Translate

Bagian Dua: "Lahirnya Tragedi"

Oleh Asep Pram


Lahirnya Tragedi


Di tengah hiruk-pikuk dan berseliwerannya orang-orang yang keluar masuk rumah sakit, perempuan itu bergegas menuju ke sebuah ruangan di samping kanan toilet. Sepuluh menit kemudian keluar mengenakan seragam putih putih. Ia seorang perawat.

Setelah menggesekkan selembar kartu, ia pergi ke beberapa ruangan. Mencatat sesuatu di dalam buku yang telah disediakan, kemudian berkeliling memasuki ruangan lain. Mengecek setiap data kemajuan pasien. Di sana biasa ia mendapat pesan atau perintah dokter yang paling akhir memeriksa si pasien yang ditujukan kepada perawat-perawat semacam dirinya.

“Selamat siang, Bu!” sapanya dengan ramah kepada seorang pasien perempuan yang tengah terbaring sambil bercakap-cakap dengan seseorang, mungkin familinya yang sedang membesuk.

Tiba-tiba suara sirine mobil ambulan berbunyi mendekat, kemudian berhenti. Perempuan itu bergegas pergi. Bunyi serine terdengar lagi disusul satu detik kemudian.

Di halaman depan rumah sakit sudah berbaris empat mobil ambulan. Orang-orang sibuk membuka pintu belakangnya, menyiapkan tandu, kemudian mengangkat sosok tubuh yang penuh darah segar yang  mengucur di antara lukanya yang menganga. Rintihnya menyayat, pilu.

Ada kecelakaan. Bis bermuatan penuh masuk ke jurang sedalam lima belas meter setelah sebelumnya bertabrakan dengan truk bermuatan pasir. Korbannya banyak. Sepuluh meninggal dunia, termasuk sopir, sisanya luka berat dan ringan, lima lagi terjepit badan bis, hingga kini belum bisa diangkat. Kondekturnya hilang entah ke mana, kemungkinan besar terperosok ke bawah semak-semak karena terpental. Polisi masih sibuk menyusuri tempat kejadian perkara.

Seluruh korban kecelakaan dirawat di rumah sakit tempat perempuan itu bekerja. Semuanya berjumlah dua puluh lima orang. Yang meninggal dimasukkan ke ruang jenazah untuk diotopsi, sedangkan korban luka-luka masuk ke unit-unit pemeriksaan tertentu. Ada yang masuk ke unit gawat darurat, ada juga yang hanya dirawat dalam ruang perawatan biasa. Tergantung seberapa parah luka yang dideritanya.

Perempuan perawat itu bernama Magda. Magdalena, lengkapnya. Bergegas ia melaksanakan perintahan seniornya. Cekatan. Matanya bergerak-gerak lincah, tapi tidak sampai mengubah aura wajahnya yang sayu, sendu. Matanya bening, tajam, lincah, dan bercahaya.

Di Ruang Gawat Darurat, seorang korban tergeletak sendirian. Cepat-cepat ia memanggil dokter jaga. Saku belakang celana korban ia rogoh. Sebuah dompet kini sudah di tangannya.

“Ramadhan Revolusi,” gumamnya. Sebuah nama yang unik, pikirnya.

“Siapa?”

“Ramadhan Revolusi”

“Hmm...” si dokter tidak berkomentar lagi. “Banyak sekali darah yang keluar dari perutnya. Lukanya lebar. Apa Suster melihat tanda-tanda benda yang melukai perut pasien ini? Mungkin saja ada serpihan kaca bis atau yang lainnya?” tanya dokter.

“Tidak, Dok. Sejak saya masuk dan memeriksa luka korban, tidak melihat benda apa pun di perutnya. Apa mungkin patahan besi kursi  penumpang yang ada dihadapannya?”

“Tidak mungkin” jawab dokter pasti. “Itu luka yang diakibatkan oleh benda tipis dan tajam, semacam pisau. Segera bersihkan. Lukanya harus segera kita jahit.”

Sementara si dokter menyiapkan jarum suntik berisi cairan, Suster Magda sibuk membersihkan luka pasien. Di atas pusar, tepat ditengah perutnya, sebuah luka memanjang dan dalam. Ketika ia membersihkan sedikit bercak darah pada leher pasien, Suster Magda kaget. Ia merasa pernah bertemu dengan laki-laki ini. Tapi dimana dan kapan, ia tak ingat.

“Siapkan air!” pinta dokter. Suster Magdalena tak mendengar apa-apa. Pikirannya masih kesusahan mengingat-ingat tempat dan waktu pertemuan dengan laki-laki yang kini ada di hadapannya, menjadi pasiennya.

“Suster! Anda kenapa? Sakit?”

“Oh maaf, Dok. Saya sedang mengingat-ingat sesuatu ... eh ... anu rasanya saya pernah bertemu dengan pasien ini, tapi lupa.”

“Nanti saja mengingat-ingatnya. Tugas kita sekarang harus menyelamatkan nyawanya. Lukanya berbahaya. Sangat dalam.”

Dokter mulai bekerja menjahit luka pasien. Tangannya yang dibalut sarung tangan karet warna putih, sangat cekatan menusukkan kemudian menarik jarum dan benang pada luka si pasien. Matanya seperti tidak berkedip mengikuti gerakan benda-benda yang ada di tangannya.

“Gunting kecil,” pintanya pada Suster Magdalena. “Kok tidak pakai sarung karet, tidak steril itu. Lekas pakai dulu!” katanya kesal.

Suster Magdalena gugup. Hampir saja ia juga lupa tempat menyimpan sarung tangan karet itu. Satu jam kurang lima belas menit, luka pasien selesai dijahit.

“Sebaiknya, Suster jangan kemana-mana. Pasien ini kritis. Ia harus selalu dijaga dan dirawat. Sekarang, silahkan ingat-ingat kembali dimana Suster Magda bertemu dengannya, tapi jangan sampai ketiduran,” ucap dokter. Wajah Suster Magdalena merah, tapi tetap tersenyum.

Dokter kemudian meninggalkan ruangan. Suster Magdalena kembali mengawasi wajah pasien yang ada di hadapannya. Menyidik-nyidik. “Kasihan sekali. Apa ia tak punya keluarga?” gumamnya.

Tiba-tiba pintu ada yang mengetuk. Ia mendekati pintu yang tertutup rapat. Kemudian membukanya. Dua orang polisi berpangkat brigadir sudah ada di hadapannya.

“Selamat siang!” ucap salah seorang polisi itu.

“Siang. Silahkan masuk, Pak!”

“Sudah Suster data nama pasien ini?”

“Di kartu tanda penduduknya tertulis nama Ramadhan Revolusi. Di belakangnya tertulis nama ayahnya. Alamat di kartu itu tidak begitu jelas.”

“Berarti betul ini,” kata salah seorang polisi sambil memandang rekannya.

“Ada apa, Pak?” tanya suster Magdalena heran.

“Di TKP banyak sekali barang-barang milik para korban bis naas itu. Semuanya sudah ada yang mengambil, yang tersisa cuma tas gendong ukuran sedang berwarna hijau dipadu hitam dan sebilah belati tanpa sarung. Kemungkinan milik korban ini. Dugaan kami mendekati betul, sebab di buku-buku dalam tas itu terdapat tulisan ‘revolusi’. Kebetulan sama dengan nama pasien ini. untuk sementara barang-barang itu sekarang disimpan dalam,” seorang polisi menjelaskan. Sementara polisi yang lain sibuk mencatat data korban sesuai dengan apa yang tertulis dalam kartu tanda penduduk. “Kalau nanti ada pihak keluarga korban yang datang, tolong beritahu saya di depan.”

Magdalena kembali mengingat-ingat laki-laki itu. “Polisi itu mengatakan belati tak bersarung,” ucapnya perlahan. Tiba-tiba seolah menemukan jawaban.  Beberapa hari yang lalu, ketika ia sedang menunggu toko milik orangtuanya, pernah kedatangan laki-laki muda yang menanyakan belati. Matanya, rambutnya yang gondrong, kaos hitamnya, dan tas yang digendongnya. Dialah laki-laki yang terbaring tak berdaya itu. Dia pula yang telah membuat dirinya terkagum-kagum akan kebebasan sikapnya, bicaranya yang berat dan pendek-pendek, matanya yang tajam menusuk serta wajahnya yang beku. “Ya, dialah orangnya!” katanya.

“Suster Magda, ada telepon,” sebua suara terdengar. Magdalena kaget. Lekas ia pergi, supaya dapat cepat kembali memandang laki-laki yang tengah terbaring itu.

Dua orang polisi yang tadi menemuinya di ruang periksa, terlihat sedang serius membicarakan sesuatu dengan polisi yang pangkatnya lebih tinggi. Magdalena yang sedang menerima telepon, melirikkan matanya ke arah kedua polisi itu sambil sesekali  memandang orang-orang yang hilir mudik. Mereka mungkin keluarga-keluarga korban kecelakaan bis itu. Banyak di antara mereka, terutama ibu-ibu, yang menangis.

Apa yang diobrolkan polisi-polisi itu sangat jelas terdengar oleh Magdalena sebab tempat telepon itu ada di ruang tunggu tempat polisi-polisi itu mengobrol. Magdalena tertarik pada apa yang sedang dibicarakan mereka yang menyebut-nyebut “Revolusi”, nama laki-laki yang kini tengah menggangu pikiranya.

Dari pembicaraan para polisi itu diketahui buku-buku yang ada dalam tas laki-laki itu adalah buku-buku kiri yang kini sedang ramai di-sweeping sebagai tindak lanjut digalakannya Gerakan Anti-Komunis. Katanya menyangkut bahaya laten yang lebih berbahaya yang harus segera dibasmi.

Betulkah buku-buku dalam tas laki-laki itu adalah buku kiri? Lantas, kenapa buku-buku itu dilarang dan dibakar?, pikirnya.

Tidak intelek. Tidak menghargai hasil karya orang lain. Jangan-jangan akibat dari tidak literatnya masyarakat negeri ini sehingga kurangnya apresiasi dan penghargaan terhadap karya tulis. Magdalena terus berpikir.

Ada sesuatu menyelusup, seolah menyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Ia harus menolong laki-laki itu. Ada perasaan tidak tega jika laki-laki itu ditangkap setelah sembuh dari lukanya nanti. Apalagi kalau sampai laki-laki itu ditahan.

Terbersit pikiran untuk mengambil barang-barang miliknya yang ada dalam mobil. Ia akan menyimpannya di suatu tempat yang tak akan diketahui orang lain. Entah kenapa, ia sangat ketakutan kalau barang-barang dalam itu akan menjadi bukti yang dapat membahayakan keselamatan si pemuda.

Magdalena segera menuju ke tempat parkir mobil. Ia mencoba mendekati salah satu mobil yang paling ujung. Secara kebetulan, matanya melihat tali hitam yang terjepit antara kedua pintu belakang mobil ambulan yang ketiga dari mobil yang ada di dekatnya.

“Itu seperti tali tas?” gumamnya. Cepat-cepat ia menghampiri mobil itu, dan tanpa berpikir panjang, ia langsung membuka pintunya yang kebetulan tidak dikunci. Si sopir tidak nampak.

Warna tas tersebut sesuai dengan apa yang diceritakan kedua polisi tadi: hijau berpadu hitam. Sebilah belati dengan gagang hitam tergeletak di sampingnya. Penuh darah mengering. Ia lalu memasukkan belati itu ke dalam tas yang berisi buku. Setelah menutup kembali pintu mobil, perempuan itu lenyap.

Sementara itu, matahari sudah mulai jingga. Gurat-gurat sinarnya terlihat menggaris di celah-celah awan yang menggumpal. Untuk sementara, tas tersebut akan ia titipkan ke pemilik kantin rumah sakit, kemudian ia minta sopir ayahnya untuk membawanya ke rumah. “Tolong bawa tas ini, simpan di ruang perpustakaan. Kasihan, punya teman,” katanya pada si sopir.

Mobil melaju. Di jalan pusat kota, ia saling sikut dengan mobil lainnya. Rebutan jalan. Jumlah kendaraan sekarang hampir sama dengan jumlah penduduk negeri ini. Semua orang ingin punya mobil. Katanya, agar sampai ke tempat kerja tidak lagi terlambat. Padahal, dengan membeli mobil, ia malah menambah macet jalanan. Belum lagi polusi suara dan udara.

Rumah dan pekarangan siapa lagi sekarang yang harus dibongkar untuk dibangun jalan dan jembatan layang.  Apakah harus si miskin lagi yang terus kena sial? Apakah harus selalu mereka yang jadi korban pembangunan, demi prestise, sebab negeri ini tidak mau dikatakan terbelakang. Begitulah kalau hanya mementingkan penampilan fisik semata, sementara yang lainnya dikesampingkan: rakyat tetap saja miskin, pendidikan makin mahal, pengangguran bertambah, anak jalanan di mana-mana, dan kriminalitas dominan.

Segalanya makin jelas dalam pikiran Magdalena bahwa laki-laki inilah yang dulu pernah bertemu dengannya itu, yang bertanya tentang toko yang menjual belati. Dulu, laki-laki ini mengatakan kalau dirinya seorang pemburu. Bahkan, belati yang dicarinya itu katanya untuk memburu binatang buas. Tiba-tiba ia berpikir: jangan-jangan luka pada perutnya itu diakibatkan oleh belati itu? Tapi kenapa sampai melukai perut? Bunuh diri? Magdalena tidak yakin kalau laki-laki itu bunuh diri. Ia kembali mengawasi wajah laki-laki itu.

“Sayang, ia belum juga sadar” gumamnya. “Coba kalau sudah sadar, aku akan bertanya, apa yang telah terjadi padanya? Apakah ia masih ingat kepadaku? Jangan-jangan ...”

Pintu ruang pasien diketuk. Belum sempat ia berdiri untuk membuka pintu, tiga orang polisi sudah berada di depan pintu. Kemudian masuk. “Selamat malam, Suster!” ucap salah seorang di antara mereka. Ketiga polisi itu saling tatap. Salah seorang, yang paling tua dan berpakaian preman, berbicara. “Kami telah menghubungi pihak keluarga korban, ke alamat yang tertulis di kartu tanda penduduk itu, tapi ternyata, pemilik rumahnya sudah berganti. Pemilik yang dulu, orangtua korban ini sudah pindah. Sayangnya, tidak ada yang tahu kemana pindahnya. Ada informasi yang kami dapat dari beberapa sumber yang menyebutkan bahwa pemilik rumah sudah lama cerai, tepatnya, si istri minta cerai...”

“Jadi, laki-laki ini ...” Magdalena memotong.

“Ya, sejak ia kuliah delapan tahun yang lalu, ibunya tidak pernah lagi datang ke rumahnya...”

“Ayahnya?” Magdalena kembali memotong.

“Ayahnya yang bernama Joenoes Soemalang telah lama menjadi penghuni penjara.“

“Memangnya, Joenoes Soemalang itu siapa, Pak? Penjahat?”

“Itulah yang sekarang sedang kami cari datanya di pusat sebab menurut informasi yang kami peroleh dari tetangganya, Joenoes Soemalang itu adalah tahanan politik. Dulunya orang merah, pengikut Tan Malaka. Karenanya kami sangat hati-hati menangani kasus pasien ini, sebab ternyata dalam tas milik korban  terdapat buku-buku kritis berhaluan kiri. Suster tahu sendiri, sekarang ini pemerintah sedang giat menggalakan gerakan sweeping buku-buku kiri. Jadi, maksud kami, setelah sadar dan lumayan sembuh, pasien ini akan kami minta keterangan tentang kepemilikan buku itu.”

Polisi dan petugas intelijen berpakaian preman itu kemudian berhenti bicara. Ia mendekat ke arah pasien yang tengah terbaring, lalu mengambil dompet si pasien. “Ini juga bagian dari barang bukti. Di sini, dalam kartu tanda penduduk yang sudah tidak berlaku ini, tertulis nama Ramadhan Revolusi yang cocok dengan nama dalam buku-buku itu. Dalam kartu ini juga tertulis nama Joenoes Soemalang, ayah korban, yang disebut-sebut sebagai tahanan politik.”

“Mungkin sekarang laki-laki itu sudah dibebaskan,” tanya Magdalena.

“Saat istrinya minta dicerai, Joenoes Soemalang masih berstatus sebagai tahanan. Entah ditahan di mana. Alasan kenapa si istri minta cerai juga karena sejak dua bulan setelah menikah, suaminya diciduk aparat dan ditahan, hingga ia minta ceraipun, suaminya masih belum bebas. Satu-satunya sumber informasi yang dapat dipercaya adalah si pasien ini, berikut data yang sedang kami cari dari pusat. Maaf Suster, kapan kira-kira pasien ini akan siuman?” si polisi mengalihkan pembicaran.

“Saya tidak bisa memastikan, sebab luka pasien sangat parah. Kulit perutnya terkoyak memanjang dan ada bekas benda tajam masuk lumayan dalam.”

“Apa yang Suster katakan betul. Luka di perut korban  diakibatkan oleh pisau belati itu. Menurut warga yang pertama kali menolong para korban, di perut laki-laki ini tertancap sebuah pisau belati.”

“Apakah ia bunuh diri?” Magdalena kaget.

“Sepertinya bukan. Belati itu menancap masih dalam keadaan dibungkus kertas koran. Kemungkinan besar, korban sengaja menyelipkan belati itu dibalik bajunya, tepat di bawah pusar. Ketika bis menabrak truk atau mungkin ketika sampai di dasar jurang, belati itu menusuknya. Kami juga ingin menanyakan, kenapa ia membawa-bawa belati ke dalam bis? Sebab bisa jadi akan digunakan untuk kejahatan. Menodong atau membunuh, misalnya.”

“Apa mungkin begitu?”

“Makanya, kami menunggu pasien sadar. Banyak hal yang akan kami tanyakan kepadanya.”

Percakapan berhenti. Seorang polisi berpakaian dinas masuk. Ia melaporkan bahwa barang bukti berupa tas dan pisau belati hilang.

“Apakah sudah dicari dengan betul?”

“Kami sudah mencarinya kemana-mana, bahkan di semua mobil dan seluruh tempat parkir, tapi tidak ditemukan!”

Magdalena terkejut. Ia khawatir ada orang yang melihat apa yang telah dilakukannya beberapa saat lalu. Namun karena takut dicurigai, ia bersikap biasa.

Mendengar laporan itu, si komandan polisi mohon pamit.

“Silahkan..!” jawab Magdalena pendek. Ia mampu menyembunyikan perasaannya. Kemudian pura-pura mengecek labu darah yang menggantung di samping kiri pasien yang memang sudah mulai habis. Dirabanya selang yang menghubungkan labu darah itu dengan tangan si pasien.

Komandan polisi itu keluar diikuti dua rekannya, sementara yang seorang berdiri tegak berjaga-jaga di depan pintu. Wajahnya diseram-seramkan.  Magdalena menyibukkan diri menenangkan ketakutannya sambil berpikir tentang  langkah yang harus ia lakukan selanjutnya.
*

Malam merayap perlahan. Jalanan pusat kota ramai oleh berbagai kendaraan yang hilir mudik. Orang-orang mulai pulang ke rumah. Pekerja kantoran, dengan kendaraan pribadinya, di antara sisa permasalahan dalam pekerjaannya, asyik membayangkan bagaimana istri dan anak tercinta akan menyambutnya. Pejabat dan pengusaha yang sukses, merayakan kemenangan proyeknya dengan mampir di diskotik sekedar untuk minum-minum dan menonton tubuh penari striptis yang lenggak-lenggok menantang. Sesekali ia “sodaqoh”-kan sedikit penghasilannya di sela-sela kutang dan payudara, atau di antara karet celana dalam dan kulit perut si penari yang merangsang.

Sementara itu, buruh pabrik berdesakkan dalam metromini. Yang laki-laki, bergelayutan di pintu sambil menghisap rokok murahan. Asapnya mengepul bercampur timah hitam dan karbon monoksida yang dikeluarkan kendaraan di depannya. Para perempuan sibuk mengelap keringat di wajah dan lehernya. Di dalam terasa panas sebab jumlah penumpang kelewat penuh. Ada juga yang terus-menerus menutup hidung karena tidak tahan oleh asap rokok.

Saat lampu merah menyala, kendaraan membentuk antrian memanjang. Para pedagang asongan dan pengamen sibuk mengais keuntungan dari belaskasihan para penumpang yang di hatinya masih tersimpan nurani.

Magdalena tetap setia di rumah sakit. Ia merasa beruntung piket malam ini, karena bisa lebih lama menjaga pasien istimewanya. Ia sendiri tidak tahu, apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia tidak berani mengatakan itu sebagai cinta. Sebab  cinta tak sesederhana itu, pikirnya.

Ia ingin segera melihat si pasien sadar. Ia ingin bertanya tentang banyak hal kepadanya. Tentang belati, Joenoes Soemalang yang katanya tahanan politik, tentang keberadaan ibunya, juga tentang buku-buku yang dibawanya. “Aku siap menjaga dan merawatmu hingga sembuh. Lukamu parah. Kondisimu sangat kritis. Ini bukan semata-mata karena kewajibanku sebagai perawat, tetapi atas nama kemanusiaan,” katanya perlahan, mencari-cari alasan pada diri sendiri. Magdalena menghabiskan malamnya bersama riuh rendah perasaan dan pikiran kepada laki-laki yang masih terbaring.

“Tolong jaga dan rawat dia baik-baik. Awas jangan sampai lengah!” ia berpesan pada perawat lainnya yang disambut dengan tawa dan curiga.

“Kenapa? Naksir, ya?” tanya perawat lain.

“Bukan hanya aku, polisi juga berminat!” keduanya tertawa.
*

Tiba di rumah, Magdalena setengah berlari menuju ruang perpustakaan tempat buku-buku miliknya berada. Kebanyakan berupa komik. Ia ingin segera membuka isi tas laki-laki itu. Ia penasaran tentang buku-buku kiri yang sedang diburu aparat.

Satu-satu buku yang ada di dalam tas itu di keluarkan. “Pemikiran Karl Marx; Nyanyi Sunyi Seorang Bisu; Rumah Kaca; Arus Balik; Art And Revolution (writings on literature, politics, and culture); Madilog; In Defense of Marxism; The Communist Manifesto; Lenin’s Final fight (speech and writing) ...” ia menyebutkan judul buku itu satu-satu.

Ada lebih dari dua belas buku. Ia lalu membukanya satu-satu. Ada nama “revolusi” dengan huruf kecil semua. Di bawahnya terdapat angka tanggal, bulan, dan tahun. Mungkin tanggal pembelian. Lalu ada tandatangan. Tulisan tersebut terdapat di halaman pertama setelah cover. Masih pada halaman yang sama, dalam beberapa buku terdapat tulisan tangan. Misalnya: “fight imperialism”, “ganyang orba”, “Tan Malaka: bapak dari pemikiran dan sikap saya”...

Sebagai mantan mahasiswi, Magdalena tahu sedikit mengenai wacana politik semisal paham marxisme dan komunisme. Ia juga tahu siapa itu Karl Marx, Lenin, dan Tan Malaka, meski hanya sepintas. Sebagaimana rakyat negeri ini pada umumnya, dalam pikiran Magdalena, nama-nama tersebut mempunyai citra buruk.

Ketakutan-ketakutan pemerintah ditularkan kepada seluruh rakyatnya dengan membuatnya sebuah citraan yang maha buruk, jahat, anarkis, atheis, dan berbagai predikat buruk lainnya. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, pemerintah telah memaksakan kebenaran menurut dirinya pribadi menjadi kebenaran umum, menjadi semacam dogma, aturan, bahkan hukum yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi. Hal semacam ini pasti berhasil sebab pemerintah mempunyai alat untuk berkuasa. Dengan alasan menjaga keamanan, ketertiban, dan keutuhan  negara, ia mempunyai hak untuk berbuat sesuatu, meskipun cara yang ditempuh tidak selamanya benar. Terbentuklah warga negara yang taat dan sadar hukum, padahal sebenarnya adalah warga negara yang penurut, penakut, selalu keder, minder, bahkan bodoh. Mereka tidak sadar kalau itu semua pemaksaan yang halus dan tersembunyi.

“Benar-benar orang komunis,” gumam Magdalena perlahan. “Pantas pemerintah menindak tegas tokoh komunis sampai ke anak-cucunya. Melarangnya masuk pegawai negeri, sekolah, dan berbagai fasilitas negara lainnya, sebab mereka ternyata mampu ber-regenerasi. Joenoes Soemalang, ayahnya, seorang komunis sehingga kata tetangganya menjadi tahanan politik seumur hidup. Anaknya tak jauh beda.”

Dalam tumpukan buku paling bawah, ia menemukan lembaran kertas dibungkus plastik rapi. Ia membukanya. “Cerpen....? Ia juga menulis cerpen? Ia seorang penulis. Pantas gayanya begitu, seperti pemikir.”

Di tas bagian depan, ia menemukan handuk dan peralatan mandi berikut kaos oblong warna hitam dan celana jeans belel, masing-masing satu potong. Ketika pakaian itu diangkat, di dalamnya terdapat empat buah disket, ballpoint dan lima hingga sepuluh lembar kertas berisi tulisan tangan. Dari tulisannya Magdalena tahu kalau laki-laki itu sering menulis. Karena penasaran, Magdalena membacanya.

Laki-laki dan Belati (sebuah cerita)” ia membacakan judul tulisan tersebut. Pada sepertiga terakhir tulisan, mata Magdalena terlihat basah. Ia menangis. Baginya, cerita tersebut sangat menyentuh hati hingga ia larut ikut sedih.

Ada yang mengherankan pada tulisan itu, pikirnya. Kenapa peristiwa kecelakaan yang terjadi persis seperti yang terjadi pada pasiennya. Bis yang ditumpangi laki-laki dalam cerita itu masuk jurang setelah sebelumnya bertabrakan dengan truk bermuatan pasir. Namun, dalam cerita itu si tokoh laki-lakinya mati tertusuk belati. “Betul, betul sekali,” katanya. Ia yakin bahwa laki-laki yang kini terbaring ini pernah bertemu dengannya beberapa waktu lalu. Ia semakin yakin karena dalam cerita itu juga diceritakan bahwa laki-laki itu keluar masuk toko untuk mencari belati. Ada percakapan antara laki-laki itu dengan perempuan muda penjaga toko, yang setelah diingat-ingat  adalah dirinya.

“Ya. Itulah aku,” katanya. “Kata-kata yang diucapkan perempuan muda dalam cerita itu adalah kata-kata yang kuucapkan kepadanya, dan toko pramuka yang ditunjukannya itu adalah toko mili Engko Beng Seng. Magdalena semakin tersihir oleh laki-laki itu.

Seharian ia membaca cerpen-cerpen itu yang tidak dapat diselesaikan semalam. Wajah laki-laki itu semakin kuat mendesaknya untuk terus diingat. Cerita dalam tulisan-tulisannya begitu menarik perhatianya, membuatnya seolah ingin mengetahui seluk-beluk laki-laki itu. Membaca cerpen-cerpennya, Magdalena seakan membaca otobiografi laki-laki itu: ayahnya, ibunya, masa lalunya, perasaannya, lingkungannya, pikirannya, cita-citanya, dan segala apapun tentang dirinya.

Sehari itu, sudah empat kali Magdalena menanyakan kabar si pasien kepada temannya sesama perawat.  Dari temannya tersebut ia tahu si pasien  masih dalam keadaan kritis, belum sadarkan diri. Polisi masih sibuk mengusut barang bukti yang hilang

“Menurut kabar yang aku terima, ia akan jadi tersangka...”

“Tersangka apa?” ia khawatir.

“Tersangka kiri...”

Percakapan lewat telepon itu benar-benar telah membuat Magdalena semakin khawatir. Dulu ia memang merasa jijik dan berprasangka buruk terhadap paham komunisme, tapi sekarang setelah mengenal laki-laki itu, ia tertarik untuk mempelajarinya, membaca buku-bukunya yang kebetulan ada. Apalagi setelah pemerintah menggembar-gemborkan Gerakan Anti-Komunisme, bahaya laten, dan pembakaran buku-buku berhaluan kiri, paham itu semakin naik daun. Dengan meraba-raba, Magdalena mulai membaca buku-buku tersebut. Sendiri.
*

Hingga tiga hari kemudian, polisi tidak berhasil melacak orang yang mengambil barang bukti itu. Pada hari ke tujuh, si pasien baru sadar. Magdalena sangat gembira.

Ingin rasanya ia membujuk polisi itu untuk keluar, tapi terpaksa diurungkan sebab polisi-polisi tersebut akan menaruh curiga. Magdalena terpaksa harus memendam dalam-dalam segala keinginannya itu, demi keselamatan hingga dua hari kemudian ia mendapatkan pasien tidak ada di kamar. Dari beberapa teman ia tahu, setelah kesehatannya pulih, polisi langsung membawanya.

Dari dokter yang merawatnya ia mendapat kabar bahwa si pasien mengidap amnesia akibat benturan keras pada kepala.  “Namanya sendiri saja ia tidak tahu,” dokter menjelaskan. “Pihak kepolisian punya kepentingan untuk mengetahui perihal kepemilikan buku-buku kiri dan belati yang dibawanya.”

“Bagaimana polisi mau bertanya tentang buku-buku itu, diri sendiri saja ia tidak tahu?” Magdalena sewot.

“Entahlah! Mungkin mereka mencegah supaya laki-laki itu tidak melarikan diri.”

“Apa boleh menahan orang yang sedang lupa ingatan?“ Magdalena kembali bertanya. “Bukankah menahan seseorang itu harus jelas dulu kesalahannya melalui proses pengadilan?”

“Pihak kepolisian sudah kehilangan barang bukti. Kalau laki-laki tersangka itu kabur, mereka akan kehilangan kedua-duanya.”

“Laki-laki itu lupa ingatan, Dok. Semua tentang masa lalunya tidak bisa ia ingat. Segalanya!”

“Tapi,” jawab dokter perlahan, “apakah karena ia lupa ingatan lantas ketakutannya untuk dijatuhi hukuman penjara juga lantas hilang? Meskipun ia lupa ingatan, ketika diinterogasi dan diancam hukuman penjara, tetap saja ia tidak mau. Ia akan takut. Nah, karena takut dan tidak mau dihukum penjara, ia akan berusaha agar tidak dipenjara. Kemungkinan, salah satu caranya ialah melarikan diri alias kabur?”

“Status penahanannya apa?”

“Mungkin tahanan sementara sampai barang bukti berhasil ditemukan dan amnesia-nya sembuh serta diputuskan melalui proses pengadilan, atau ada kebijakan lain.
*

Sementara itu di markas kepolisian, laki-laki korban kecelakaan yang divonis amnesia sedang digiring ke tempat pemeriksaan. Ia akan diinterogasi.

“Sekali lagi saya bertanya, betul tidak Saudara yang bernama Ramadhan Revolusi?” tanya polisi yang ada di hadapannya. Yang ditanya malah mengerutkan dahi. Sama sekali ia tidak tahu siapa namanya, siapa dirinya, bagaimana masa lalunya. Siapa Ramadhan Revolusi itu? Nama siapa? Apa betul itu namanya?

“Saudara mendengar apa yang saya tanyakan?”

“Ya,” jawabnya.

“Kenapa tidak saudara jawab. Betul atau tidak?”

Tidak ada jawaban.

“Jangan pura-pura tidak tahu? Ingat, Saudara jangan bermain-main dengan hukum. Saudara jangan membohongi aparat penegak hukum!” petugas terlihat kesal. Namun pertanyaan apapun yang ia ajukan selalu dijawab dengan diam.

“Baik, kalau begitu. Saudara akan pergi kemana sehingga menumpang bis naas itu?"

Laki-laki itu kembali mengerutkan dahinya.  Kelihatannya ia sedang berpikir keras mengingatnya agar dapat menjawab pertanyaan. Namun, tak ada yang dapat diingat. Ia masih tetap diam.

“Coba buka baju!” perintah polisi itu. Laki-laki tersangka itu berdiri. Dengan tidak berpikir panjang, ia lalu membuka baju. Memandang ke arah polisi yang ada di hadapannya.

“Lihat!” kata polisi itu berdiri sambil menunjuk ke arah bekas luka pada perut laki-laki itu. Ia terus memperhatikan reaksi yang akan muncul setelah tersangka melihat bekas luka pada perutnya.

Si tersangka memang menyidik-nyidik  bekas luka pada perutnya, merabanya, mengusap-usapnya. Namun, setelah lebih dari sepuluh menit, si polisi kecewa, sebab tidak memperlihatkan reaksi yang ia harapkan. Laki-laki itu malah memandangnya seolah bertanya, bekas luka apa ini?

“Itu adalah bekas luka yang diakibatkan oleh pisau belati. Nah, apakah Saudara ingat pisau belati itu? Pisau belati yang telah menancap, melukai perut Saudara. Itulah buktinya. Bekas luka memanjang di perutmu!”

Kenyataan yang terjadi pada laki-laki itu seolah-olah telah menjadi sesuatu yang tidak dapat diubah. Meskipun telah mendatangkan psikiater, laki-laki itu tetap tidak mampu membuka tabir penghalang ingatannya. Ia divonis positif mengidap amnesia. Dugaan mengenai kesalahan yang ditujukan kepadanya tidak dapat dibuktikan di pengadilan. Ditambah lagi oleh raibnya barang bukti. Ia dibebaskan. Kasusnya ditutup.
*

Sejak laki-laki itu digiring ke kantor polisi, hati Magdalena selalu mengkhawatirkannya. Khawatir laki-laki itu disiksa karena ia tidak mau mengaku sebab tidak mampu mengingat apapun. Khawatir polisi membuat bukti dan keterangan palsu tentang kesalahannya dalam kepemilikan buku kiri, karena polisi takut disangka tidak mendukung pemerintah dalam menyukseskan Gerakan Anti-Komunis sehingga laki-laki itu diadili dan diputuskan sebagai antek komunis lalu ditahan.

Magdalena semakin cemas. Ia khawatir kalau laki-laki itu hidup terlunta-lunta karena orangtuanya tidak mengetahui keadaannya, ditambah lagi dengan kondisi pikirannya yang lupa ingatan. Keinginannya untuk mencari laki-laki itu pun harus dibatalkan, karena ia takut polisi akan mencurigainya. Tidak hanya itu, bagaimana kalau polisi juga membuntutinya, mengetahui rumahnya, dan mengetahui kalau buku-buku dan belati yang sedang dicari pihak kepolisian, ternyata ada di dalam rumahnya.

Keinginannya untuk lebih jauh mengetahui laki-laki korban kecelakaan mantan pasiennya itu, hanya ada dalam rencana. Semuanya harus ditunda untuk dipikirkan lagi. Menunda bukan berarti pasrah begitu saja, tapi menunda sebagai strategi untuk kembali menyusun rencana. Seperti pelari yang berhenti sejenak untuk menghirup udara dan mengumpulkan tenaga supaya bisa berlari lebih cepat lagi.

Yang pasti dan dapat dilakukan oleh Magdalena saat ini adalah menyusun perkiraan mengenai laki-laki itu dari beberapa cerita yang ditulisnya, serta dari beberapa buku yang dimiliki. Buku yang kini ada pada dirinya. Hanya dengan cara itulah Magdalena mencurahkan kerinduannya pada laki-laki itu. Laki-laki yang bernama Ramadhan Revolusi.
*

Joenoes Soemalang, ayah laki-laki itu telah diketahui identitasnya. Informasi yang didapat dari data pusat kepolisian dan intelijen negara membenarkan adanya pengikut Tan Malaka kemudian menjadi tahanan politik bernama Joenoes Soemalang. Ia adalah tokoh komunis yang pernah beberapa kali dipenjara, termasuk pernah dibuang ke Pulau Buru pada tahun 1969. Tahun 1977, ia dipulangkan dari Buru pada pembebasan gelombang pertama, kemudian ditangkap lagi beberapa bulan kemudian. ***
bersambung...

Bagian Tiga "Pertemuan"

sebelumnya...

Bagian Satu "Laki-laki dan Belati"

Biodata Penulis:

 Asep Pram, lahir di Cianjur, 20 November 1979. Semasa kuliah aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Belajar menulis beberapa genre sastra seperti puisi, cerita pendek, dan novel. Beberapa cerita pendek dan puisinya pernah dipublikasikan di beberapa media massa cetak di Bandung dan di buku antologi bersama.

Novel pertama yang pernah ditulisnya berjudul Yang Melawan (2004), dipublikasikan secara stensilan dan dibahas dalam diskusi mingguan di ASAS. Novel keduanya berjudul Vademikum (2005), dijadikan sebagai mahar pada pernikahannya.

Menyelesaikan studi tentang kebijakan pada Magister Studi Kebijakan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.