya masalah perjuangan melawan poligami. Juga kaum buruh perempuan merasa senang memperoleh dukungan kami untuk tuntutan mereka, agar tersedia balai penitipan anak dengan biaya pembayaran yang rendah.

Setahun kemudian anak muda Pemuda Rakyat itu meminta saya kawin dengannya. Dalam kebimbangan, saya minta agar ia mau menunggu. Ia berasal dari Jakarta. Tetapi kedua orangtuanya telah pindah menetap di sini. Saya mencari nasihat dari
teman-teman saya. Semuanya berpendapat agar saya menerimanya. Maka dalam tahun 1963 kami pun kawin. Saat itulah tahun-tahun yang paling berbahagia dalam kehidupan saya. Setahun kemudian lahir anak laki-laki kami. Saat-saat menjelang kelahiran anak kami, suami saya mengerjakan semua pekerjaan kerumahtanggaan: menyapu, memasak, mencuci. Sesudah bayi lahir ia pun sering mengganti popok anaknya sebelum berangkat bekerja. Ia selalu membantu saya sebisa-bisanya, sampai saya menjadi cukup kuat untuk bekerja lagi. Tetapi ketika itu sudah bulan Oktober 1965.

Saya benar-benar merasa sangat sedih bahwa semua pengorganisasian yang telah kami selenggarakan dengan amat berhati-hati, semua usaha membangun gerakan dari bawah, telah hancur berantakan sama sekali. Saya sudah biasa banyak bepergian, entah dengan kereta api atau bis, jika kendaraan itu ada. Tetapi jika harus pergi ke pedalaman, betapa pun jauhnya, kami harus berjalan kaki. Di dalam kota
pun saya berjalan kaki. Kadang-kadang saja saya bersepeda, tetapi umumnya berjalan kaki. Kami sudah biasa hidup dengan semangat berbakti. Tidak pernah kami berangan-angan: ah, besuk harus ada cukup makanan di periuk, atau, ah, saya ingin punya rumah yang bagus. Siang-malam kami sibuk dengan pekerjaan dan pekerjaan. Jika saya harus pergi berkendaraan, cukuplah jika karcis sudah di
tangan. Dan di sana nanti sepiring nasi untuk saya sudah selalu akan tersedia.

Pagi-pagi kami masak seadanya, lalu makan, dan kemudian segera berangkat bekerja. Seringkali kami baru di rumah kembali sesudah jam 11 atau 12 tengah malam. Di tengah perjalanan pulang kami membeli makanan apa saja. Tidak pernah saya memikirkan soal lain satu pun, kecuali sejumlah soal yang sudah ada di kepala, dan bagaimana harus memecahkannya. Kami tak banyak berpikir tentang
uang, walaupun saya sendiri menjadi kepala balai penitipan anak-anak itu. Tetapi uang sama sekali tidak cukup pada saya, juga pada wakil saya, kepala balai penitipan anak. Karena itu saya mengambil pekerjaan sedikit, sebagai penata-usaha sebuah sekolah.

Saya mengambil kursus lima bulan di Jakarta untuk mendapat ijazah pengelola balai penitipan anak-anak. Walaupun saat itu saya sudah mengepalai balai semacam itu di sini. Saya berangkat ke Jakarta ketika anak kami masih berumur dua bulan.
Sekarang ijazah itu tinggal secarik kertas yang mubazir saja. Hubungan dengan Jakarta umumnya sulit. Sekali satu bulan saya mengirim laporan, tetapi jawaban baru datang setelah berbulan-bulan kemudian. Tetapi mereka mengirimi kami segala macam rekomendasi. Misalnya dinasihatkan agar di sekitar tanggal tertentu kami mengorganisasi demonstrasi anti-kenaikan harga, atau mengirim delegasi pada gubernur, apabila kegiatan-kegiatan itu telah direncanakan oleh Jakarta. Sepanjang mengenai persoalan politik nasional,
umumnya mereka mengikuti garis Partai. Tetapi untuk persoalan perempuan, mereka merumuskan garis mereka sendiri.

Lawan kami yang terpenting ialah orang-orang Muslim fanatik. Diperlukan waktu yang lama untuk bisa meyakinkan orang, terutama jika ia telah berpegangan teguh pada asas-asas agama tertentu. Di dalam Front Nasional ini kami banyak bekerja bersama dengan Perwari dan Kowani. Semuanya ini baru saja hendak mulai tinggal landas, ketika 'peristiwa' itu terjadi. Terjadi dengan sangat tak terduga-duga, juga di tengah-tengah segala-galanya.

Ketika kami tahu apa yang telah terjadi di Jawa, kami melarikan diri ke kota yang terdekat. Di sinilah suami saya terbakar hidup-hidup ketika mereka membakar kantor PKI. Dengan membawa anak laki-laki kami, saya melarikan diri ke Jakarta. Kakak perempuan saya janda seorang perwira tentera yang tewas dalam sebuah tugas. Tidak bisa hidup bersandar pada uang pensiun, ia bekerja pada sebuah
kantin angkatan darat. Saya pun bisa diterima bekerja di situ. Mereka memperingatkan saya agar kawin lagi. Kamu masih muda, kata mereka. Dan hanya punya anak satu. Orang akan menggunjingkan kamu, kalau kamu tidak mau bersuami lagi.

Demikianlah. Demi berjaga-jaga agar tidak menjadi pergunjingan, untuk kedua kalinya saya kawin, walaupun saya tidak mencintai laki-laki yang menjadi suami saya itu. Ketika anak saya dengannya berumur dua tahun, anak perempuan, tiba-tiba suami saya menghilang. Saya tanyakan kepada setiap orang, yang saya kira tahu duduk perkaranya, tetapi tidak pernah lagi saya mendengar kabar
beritanya.

Kemudian kakak saya menjadi ketakutan bahwa orang akan menjadi tahu tentang kami, dan dia akan kehilangan pekerjaan dan segala-galanya. Lalu kakak itu melaporkan saya. Ketika saya ditahan, anak perempuan saya tinggal bersama kakak di Jakarta. Sedangkan anak laki-laki, yang ketika itu bersama saya, tidak ada seorang pun yang mengurusi. Neneknya sudah terlalu tua dan pikun untuk bisa mengurusi hidupnya dan mengirimnya ke sekolah. Anak itu berusaha menghidupi dirinya dengan menjual koran dan bakso di sepanjang jalan.

Di penjara banyak di antara kami yang diperkosa. Dipukuli, disiksa, disetrum, dan dibakar dengan rokok. Beberapa tahun kemudian, sesudah mendapat kunjungan Palang Merah Internasional, keadaan menjadi sedikit lebih baik. Saya belajar memijit, dan membuat kerajinan tangan yang bisa dijual, untuk membeli sedikit tambahan jatah makan.

Setiap sesama tahanan di penjara tahu, bahwa jika kelak bebas saya harus mencari hidup sendiri dan dua anak saya. Karena itu mereka mengumpulkan apa saja, untuk saya, semampu mereka masing-masing. Beberapa yang telah lebih dahulu bebas, memberi saya beberapa periuk dan kompor. Tetapi saya sedikit-sedikit juga menabung sisa hasil penjualan kerajinan tangan, sehingga selama hari-hari pertama bisa membeli beras sekedarnya. Selama minggu-minggu pertama sesudah bebas, saya hidup dari merajin barang sulaman, sambil mencari pasien yang mau dipijit. Sekarang saya sudah lulus berkali-kali ujian memijit dan tusuk jarum, dan saya punya cukup pasien untuk bisa hidup.

Tetapi keprihatinan saya pertama-tama terhadap anak laki-laki saya. Saya keluar pada hari Sabtu. Hari Minggu saya ketahui di mana dia, dan hari Senin ia bersekolah. Tetapi ia sangat tertinggal di sekolah, sehingga saya harus mengirimnya ke asrama. Ia sangat merasa malu, karena dalam umur 19 tahun masih harus bercelana pendek bersekolah SMP. Tahun depan ia akan selesai dari SMP.,
lalu boleh pulang dari asrama dan masuk SMA, dan memakai celana panjang. Dengan begitu tidak perlu lagi merasa malu dilihat oleh tetangga. Anak saya yang perempuan juga ketinggalan. Sudah berumur dua belas, seharusnya sudah kelas lima, tetapi ia masih di kelas tiga. Tetapi dia akan naik. Sekarang dia maju.

Saya senang. Sekarang saya sudah dapat mengatasi, dengan dua anak dan pekerjaan memijit. Tetapi saya masih harus sangat hati-hati. Saya tidak bisa mengambil pasien di rumah sendiri. Teman saya mendengar, ia pernah menjadi pembicaraan kalangan pejabat, karena menerima tamu terlalu banyak. Padahal mereka itu orang-orang sakit! Ia diancam menutup praktik. Karena itu biasanya saya yang
pergi, mendatangi rumah pasien-pasien saya.

Walaupun kami sudah dibebaskan, tetapi kami belum warga negara penuh. Saya masih harus selalu melapor setiap waktu. Misalnya, jika saya akan pergi ke Surabaya, saya memerlukan lima setempel di secarik kertas, yang harus saya perlihatkan
kepada petugas keamanan di Surabaya. Jika saya melanggar, saya akan dikenai tahanan rumah.

Tetapi itu tidak terlalu buruk. Saya masih bisa hidup dengan itu. Yang membuat saya sangat sedih, bahwa di sekolah anak-anak saya diajar hal-hal yang busuk tentang Gerwani. Saya merasa anak laki-laki saya menyembunyikan sesuatu terhadap saya. Akhirnya suatu hari ia mendekat dan bertanya, 'Ma! Mengapa Mama menjadi anggota organisasi begitu, yang begitu bejat akhlaknya, dan menghancurkan negara? Apa Mama juga pelacur? Kata orang-orang semua anggota Gerwani pelacur dan perempuan-perempuan jahat.' Bagaimana saya harus menjelaskan kepadanya, untuk apa kita hidup? Dan apa yang dahulu kita cita-citakan? Saya masih melihat
bayangan kebingungan dan rasa malu pada matanya. Apakah ia masih akan mengerti hidup saya, Mamanya?

Wajah Ibu Marto mengkerut sedih ketika ia mengucapkan kata-katanya itu. Mendadak jari-jarinya berhenti bekerja ...

Juga perempuan-perempuan lain meminta saya agar mengembalikan sejarah mereka kepada mereka dan saudara-saudara mereka. Mereka tidak mau mati dengan versi masa lalu mereka, yang disusun dalam kampanye teror massal sesudah terjadinya kup. Tetapi sejarah yang menyusul itu bukannya hak perempuan-perempuan 'tua' saja. Generasi muda kaum perempuan dan laki-laki Indonesia, yang telah digiring untuk mempercayai versi militer mengenai kejadian-kejadian itu, dan atas dasar itu pulalah masyarakat di mana mereka hidup disusun, juga mempunyai hak untuk ditunjukkan kepada uraian yang bertujuan menumbangkan sejarah militer Indonesia itu.
Catatan:

* Thesis di Institute of Social Studies The Hague 1995.

1 Saya pakai istilah 'Keluarga Komunis', dengan maksud meliputi PKI dan ormas-ormas kaitannya, yaitu Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Pemuda Rakyat, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan HSI (Himpunan Sarjana Indonesia). Dalam tahun 1964 dikatakan keluarga ini terdiri dari sekitar 27 juta
anggota (HR 20 Agustus 1965). Angka ini harus dibaca dengan hati-hati, oleh karena kenyataannya banyak terjadi keanggotaan rangkap.

2 Antara tahun 1950-54 organisasi ini bernama Gerwis. Saya pakai Gerwani untuk menyebut organisasi ini secara umum, dan hanya memakai sebutan Gerwis jika dimaksud khusus tentang periode tersebut sampai Kongres Ke-1 tahun 1954.

3 Tidak diketahui dengan pasti, berapa banyak orang yang terbunuh pada saat itu. Para ilmuwan sekarang seperti Vatikiotis (1993) dan Anderson (1994) mengemukakan angka satu juta. Lihat juga Cribb (ed.) 1990.

4 Lihat laporan Howard Jones (Dubes AS untuk Indonesia selama tujuh tahun sampai Juni 1965) yang memperlihatkan keterlibatan AS dalam politik dalam negeri Indonesia. Bagi Amerika dampaknya jelas lebih dari sekedar fakta, digantikannya pemerintah yang bersikap bermusuhan dengan yang bersahabat. Kejadian itu juga melukiskan tentang kekalahan besar baik Moskow maupun Beijing, '[d]an salah satu hasil yang paling menggembirakan dari tindakan Indonesia atas prakarsa sendiri itu ialah pendekatan antara negeri ini dengan Amerika Serikat' (Jones 1971:403). Bagi AS, Suharto adalah 'pahlawan yang menggagalkan Indonesia menjadi Negara
Komunis' (Jones 1971:412).

5 Lihat Bab 11 untuk uraian mengenai arti adegan gara-gara.

6 Tapol, kependekan dari tahanan politik; dan napol dari narapidana politik. Tapol yang tidak pernah diadili itu dibebaskan tahun 1979, empat belas tahun sesudah kejadian tahun 1965, namun masih harus selalu membawa KTP bertanda demikian. Beberapa orang napol baru dibebaskan sesudah hukuman mereka daluwarsa. Mereka yang menunggu hukuman mati masih tetap di dalam penjara. Pada tahun 1987, sebuah Peraturan Pemerintah (No. 5 tahun ini) membatalkan pengurangan hukuman seumur hidup menjadi dua puluh tahun, setelah lima tahun 'berkelakuan baik'. Lihat Hersri 1993 dan Pramudya Ananta Toer 1988 dan 1995 untuk pengalaman tapol di konsentrasi kamp di Pulau Buru, dan Havelaar 1988 untuk kisah kehidupan keluarga eks-tapol.

7 Jabatan yang secara resmi terlarang bagi eks-tapol termasuk menjadi pegawai negeri, tentara, dan perusahaan- perusahaan vital. Mereka juga dilarang bekerja yang bisa menyebabkan berhubungan dengan orang banyak, seperti menjadi wartawan, guru, dan pendeta. Dasar hukum peraturan-peraturan ini ialah Undang-Undang Anti-Subversi 1975 (Keputusan Pangkopkamtib No. 06/Kopkam/XI, berkenaan dengan "Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI'), dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 tahun 1981 berkenaan dengan 'Bimbingan dan Pengawasan Eks-Tapol dan Napol Gerakan 30 September PKI'. Lihat juga Manai Sophiaan (1994) untuk uraian tentang cara bagaimana rezim Suharto berhasil menangkal setiap kritik sosial, dengan menunjuknya sebagai 'bahaya laten' Komunis.

8 Lihat juga karangan Kees van Dijk dalam Internationale Spectator bulan Oktober 1994, No. 10, 'Een verschijningsverbod in Indonesiƫ' (Larangan penerbitan di Indonesia).

9 Serangkaian pemogokan di Sumatra Utara dalam paroh pertama 1994 dikatakan 'digerakkan oleh pimpinan serikat buruh, yang di antaranya mempunyai keluarga yang terlibat PKI'. Seorang pemimpin buruh terbunuh (IFM thn XVIII (3) Mei 1994). Pemogokan dipimpin serikat buruh merdeka SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang masih terlarang. Pemerintah hanya mengakui SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), suatu serikat buruh yang menerima konsep perlunya ada harmoni antara majikan dan buruh.

10 Dalam makalah tahun 1985 yang berjudul 'The Perfumed Nightmare' saya tunjukkan, bahwa di bawah Jendral Suharto Angkatan Darat telah membikin kampanye di sekitar peranan yang dituduhkan pada Gerwani dalam kup 1 Oktober 1965. Belum lama yang lalu Leclerc (1991), dalam sebuah makalah tak diterbitkan, telah mengangkat tema yang sama dengan memusatkan perhatiannya pada monumen yang dibangun di Lubang Buaya, tempat terjadinya pembunuhan para jendral. Tema ini akan saya urai dalam Bab 11.

11 Perwari, Persatuan Wanita Republik Indonesia, didirikan segera sesudah proklamasi kemerdekaan. Seperti akan saya urai dalam Bab 7, selama waktu yang panjang organisasi ini tetap bersemangat radikal dan lantang membela hak-hak kaum perempuan, khususnya dalam perkawinan. Dewasa ini Perwari telah 'dijinakkan', kegiatan-kegiatannya yang menjurubicarai perempuan miskin tidak dimungkinkan, dan keanggotaannya menjadi merosot hebat. Gejala terakhir ini terutama disebabkan oleh kenyataan, bahwa setiap istri pegawai negeri atau tentara harus menjadi anggota organisasi istri-istri tentara dan karyawan, yaitu Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi.

12 Untuk uraian tentang Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi lihat Wieringa 1985. Dalam karangan belakangan saya membicarakan 'feminisme yang keguguran' di Indonesia (1988b), dan lebih belakangan lagi saya tulis dua karangan yang membandingkan Gerwani dengan PKK (1992; 1993a). lihat juga laporan yang diterbitkan oleh tim Indonesia untuk Proyek Sejarah Perempuan DGIS/ISS (Wieringa et al. 1985; Wieringa (ed.) 1990). Lihat juga Suryakusuma (1990) untuk Dharma Wanita.

13 Makalah ini diterjemahkan Hersri ke bahasa Indonesia sebagai 'Impian Buruk Berbau Harum'. Sejak 1985 beredar di Indonesia sebagai bahan bacaan samizdat.

14 Sukarelawan Gerwani yang dilatih untuk Angkatan ke-5 berjumlah tak lebih dari 70 orang; lihat Bab 11.

15 Lihat Southwood & Flanagan (1983) untuk pembahasan tentang Angkatan Ke-5.

16 Nomor-nomor wawancara 96, 97, 100, 121 dan 122. Marhaenis.

17 Ini organisasi yang sama. Tahun 1964 Wanita Demokrat Indonesia mengganti namanya menjadi Gerakan Wanita Marhaenis.

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.