Translate

Setumpuk Persoalan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan harus menjadi faktor pendorong bagi kemajuan peradaban menuju masya-rakat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan demokratis.

Dominasi imperialis-me telah tertan-cap dan kian men-dalam di Indone-sia saat ini telah memukul sendi penghidupan rakyat di segala sektor dan golongan, termasuk pendidikan.

Pendidikan dipandang seba-gai salah satu sektor yang dapat mendatangkan keuntung-an yang besar, sehingga dengan cara yang sistematis pendidikan telah diatur sedemikian rupa untuk dapat mendatangkan keuntungan.

Historis pendidikan di negeri ini masih menyisakan kabut gelap bagi rakyatnya. Pendidikan pada setiap masa, hanya dijadikan alat legitimasi penindasan bagi penguasa.

Di era kolonial, pendidikan ditujukan untuk menyediakan infrastruktur bagi kepentingan industri perkebunan dan birok-rasi Belanda serta bersifat dis-kriminatif bagi rakyat.

Demikian juga  kenyataan saat ini yang menunjukkan bahwa Pendidikan di Indonesia tidak mencerminkan upaya mencerdaskan kehidupan rak-yat untuk mewujudkan bangsa yang mandiri, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Pendidikan saat ini tidak lagi dipandang sebagai Hak rakyat yang harus dipe-nuhi dan tangungjawab Negara yang harus dijalankan sebaik dan se adil-adilnya.

Berbagai kebijakan dan gagasan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang kemudian di-patenkan melalui konstiusi untuk melegitimasi perampasan hak rakyat dan meraup keuntungan melalui lapangan pendidikan. sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah mera-tifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Kenyataannya, kebijakan tersebut tidak pernah terbukti mampu membawa pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas hingga dapat men-jamin kelansungan hidup rak-yat yang lebih sejahtera, ke-bijakan tersebut kemudian jus-tru diperkuat lewat kebijakan baru yaitu Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang ditetapkan tangal 16 Desember 2008 kemudian di Undangkan (UU NO. 9 Tahun 2009) pada tanggal 17 Januari 2009. Kebijakan ini justru membawa dampak yang makin buruk bagi rakyat, hilangnya kesempatan bagi anak buruh dan anak tani untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi karena mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik dan orang tuanya.

Disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan justru memberikan legitimasi bagi pemerinah untuk melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan, sebab didalamnya juga mengatur ten-tang batasan pemerintah untuk menalokasikan angaran pendidikan, terutama perguruan tinggi.

Dengan terbatasnya anggaran yang diberikan oleh premerintah bagi lempabaga pendidikan (Dasar, Menangah dan perguruan tinnggi) telah membuka kesempatan bagi lembaga pendidikan untuk makin meme-ras rakyat melalui biaya pendidikan yang tinggi, selain itu untuk bisa terus beroperasi setiap lembaga pendidikan ha-rus mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya dengan berbagai jenis jalur masuk serta kutipan uang masuk yang berbeda-beda jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Untuk mampu menopang operasional dan tetap dapat mendatangkan keuntungan, Le-mbaga-lembaga pendidikan ju-ga membuka ruang investasi secara luas, menjalankan kerjasama-kerjasama baik Nasional maupun Internasional dalam penyesuaian kurikulum dan sistem operasionalnya juga kerjasama disektor jasa, pertambangan hingga pertanian yang mengakibatkan makin me-luasnya perampasan tanah petani.

Mahasiswa atau pesera di-dik juga sering dilibatkan dal-am proses produksi mengelola usaha mandiri lembaga (me-ngolah lahan, Menanam bibit dan merawat tanaman) atau dengan pelibatan dalam pekerjaan lainnya dengan dalih praktikum untuk mengurangi biaya produksi, sementara Mahasiswa yang menjalani proses tersebut tidak sama sekali diberitahukan berapa hasil yang dicapai, didistribusikan kemana dan keuntungannya berapa, situasi demikianpun tidak mam-pu mendorong turunnya biaya pendidikan, justru makin naik setiap tahunnya.

Dalam berbagai kesepakatan perjanjian kerjasama internasional (Multilateral dan Bilateral) yang dilakukan pemerintah Indonesia, kerjasama dibidang pendidikan, sains dan teknologi adalah salah satu prio-ritas utama dalam kesepakatan tersebut.

Hal ini bertujuan untuk memastiakan kampus sebagai Corong budaya Imperialis, sehingga kurikulum dan sistem pendidikan yang akan dijalan-kan harus sesuai dengan kebu-tuhan dan kehendaknya, sebut saja berbagai program yang marak saat ini seperti Kampus entrepreneurship, Pengadaan World Class university, Resear-ce University dan Kelas Inter-nasional yang hanya akan men-jadikan buruh murah, untuk memenuhi industri terbelakang negeri ini.

Kurikulum macam ini selain bertujuan untuk mem-bentuk ketergan-tungan rakyat Indonesia atas teknologi Imper-ialisme juga dijadikan sebagai dalih untuk menetapkan biaya pendidikan yang mahal.

Kenyataan ini terbukti dibeberapa perguruan tinggi yang menerapkan kelas internasional dengan uang pangkal dan uang SPP per semester yang berkali lipat dengan kelas regular, misalnya di UI kelas internasional di buka di fakultas kedokteran (uang pangkal 70 juta dengan biaya per semester 35 juta), fakultas teknik (uang pangkal 25 juta dengan biaya persemester 15 juta) dan fakultas ekonomi (uang pangkal 26 juta dan per semester 45 juta), atau di UNS menetapkan biaya pengembangan institusi hingga Rp 100 juta untuk fakultas kedokteran, dan di UNHAS yang mempunyai jalur nonsubsidi (JNS) dengan biaya rata-rata Rp 20 juta per semester.

Sementara anggaran untuk pendidikan yang diamanatkan dalam Konstitusi yang memuat minimal 20% APBN dan AP-BD, hanya tinggal menjadi Bualan kosong SBY. Pada tahun anggaran 2009, SBY menyebutkan bahwa 20% APBN untuk anggaran pendi-dikan telah dipenuhi namun memasukkan anggaran gaji un-tuk guru dan dosen di dalam-nya.

Untuk 2010 ini, anggaran untuk sektor pendidikan yang diberikan masih dengan pola yg sama, bahkan jika dihitung, anggaran untuk pendidikan murni hanya mencapai 10% dari APBN.

Dengan kondisi pendidikan yang demikian, mustahil dapat diraih oleh anak buruh dan anak kaum tani, rakyat miskin hanya tinggal bermimpi saja untuk bisa merasakan pendi-dikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam program 100 hari SBY-Boediono paska dilantik tanggal 20 November 2009 lalu, terdapat 8 program andalan Mendiknas (M. Nuh) dibidang Pendidikan yang tidak ubahnya seperti kemasan program usang yang telah gagal dengan kemasan yang baru, yaitu: 1). Penyediaan Internet secara massal di sekolah, 2). Penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolah, 3). Besiswa PTN untuk siswa SMA/SMK/MA berprestasi dan kurang mampu, 4). Penyusunan Kebijakan Khusus bagi guru yang bertugas di daerah terdepan dan terpencil, 5). Penyusunan dan Penyempurnaan Renstra 2010-2014, 6). Pengembangan budaya dan karakter bangsa, 7). Pengembangan Metodologi Pembelajaran, 8). Pengembangan Entrepreneurship.

Kenyataannya, Penyediaan internet disekolah-sekolah yang dulu pernah dicanangkan hanya meninggalkan utang tagihan yang belum bisa dilunasi sampai dengan sekarang. Penguatan dan kemampan kepala dan pengawas sekolah, yang melibatkan 30.000 orang dari dua unsure tersebut tidak lebih dari upaya penguatan implementasi manajemen berbasis sekolah.

Beasiswa 105 PTN yang diberikan untuk siswa SMA/SMK/MA berprestasi dan kurang mampu hanya melibatkan 20.000 siswa dengan nominal Rp 5.000.000 per tahun, bandingkan dengan jutaan sis-wa lainnya yang juga tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi sekarang ini, apa-lagi kebijakan pengembangan entrepreneurship yang hanya menguatkan posisi negara untuk lepas tanggung jawab ke-pada rakyatnya atas lapangan pekerjaan.

Rendahnya anggaran pendidikan tanpa diimbangi dengan tingkat pendapatan dan peran serta negara berujung pada mahalnya biaya pendidikan akibat krisis yang terjadi di Indonesia mulai akhir 2008 lalu berbanding lurus dengan rendahnya akses rakyat untuk menikmati pendidikan dan tingginya angka putus Sekolah.

Pada tahun 2003, terdapat 6 juta anak tertelantar, 50.000 anak jalanan di 12 kota provinsi, sedikitnya 1 juta anak putus sekolah setiap tahunnya di Indonesia dan saat ini ada sekitar 2,2 juta anak usia SD yang tidak dapat mengenyam pendidikan dasar, Selain itu terdapat 2,1 juta pekerja anak usia 10-14 tahun yang Sebagian besar adalah anak-anak putus sekolah dan bahkan tidak mengenyam pendidikan, Sebanyak 11,7 juta anak tidak pernah sekolah dan putus sekolah berumur antara 10-14 tahun serta 5,2 juta anak usia sekolah yang tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung.

Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP jauh dari ideal dan hanya terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Jumlah angka drop out (DO) disekolah dan perguruan tinggi mengalami kenaikan. Pada tahun akademik 2007/ 2008 saja sudah mendekati angka 20% dari total mahasiswa yang ada. Kebijakan ujian nasional, yang menuai kontroversi dan kemudian diajukan ke mahkamah agung oleh beberapa guru, ternyata tidak mengubah pendirian pemerintah untuk mengevaluasi dan menggantinya dengan sistem yang lebih adil dan mendidik. Ujian Nasional (UN) yang pada perkembangan telah menyebabkan kasus kecurangan sekolah hingga bunuh diri siswa yang tidak lulus, justru menjadi program 100 hari mendiknas dan tetap dijalankan di tahun 2010 ini.

Kenyataan-kenyatan ini adalah bukti kongkrit terjadinya komersialisai pendidikan di Indonesia. Meskipun tanggal 30 Maret 2010 kemarin Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU-BHP tapi kebija-kan tersebut tidak sama sekali bertujuan untuk menhentikan paraktek komersialisai pendi-dikan di Indonesia.

Dicabutnya UU BHP ini bukanlah semata-mata atas dasar niat baik pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat unt-uk mengenyam pendidikan dan memajukan budaya Masyarakat Indonesia, tapi kebijakan terse-but  selain karena bertentangan dengan konstitusi juga, merupa-kan bagian dari desakan kuat  gerakan massa yang berjuang dengan gigih tiada hentinya menolak dan menuntut pencabu-tan Undang-undang tersebut.

Kemenangan ini harus terus diakumulasikan dan harus mam-pu dijadikan sebagai inspirasi yang mampu mendorong motivasi kita untuk berjuang semakin gigih kedepannya.

Dicabutnya UU tersebut, bukan berarti payung hukum atas komersialisasi pendidikan telah sirna dari tanah air.

Se-gudang peraturan yang mendu-kung usaha dagang pendidikan masihlah bercokol sebut saja UU 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan , PP 60/ 61 1999 tentang Otonomi Kam-pus, berbagai PP yang mene-tapkan PT BHMN, UU No.1 tahun 2004 tentang pemben-daharaan Negara dan PP  No.23 tahun 2005 tentang tata kelola tentang Badan Layanan Umum/ BLU.

Yang menyakitkan lagi paska BHP di batalkan ber-bagai kampus tidak melakukan penyesuaian atas dihapuskanya kebijakan tersebut, melainkan berbagai kampus-kampsu nege-ri melaui rektornya kembali me-minta adanya payung hukum baru selain BHP.

Kita masih ingat, Saat pemerintah menggadai pendi-dikan. Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Rele-vance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011.

Program ini bertujuan un-tuk mewujudkan otonomi per-guruan tinggi, efisiensi dan rele-vansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Sebelumnya Pemerintah melakukan Kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), tentang Hinger Education Project dengan total utang 102,6 million dollar AS mulai tahun 1993 sampai 2001. Bantuan ter-sebut di berikan untuk 6 kampus PTN dan 11 Kampus PTS di Indo-nesia.

Misi dari kerjasama ters-ebut sama persis  dengan prog-ram world Bank yaitu tentang Efisiensi dan relevansi Pergu-ruan Tinggi, kebijakan tersebut sesungguhnya mengukuhkan otonomi terhadap kampus.

Artinya sampai saat ini perjanjian diatas masih ber-langsung, tidak ada sikap resmi pemerintah yang membatalkan berbagai perjajian tersebut. biaya SPP masih terus naik secara agresif, Uang masuk, DPP atau apapun namanya juga tidak ada tanda-tanda untuk diturukan, apalagi akan

dihapus. SBY-Bodiono masih kekeh pada pendirianya untuk men-depak anak-anak buruh, tani dan pegawai rendahan untuk semakin jauh dari bangku kuli-ah, BHP di Cabut Komersiali-sasi pendidikan Jalan Terus!

Biaya Mahal, tak ada Jamin-an Kualitas dan Lapangan Pekerjaan.

Mahalnya biaya pendidikan dan berseminya pembangunan gedung dan fasilitas lain dibe-berapa sekolah dan perguruan tinggi untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya, ter-nyata tidak menjamin pening-katan kualitas pendidikan. tetap saja tingkat pendidikan Indone-sia masih jauh dengan negara-negara lain, bahkan negara di Asia Tenggara sekalipun seperti Vietnam, Malaysia dan Singapura.

Time Higher Education Supplement (THES) adalah lembaga swasta dari Inggris yang memeringkat perguruan tinggi tingkat dunia dengan kriteria jumlah publikasi penelitian atau karya ilmiah yang dihasilkan dosen maupun mahasiswa dan rasio dosen dan mahasiswa. Menurut THES, tahun 2008, Undip, Unair, maupun IPB gagal masuk 500 besar, sementara UI hanya mampu menembus peringkat 287, ITB dan UGM pun hanya menempati peringkat ke-315 dan ke-316, Sedangkan penilaian versi Webometrics yang menilai berdasar tampilan Website dan seberapa banyak orang mengakses web PT yang dinilai, pada 2005, belum satu pun PTN maupun PTS di Indonesia berhasil menembus 1.000 besar. UI baru masuk ke-3.024 pada 2006, 1.966 (2007), 1.998 (2008), dan melejit pada 2009 dengan masuk 1.000 besar bersama dengan ITB dan UGM yaitu dengan peringkat ke-906, dan menurut Shanghai Jiaotong University (SJU), Tiongkok, yang salah satu syaratnya mematok ketentuan universitas yang dosennya, atau paling tidak lulusannya, pernah memenangkan nobel, maka belum satu pun PT di Indonesia yang berhasil menembus versi SJU.

Data konservati saja menunjukkan Angka pengang-guran di Indonesia pada 2010, lebih dari 10% atau lebih dari 23 juta orang termasuk di-dalamnya lulusan sarjana dan diploma, itupun jika target pertumbuhan ekonomi yan sebesar 5,5% tercapai. Yang pasti pertumbuhan ekonomi ter-sebut  tidak akan cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif. angkatan kerja baru pada 2010, mencapai lebih dari 115,680 juta, naik 1,6 persen dari 2009 yang mencapai 113,8 juta orang. Sedangkan untuk pekerja pada 2010 diperkirakan mencapai 106,795 juta jiwa, naik 1,8 persen dibandingkan 2009 yang mencapai 104,870 juta jiwa.

Angka pengangguran dari lulusan perguruan tinggi paling tinggi prosentasenya 52,65 persen tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD ke bawah, karena dunia kerja banyak yang hanya membu-tuhkan skill kerja yang rendah. pengangguran terdidik di Indo-nesia sejumlah 961.000 hingga agustus 2008 itu terbagi atas 598.000 penganggur sarjana dan 362.000 penganggur dipl-oma. Februari 2008 lalu bahkan mencapai 1,146 juta. Perguruan tinggi pada perkembangannya hanya memproduksi pengang-guran terdidik yang tidak terse-rap dalam dunia kerja disebab-kan karena beberapa fakultas mengalami kejenuhan, Artinya kelulusan yang ada setiap tahun tidak sebanding dengan keterse-diaan lapangan pekerjaan.

Artinya jika di hitung kenaikan angkatan kerja 2008 sampai sekarang, termasuk didalamnya sarjana maka kenaikan jumlah pengangguran meningkat dengan pesat.

Keadaan ini kemudian disikapi oleh pemerintah dengan membuka jurusan-juru-san baru yang lebih dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja, dan politeknik-politeknik kemudian merebak di banyak kota, terutama kota-kota kecil, deng-an kerjasama antara pemerintah pusat dengan pemerintah dae-rah,

Hingga tahun 2008, tercatat ada 761 program studi baru di 167 perguruan tinggi, Jauh lebih tinggi dari jumlah program studi yang ditutup pada tahun yang sama, yakni 113 program studi di 64 perguruan tinggi.

Penutupan sejumlah jurusan dan fakultas juga dido-rong karena kekurangan maha-siswa di mana 30 persen dari 191 program studi diploma III, serta 10 persen dari 288 program studi strata satu hanya memiliki mahasiswa kurang dari 30 orang. Disisi lain, 65 persen dari 2.913 PTS di Indonesia terancam dicabut izinnya atau dilikuidasi karena harus menyesuaikan diri deng-an aturan yang ada di dalam UU BHP, baik dari tata kelola maupun dari sistem keuangan dan jumlah mahasiswanya,

Seperti yang sudah terjadi di beberapa akademi di Yogya-karta yang terpaksa tutup karena kekurangan mahasiswa. Kampus-kampus Swasta kecil saat ini juga dipaksa untuk bertarung dengan universitas-universitas negeri yeng memiliki nama besar, PTN-PTN berlomba-lomba menyediakan Variasi menu pendidikan. Jika ada uang bisa meilih semaunya, jika tak ada uang silahkan menjauh dari Kampus.

Mahalnya biaya, kurikulum yang tidak ilmiah dan demokrasi kampus yang dipasung, menyebabkan masa depan pemuda mahaisiswa semakin suram. Disamping itu penyelengaraan pendidikan juga tidak mampu memberikan jaminan bagi pemuda dan mahasiswa untuk bisa menda-patkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studinya di-kampus, kenyataannya tidak jarang kita temukan banyaknya sarjana yang bekerja tapi tidak sesuai dengan bidang studinya, bahkan lebih banyak lagi yang tidak bekerja sama sekali.

Pengekangan kebebasan Mahasiswa untuk berorganisasi dan berekspresi dikampus membuktikan hilangnya ruang Demokrasi dikampus.

Untuk memudahkan berjalannya kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya komersialisai pendidikan dan menjauhkan Mahasiswa atau peserta didik dari kenyataan sosial disekitarnya serta kebijakan lainnya yang ingin diterapkan di Indonesia, Mahasiswa atau peserta didik terus disibukkan dengan berbagai aktivitas akademik seperti praktikum, pembuatan laporan praktikum, pembuatan makalah dan lain sebagainya yang sesungguhnya tidak bisa menjadi fakor penentu mening-katnya kemampuan mahasiswa untuk mengem-bangkan diri secara mandiri, mahasiswa tidak pernah diarah-kan untuk melihat kenyataan-kenyataan sosial yang ada disekitarnya yang sesung-guhnya jauh lebih berpotensi untuk mendorong kreasi dan kesadaran mahasis-wa untuk memecahkan per-soalannya sendiri dan masyara-kat disekitarnya berdasarkan pengalaman dan temuan-temuan yang didapatkan dil-apangan, Hal ini yang sesungguhnya telah memben-tuk karakter individualis yang kental dalam tradisi dan kebudayaan mahasiswa saat ini.

Ditengah carut marutnya dunia pendidikan Indonesia, Mahasiswa yang menjadi pendukung  gerakan rakyat dike-biri haknya untuk berorganisasi sesuai dengan kehendak dan aspirasinya. Dengan dikeluar-kannya SK Dirjend Dikti No. 26 tahun 2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai politik dalam kehidupan kampus, ma-ka organisasi-organisasi maha-siswa kembali masuk dalam dikotomi ekstra dan intra.

Padahal SK ini sama sekali tidak mempunyai landasan hukum yang jelas, bahkan sudah tidak menjadi rahasia lagi ketika Mahasiswa diancam dengan konsekuensi akademis (DO, Nilai Rendah, dll) atau dengan konsekuensi secara fisik, dipukul bahkan diBunuh (M. Ridwan, Mahasiswa IKIP Mataram, Jurusan Kimia Semester VI, tahun 2006) serta bentuk refresifitas lainnya ketika ada mahasiswa yang kritis dalam memandang materi atau gejala soal ketimpangan yang terjadi dikampus atau ketika ada mahasiswa yang menuntut terpenuhinya hak-hak mahasiswa dikampus.

Dampak dari tindakan-tindakan refresif tersebut kemudian mengakibatkan banyak organisasi mahasiswa seperti FMN yang tidak leluasa bergerak di dalam kampus, tidak jarang dari gerakan mahasiswa ini yang mendapatkan kekerasan dan pembubaran paksa ketika beraktifitas di kampus. Seperti yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU), ketika terjadi pembubaran paksa pada aksi Dies Natalies USU, DO dan Skorsing 4 anggota FMN STAIN Pontianak, pemukulan yang dilakukan satpam terhadap massa aksi FMN di kampus Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah ketika melakukan aksi, bahkan tak jarang dilakukan kesepakatan bilateral antara pihak rektor dengan Kepolisian untuk menjaga keamanan dan stabilitas mahasiswa di dalam kampus, misalnya yang terjadi di Universitas Indonesia ataupun Universitas Pancasila.

Kenyataan ini menunjuk-kan bahwa kerasnya pengekang-an terhadap mahasiswa untuk berorganisasi dan berekspresi.

Persoalan dalam dunia pendidikan Indonesia adalah sebuah sistem yang terbentuk dari ciri negara setangah jajahan dan setengah feodal (SJSF). Rejim yang berkuasa adalah rejim yang menjadi cerminan kediktatoran bersama antara Tuan tanah, Kapitalis birokrat dan borjuasi komprador yang menghamba kepada kepentingan imperialis. Kenyataan tersebut kemudian termanifestasikan kepada rejim SBY-Boediono yang sekarang berkuasa.

Persoalan pendidikan tersebut, hanya merupakan satu dari sekian banyak persoalan yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia, namun kesemuanya saling berhubungan satu sama lain yang bermuara kepada busuknya sistem imperialisme yang sekarang mendominasi dunia dan rejim boneka yang ada di Indonesia yaitu SBY-Boediono, Rejim inilah yang memberikan ruang dan menjajakan seluruh kekayaan, pasar dan tenaga produktifnya kepada imperialisme untuk dihisap dan dihancurkan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh mereka bukan untuk menyelesaikan akar persoalan tetapi justru makin memperdalam penindasan yang terjadi, maka rejim inilah yang menjadi persoalan pokok yang harus dihadapi oleh seluruh rakyat, termasuk sektor pemuda dan mahasiswa.

Jadi dengan kenyataan-kenyataan seperti demikian bahwa makin meningkatnya angka putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan akibat maraknya perampasan tanah petani, masih kuatnya sistem upah murah bahkan banyaknya buruh yang telah kehilangan pekerjaan akibat PHK yang terus meningkat, tidak terserapnya lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan akibat tidak sebandingnya angkatan kerja dengan lapangan pekerjaan  yang disediakan, kita tidak bisa mengharapkan biaya kuliah (Pendidikan) yang murah serta pendidikan yang Ilmiah, Demoratis dan, Bervisi kerakyatan selama masih maraknya perampasan tanah petani di pedesaan. ***

bm#3.mei.2010

[gallery]

Mewaspadai Neokolonialisme Pendidikan

Pada awalnya adalah kebuntuan dalam menyelesaikan sejumlah problematika pendidikan. Lalu pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) sebagai instrumen ampuh dalam menyelesaikan itu semua. Legislatif mengamini RUU tersebut dan kemudian disahkan oleh presiden. RUU BHP kemudian menjadi UU BHP pada desember 2008. Kalangan masyarakat tidak menyetujui hal itu.  Gugatan ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan dikabulkan. UU BHP di cabut, karena bertentangan dengan konstitusi.

Ibarat sebuah skenario, maka proses kelahiran UU BHP sampai dengan penolakan UU tersebut jelas merupakan skenario panjang yang cukup menarik. MK sebagai pahlawan yang muncul di akhir berhasil mengakiri cerita dengan begitu baik.

Secara substansial UU BHP lebih banyak berisi mengenai peraturan teknis seperti sumber dana penyelenggaraan pendidikan, manajerial pengelolaan lembaga pendidikan serta masalah teknis lainnya.

Mengenai sumber dana, UU BHP mengatakan bahwa pemerintah yang pada awalnya sebagai penyandang dana utama dalam proses pendidikan bisa dibantu oleh pihak lain (baca : masyarakat).  Sedangkan pada tataran manajerial, UU BHP menghendaki seluruh lembaga pendidikan mengadopsi budaya korporat dalam kesehariannya. Kedua substansi mengenai UU BHP tersebut sejatinya menggambarkan kondisi pendidikan Indonesia yang sebenar-benarnya.

Pada awalnya, alasan melibatkan masyarakat dalam mendanai pendidikan karena negara merasa tidak mampu membiayai biaya pendidikan yang sedemikian besar. Alibi ketidakmampuan tersebut adalah karena anggaran negara lebih banyak dibelanjakan untuk sektor yang lain. Termasuk membayar  bunga utang luar negeri Indonesia yang cukup banyak. Pada akhirnya, ketidakmampuan pemerintah untuk membiayai pendidikan cenderung mengarah pada masuknya investasi-investasi dalam dan luar negeri ke dalam sektor pendidikan.

Sedangkan alasan pengadopsian manajemen korporat ke dalam manajerial lembaga pendidikan, agar kinerja lembaga pendidikan mempunyai kualitas pelayanan yang cukup baik. Dan jika kita mencoba menebak arah skenario pengadopsian manajemen korporat dalam lembaga pendidikan ini adalah lembaga pendidikan tersebut mendapatkan kredibilitas yang cukup bagus. Sehingga akhirnya akan mudah ditebak. Dengan lembaga yang mempunyai kredibilitas tinggi maka investor tidak akan segan untuk masuk. Jadilah investasi akan mengalir dengan deras ke lembaga pendidikan. Pada akhirnya banyak investsi masuk ke lembaga pendidikan dan tentu saja beban pemerintah untuk membiayai lembaga pendidikan akan semakin berkurang. Konsekuensi logisnya lembaga pendidikan kita akan cenderung didominasi oleh pihak-pihak partikelir (baca : swasta)

Membaca skenario tersebut, rasa-rasanya kita harus menyadari bahwa sebenarnya sedang terjadi pergeseran yang cukup dahsyat dalam sistem pendidikan nasional. Diperbolehkanya masyarakat dalam membiayai pendidikan serta pengadopsian manajemen korporat dalam dunia pendidikan merupakan hal yang betul-betul baru di dunia pendidikan kita.

Pertanyaan pentingnya adalah siapa yang kemudian menjadi pendorong kuat dari pergeseran ini? Penulis berpikir bahwa pendorong kuat pergeseran ini tidak lain dan tidak bukan adalah skenario global. Skenario yang dibuat oleh negara-negara maju kepada negara berkembang. Logika dari skenario ini sangat mudah dipahami oleh akal sehat sebenarnya!

Negara maju adalah negara yang notabene mempunyai tingkat teknologi yang sangat maju, selain itu juga mereka mempunyai modal yang juga cukup banyak. Watak dasar seorang pemoda) adalah eksploitasi, akumulatif dan ekpansif, dengan demikian dia akan terus sekuat tenaga menambah uangnya agar terus bertambah, seperti apapun caranya.

Hari ini kita mengetahui bahwa semua sektor indutri produksi barang semuanya sudah terjamah, sedangkan sektor industri yang lain seperti halnya industri jasa belum banyak digeluti oleh pemodal tersebut. Pada akhirnya sektor jasa ini menjadi sektor yang sangat “empuk” bagi para pemodal untuk menanamkan modalnya.

Skenario ini menjadi kenyataan ketika tahun 2004, Indonesia menandatangani salah satu perjanjian dalam General Agrement on Trade and Service (GATSS). GATSS merupakan salah satu bagian penting da-lam WTO. Secara sederhana, isi dari perjanjian tersebut ada-lah memasukan pendidikan menjadi sektor jasa. Sebagai catatan saja, munculnya WTO merupakan salah satu konsekuensi logis dari arus globalisasi yang semakin kuat yang di pimpin oleh negara-negara maju.

Dalam konteks skenario ini, munculnya UU BHP menjadi terang adanya. Hal ini adalah sebuah upaya memoderasi pendidikan Indonesia menjadi komoditas dan kenyataannya hari ini arus globalisasi semakin menguat. Ke depan bisa dipastikan upaya-upaya lain untuk memoderasi pendidikan menjadi sektor komoditas akan selalu muncul. Bisa jadi akan semakin menguat! Pertanyaan pentingnya adalah dengan strategi dan taktik apa, sistem pendidikan Indonesia bisa dilindungi dari arus globalisasi yang semakin kuat tersebut?

Penulis berpikiran bahwa jawaban dari hal ini tidaklah tunggal. Akan tetapai besar kemungkinan akan sangat beragam. Jawaban dari hal ini akan sangat beragam karena akan sangat ditentukan oleh cara pandang masih-masing pihak yang tentu saja mempunyai pandangan philosofis, serta visi dan misinya masing-masing.

Mungkin  lebih epektif jika strategi dan taktik tersebut cukup saja dibagi ke dalam dua bagian. Pertama adalah strategi dan taktik dalam jangka pendek. Kedua, adalah strategi dan taktik dalam jangka panjang.  Strategi dalam jangka pendek berkaitan dengan upaya-upaya untuk menolak masuknya prinsip-prinsip manajemen korporat ke dalam sebuah lembaga pendidikan. Kenapa prinsip-prinisp korporat “ terlarang” untuk diterapkan ke dalam manajemen lembaga pendidikan, tidak lain dan tidak bukan karena lembaga pendidikan bukanlah lembaga yang bertujuan untuk mencari laba. Lembaga pendidikan adalah lembaga sosial yang mempunyai aturan, prinsip serta nilai-nilai sendiri yang tidak mungkin diganti oleh yang lain.

Sedangkan strategi jangka panjang berkaitan dengan upaya membentengi masuknya paradigma-paradigma globalisasi ke dalam sektor pendidikan. Kenapa paradigma-paradigma global harus ditolak masuk ke dalam sektor pendidikan Indonesia, karena pada faktanya kita melihat bahwa paradigma globalisasi menghendaki pendidikan dijadikan sebagai komoditas. Jelas hal ini akan sangat kontradiktif dengan paradigma pendidikan yang selama ini kita anut. Pendidikan itu adalah untuk mencerdaskan segala bangsa. Bagaimana mau cerdas kalau pendidikan sudah diperjualbelikan? Bisa dipastikan yang akan cerdas hanyalah orang yang mampu “membeli” pendidikan tersebut.

Pada akhirnya, berhasil atau tidaknya penolakan atas skenario global tersebut adalah sebuah keniscayaan sejarah, karena pada faktanya kita melihat bahwa arus global sudah berkembang menjadi arus yang cukup deras, bahkan hampir memasuki seluruh denyut nadi kehidupan. Oleh karena itu, satu-satunya yang mutlak dan pasti bisa dilakukan adalah berproses. Tepatnya berjuang sekuat tenaga menolak skenario global tersebut. Tidak ada pilihan lain yang lebih baik. ***

Oleh Aang Kusmawan, bergiat di Sarekat Guru Muda (SGM) Bandung

bm#3.Mei.2010

[gallery]

Indonesia; Kaya Alamnya, Miskin Rakyatnya

Bagi rakyat Indonesia, krisis yang terjadi tentu akan memberikan pukulan telak pada seluruh sendi kehidupan. Selain angka PHK yang sangat tinggi, krisis juga akan berdampak terhadap nasib jutaan kaum tani di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari masih dijadikannya sector agraria dan energy sebagai penopang ekonomi andalan pemerintah. Akibatnya terjadi perampasan tanah dalam skala besar yang begitu massif dilakukan terutama disektor perkebunan dan pertambangan besar.

Persoalan yang sedang dihadapi sektor buruh hari ini tentu tidak terlepas dari segala persoalan yang sedang dihadapi oleh sekotor rakyat lainnya seperti tani, pemuda dan mahasiswa, kaum miskin kota dan perempuan.

Penindasan yang dilakukan oleh imperialism AS yang bertopang pada system feudal yang telah mengakar sejak STP di masa colonial Belanda, dan kapitalis birokrasi, telah merampas hak-hak demokratis rakyat Indonesia, bahkan sampai pada titik nadir di mana peredaran uang hanya deras di kalangan kelas birokrasi komprador dan kapitalis birokrasi.

Laju pertumbuhan ekonomi versi BPS telas mengilusi perekonimian rakyat Indonesia. Karena pada kenyataannya rakyat Indonesia dihantui kemiskinan yang tersistematis. Kekayaan alam perlahan dan pasti kian dirampas dari tangan rakyat, dan penghancuran tenaga produktif terus-menerus digalakan lewat pendidikan yang kian mahal, akses kesehatan kian terbatas dan ancaman pengangguran yang menakutkan. Kondisi seperti ini dilahirkan dengan begitu mudah melalui kebijakan-kebijakan birokrasi yang selalu menggembargemborkan amanah rakyat.

Belum lagi persoalan krisis yang sedang bercokol di jantung imperialis. Kondisi tersebut secara jelas akan menambah kadar penghisapan bagi rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan internasional serta mencekik secara nyata dan seolah tak bisa terbendung. Maka dalam semangat mayday dan hardiknas, kita, gerakan massa buruh, tani, pemuda-mahasiswa, miskin kota dan perempuan mesti segera salaing merangkulkan semangat perlawanan atas kondisi yang ada dengan serangkaian agenda taktis yang berpacu pada agenda strategis nasional yakni pembebasan nasional dan penindasan Iperialisme, Feodalisme dan capital birokrasi yang jelas-jelas tak tersentuh oleh gelora reformasi.



Sekilas tentang Sejarah Mayday

Dalam sejarahnya 1 Mei lahir saat kaum buruh dari seluruh dunia memperingati peristiwa besar demonstrasi kaum buruh di Amerika Serikat pada tahun 1886, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja. Tuntutan ini terkait dengan kondisi saat itu, ketika kaum buruh dipaksa bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari. Demonstrasi besar yang berlangsung sejak April 1886 pada awalnya dilancarkan oleh sekitar 250 ribu buruh.

Dalam jangka waktu dua minggu, aksi tersebut membesar menjadi sekitar 350 ribu buruh. Kota Chicago adalah jantung gerakan diikuti oleh sekitar 90 ribu buruh. Di New York, demonstrasi yang sama di-ikuti oleh sekitar 10 ribu buruh, di Detroit diikuti 11 ribu buruh. Demonstrasi pun

menjalar ke berbagai kota seperti Louisville dan di Baltimore demonstrasi mempersatukan buruh berkulit putih dan hitam. Sampai pada tanggal 1 Mei 1886, demonstrasi yang menjalar dari Maine ke Texas, dan dari New Jersey ke Alabama diikuti oleh setengah juta buruh di negeri tersebut.

Perkembangan ini memancing reaksi yang juga besar dari kalangan pengusaha dan pejabat pemerintahan setempat saat itu. Melalui Chicago’s Commercial Club, dikeluarkan dana sekitar US$ 2.000 untuk membeli peralatan senjata mesin guna menghadapi demonstrasi. Demonstrasi damai menuntut pengurangan jam kerja itu pun berakhir dengan korban dan kerusuhan. Sekitar 180 ribu polisi menghadang demonstrasi dan memerintah-kan agar demonstran membubarkan diri.

Polisi pun membabi-buta menembaki buruh yang berdemonstrasi. Akibatnya korban pun jatuh dari pihak buruh pada tanggal 3 Mei 1886, empat orang buruh tewas dan puluhan lainnya terluka. Dengan tuduhan terlibat dalam pemboman delapan orang aktivis buruh ditangkap dan dipenjarakan. Akibat dari tindakan ini, polisi menerapkan pelarangan terhadap setiap demonstrasi buruh. Namun kaum buruh tidak begitu saja menyerah dan pada tahun 1888 kembali melakukan aksi dengan tuntutan yang sama. Selain itu, juga memutuskan untuk kembali melakukan demonstrasi pada 1 Mei 1890.

Rangkaian demonstrasi yang terjadi pada saat itu, tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. demonstrasi menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam perhari tersebut sebenarnya diinsipirasikan oleh demonstrasi serupa yang terjadi sebelumnya di Australia pada tahun 1856. Tuntutan pengurangan jam kerja juga singgah di Eropa. Saat itu, gerakan buruh di Eropa tengah menguat. Tentu saja, bara perjuangan tersebut semakin mengentalkan kesatuan dalam gerakan buruh se-dunia dalam satu perjuangan.

Peristiwa monumental yang menjadi puncak dari persatuan gerakan buruh dunia adalah penyelenggaraan Kongres Buruh Internasional tahun 1889. Kongres yang dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negeri dan memutuskan delapan jam kerja per hari menjadi tuntutan utama kaum buruh seluruh dunia. Selain itu, Kongres juga menyambut usulan delegasi buruh dari Amerika Serikat yang menyerukan pemogokan umum 1 Mei 1890 guna menuntut pengurangan jam kerja dengan menjadikan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh se-Dunia.

Delapan jam/hari atau 40 jam/minggu (lima hari kerja) telah ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh ILO melalui Konvensi ILO no. 01 tahun 1919 dan Konvensi no. 47 tahun 1935. Khususnya untuk konvensi no. 47 tahun 1935, sampai saat ini, baru 14 negara yang menandatangani konvensi tersebut. Ditetap-kannya konvensi tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari

perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubung-an industrial perburuhan adalah penanda berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik hubungan industrial.

Masalahnya saat ini, semakin banyak buruh yang terpaksa bekerja lebih dari 8 jam perhari. Hal ini disebabkan oleh mem-buruknya krisis imperialisme yang mene-kan upah dan mempertinggi biaya kebutuh-an pokok untuk kehidupan. Di Indonesia sendiri, perayaan May Day sebagai hari libur telah secara resmi dihapuskan melalui terbitnya UU nomor 13 tahun 2003. Secara tidak langsung, kemenangan buruh dalam gerakan 1 Mei mengalami kemerosotan tajam. Makin lama makin menghilang.



Sekilas tentang Krisis umum Imperialisme

Kaum buruh adalah status sosial yang diciptakan pada kondisi ketika masyarakat dibagi ke dalam dua kutub besar berdasar pada kepemilikan atas modal sebagai alat produksi. Kaum yang bermilik menjadi pi-hak yang mendominasi dari kaum yang tidak bermilik. Dominasi ini dibangun da-lam susunan sosial di mana kaum yang tidak bermilik menjadi buruh yang terpaksa menjual tenaganya untuk memperoleh upah guna menyambung penghidupan dan mem-pertahankan kelangsungan umat manusia.

Namun pekerjaan mempertahankan hidup dan kemanusiaan diancam oleh ada-nya kepemilikan individual atas alat dan hasil-hasil produksi. Butir-butir keringat dan tenaga yang diperas setiap hari, tidak memberikan imbalan yang memadai bagi mereka yang bekerja. Keuntungan dan kekayaan memusat pada segelintir orang, kemiskinan menyebar luas di berbagai ruang sosial, pada saat modal berputar dengan sangat cepat.

Saat ini, perkembangan perputaran modal yang anarkis sudah menembus batas-batas sosial kebangsaan. Hampir tidak ada satu wilayah pun yang terbebas dari peng-hisapan modal yang ekspansionis. Mayor-itas umat manusia dari berbagai bangsa dipaksa tunduk dalam bentuk perbudakan modern. Di balik tembok-tembok pabrik, kebun-kebun besar, sawah-sawah dan ladang-ladang, jalan-jalan raya, sampai pelosok kam-pu-ng-kam-pung miskin di pe-de-saan, ke-kua-saan modal merang-sek dan meru-sak sendi-sendi kehidupan sosial, mencipta-kan kontradiksi yg semakin tinggi. Ini ada-lah era imperial-isme. Era ketika segelintir kapitalis peme-gang monopoli memegang kendali atas me-sin penjajahan yang jauh lebih mutakhir.

Suatu bentuk penjajahan paling akhir, yang akan mempersatukan umat manusia dalam perjuangan bersama melawan penindasan modal atas kemanusiaan.

Imperialisme adalah sistem yg berdomi-nasi dalam kancah ekonomi, politik, dan budaya di seluruh penjuru dunia. Imperialis-me adalah tahapan tertinggi, terbusuk, dan terburuk dalam sejarah perkembang-an kapitalisme.

Imperialisme tidak bisa meng-hindari krisis. Kri-sis adalah se-suatu yang pas-ti dalam tubuh imperialisme se-bagai akibat dari ada-nya kontra-diksi dasar da-lam tubuh kapi-talisme monopo-li antara karak-ter sosial pro-duksi dan kepe-milikan individual atas kapital dan keuntungan.

Sebagai biang dari segala krisis, maka imperialisme merupakan penyebab dari se-kian banyak kontradiksi yang di-alami rakyat di seluruh dunia. Dominasi imperialisme, di bawah kepemimpinan im-perialisme Amerika Serikat, telah mende-katkan kapitalisme pada kematian.

Kapitalisme monopoli inilah yg men-jadi fondasi ekonomi negeri-negeri impe-rialis. Situasi ini mengakibatkan kesenjan-gan pendapatan luar biasa antara negara-negara imperialis dengan negara-negara jajahan dan setengah-jajahan. Tidak heran bila saat ini, Penjarahan atas bahan mentah, tenaga produktif dan pasar berlansung secara agresif dan barbar di seantero muka bumi ini.

Sekilas tentang imbas krisis terhadap penghidupan rakyat

Bagi rakyat Indonesia, krisis yang terjadi tentu akan memberikan pukulan telak pada seluruh sendi kehidupan. Selain angka PHK yang sangat tinggi, krisis juga akan berdampak terhadap nasib jutaan kaum tani di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari masih dijadikannya sector agraria dan energy se-bagai penopang ekonomi andalan pemerintah. Akibatnya terjadi perampasan tanah dalam skala besar yang begitu massif dilakukan terutama disektor perkebunan dan pertambangan besar.

Pada awal tahun 2009, jumlah angka PHK yang dirilis oleh Kadin mencapai angka lebih dari 500,000 orang, jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan angka yang dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya 24,700 orang pekerja. Bahkan Kadin memperkirakan angka ini akan bergerak hingga 1,6 juta pekerja sampai akhir tahun 2009. Seharusnya ini menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia, mengingat akan semakin memperbesar jumlah pengangguran di Indonesia. Jika pada tahun 2008 saja jumlah angka pengangguran mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39% dari total angkatan kerja, maka bisa diperkirakan angka ini akan melonjak akibat PHK massal yang terjadi ditahun ini.

Krisis yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan rakyat khususnya kaum buruh tidak mendapatkan kepastian kerja, upah dan jaminan hidup layak yang menjadi hak dasarnya. Rapuhnya industry di Indonesia menyebabkan kebangkrutan, PHK massal, pemotongan upah serta penambahan jam kerja yang panjang bagi buruh. Terhitung sejak Maret 2008 sampai Maret 2009, tercatat 240,000 orang buruh harus terkena PHK. Parahnya, PHK ini terjadi disektor-sektor usaha yang penting dan padat karya, seperti; tekstil dan garmen 100,000 orang, sepatu 14,000 orang, mobil dan komponen 40,000 orang, konstruksi 30,000 orang, kelapa sawit 50,000 orang dan pulp and paper 3,500 orang.

Angka pertumbuhan ekonomi yang bergerak diangka 4,3 persen pada tahun 2009 tentu tidak akan pernah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembukaan lapangan pekerjaan baru di Indonesia. Sebaliknya, laju inflasi yang selalu diatas angka 6 persen akan memberikan implikasi nyata terhadap perampasan upah buruh dan kaum pekerja lainnya. Penetapan kenaikan upah buruh oleh pemerintah yang dilakukan setiap tahunnya juga tanpa pernah mau memperhatikan laju inflasi ini. Sehingga dari hari ke hari, kaum buruh semakin terancam tidak akan dapat hidup dengan layak, kehilangan hak dasarnya untuk memperoleh kesejahteraan yang seharusnya dijamin oleh negara.

Krisis kronis juga telah  melemparkan kurang lebih 9,7 warga negara Indonesia masih dalam buta aksara. Ini menjadi per-tanda nyata bahwa pemerintah tidak mewa-kili kehendak rakyat dalam mengurus pendi-dikan. Anggaran pendidikan yang sangat kecil menjadi salah satu factor yang menyebabkan pendidikan di Indonesia tertinggal beberapa langkah jika diban-dingkan dengan negara-negara lain di Asia.

Tentu saja, pemerintah punya andil besar dalam kesalahan mengurus sector pendidikan sebagai salah satu hak dasar warga negara. Fakta ini jelas terlihat jika kita melihat kinerja pemerintahan yang berkuasa pada periode sebelumnya. Meskipun UUD 1945 telah mengamanatkan anggaran pendidikan 20% dari total APBN, namun rejim SBY tidak pernah mau berusaha mewujudkannya sesuai mandat konstitusi. Angka 20% yang menjadi klaim pemerintahan SBY-Budiono ternyata masih digabungkan dengan gaji guru dan dosen. Kebijakan yang lebih bernuansa politis mengingat tahun tersebut adalah momentum menjelang Pemilu 2009 dimana SBY menyatakan siap untuk kem-bali tampil memimpin Indonesia, sedang-kan disisi lain angka 20% ini pada kenya-taannya juga tidak pernah terealisasi sebagaimana mestinya. Faktanya pendi-dikan gratis untuk sekolah dasar hanya bualan kosong semata, sementara rakyat masih terus membayar mahal biaya kuliah yang terus mengalami kenaikan.

Di sector kesehatan, pemerintah secara nyata tidak peduli dengan nasib kesehatan rakyatnya. Dari APBN 2009 yang angka-nya mencapai lebih dari 1,000 trilliun, sector kesehatan hanya mendapatkan jatah sekitar 2,8 persen. Angka ini jauh dari standar yang ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia yang seharusnya mencapai angka 15 persen. Rakyat  tentu yang paling merasakan dampak riil dari kebijakan ini. Pelayanan kesehatan dapat dipastikan tidak akan sanggup dijalankan secara maksimal mengingat anggaran yang begitu terbatas.

Akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sema-kin menjauh. Meskipun pemerintah coba menerbitkan pelayanan kesehatan gratis ba-gi masyarakat yang kurang mampu, namun dalam kenyataan dilapangan sering kita mendengar dan melihat secara langsung rakyat masih ditolak oleh pihak rumah sakit karena dianggap tidak mampu mem-bayar jaminan ataupun biaya perawatan yang telah ditetapkan rumah sakit. Yang lebih menyakitkan lagi, pemerintah sedang berusaha untuk melakukan Privatisasi dan liberalisasi sektor kesehatan.

Bm#2.April.2010

[gallery]

Ketika Pendidikan Menjadi Pilihan

jika untuk mengawali tulisan ini, saya ajukan dua pilihan pada anda maka anda akan memilih yang mana: sekolah untuk mendapat pekerjaan atau bekerja agar mampu sekolah? Silahkan jawab dalam hati dan mari kita lihat fenomenanya.

Jakob Sumadjo pernah menulis artikel di harian Kompas, Judulnya kurang lebih “Negara Miring”, ia menyatakan bahwa “segala suatu hal yang berasal dari luar, ketika menyentuh tanah Indonesia posisinya akan miring. Tidak ajeg. Tidak seperti aslinya”. Coba kita cek ulang pernyataan itu pada kondisi pendidikan.

Seperti yang kita tahu, kata sekolah diserap dari istilah Yunani awalnya disebut “scolae” pada masa Plato yang artinya “waktu luang”. Jadi pada jaman Plato sekolah adalah aktivitas masyarakat untuk mengisi waktu luang. Di situlah proses pendidikan berlangsung. Tanpa ketentuan khusus mengenai ruang dan waktu.

Tapi kita lihat praktek pendidikan di Indonesia, jika seseorang menerima transformasi pengetahuan di luar ruangan dengan waktu yang telah ditentukan dan dilembagakan yang kemudian dinamai “sekolah”, maka ia tak berhak untuk mendapat tanda pengesahan atau pengakuan public bahwa ia telah berpendidikan.

Bahkan saking istimewahnya, dibedakanlah seseorang yang mampu memenuhi segala ketentuan untuk masuk ke sebuah sekolahan dengan istilah-istilah yang mengarah pada pengidentitasan, yakni; siswa, kartu dengan nomor induk, seragam dll. Kemudian mereka yang tidak disebut siswa, tidak punya kartu identitas dan nomor induk, serta tak memakai seragam sekolah, tak akan berhak untuk turut mendapatkan pendidikan di sebuah sekolah. Dari sinilah jurang pembeda atara orang yang berpendidikan dengan yang tidak terbuka lebar dan dalam. Lembaga pendidikan mulai memilah yang kemudian rakyat musti memilih: sekolah atau tidak.

Apa gunanya pendidikan?

Telah sekian kali berganti kurikulum, tetap saja kita tak mampu membuat satu pun industry dasar dalam negeri yang mampu memanfaatkan kekayaan alam ini untuk kesejahtraan rakyat—kalau pun kita punya institute tekhnologi yang diorientasikan untuk mengembangkan industry nasional, kenapa juga Freepot, Newmont masih mengekploitasi emas di negeri ini? Juga Exonmobil, … dll masih mengakar di negeri ini. Kenapa barang elektronik dan otomotif masih impor, Tak mampukah pendidikan kita membuat mesin pembuat mesin? Coba tanyakan lagi pada siapa pun, kenapa hasil perkebunan kita hanya berorientasi ekspor bahan mentah? Semntara apa yang didapat oleh para buruh kebunya selain kemiskinan yang turun temurun? Lantas apa fungsi sekolah dibangun di tengah perkebunan?

Ah, kian sensi saya dibuat oleh pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sementara secara umum di negeri ini, fenomena komersialisasi pendidikan kian edan-edanan—sekolah negeri atau swasta sama saja. Mahal. Diskriminasi antara Si Mampu dan Si Tidak Mampu tak terelakkan.

Dan sama sekali tak ada jaminan lapangan pekerjaan yang membutuhkan disiplin ilmu yang dipelajari selama bertahun-tahun di sekolah. Pun perguruan tinggi.

Maka kawan-kawan tak perlu heran jika ada iklan “sarjana ojeg”, inilah bentuk nyata penghancuran tenaga produktif. Pengangguran melimpah, ada pun lapangan pekerjaan, sangat terbatas dengan upah yang tak layak.

Lalu apakah program “pendidikan kewirausahaan sejak dini” akan mampu membangkitkan industry nasional dan menyaingi banjir bandang modal asing atau luapan produk Cina akibat pemberlakuan ACFTA?

Hari ini, pendidikan formal kita tak memiliki fungsi yang jelas: untuk mengolah ilmu pengetahuan atau membangun lapangan pekerjaan. Terlebih kurikulumnya tak mampu menjawab kebutuhan intelektual atas kekayaan alam, pendidikan lembaga pendidikan pun takmampu member jaminan lapangan pekerjaan. Pantaslah ketika digratiskan pun akan lebih banyak memilih mencari pekerjaan setelah lulus smp atau sma dan yang setingkat. Pikiran awam pun telah menilai, toh berpendidikan tinggi dan mahal pun ujung-ujungnya menganggur atau berprofesi tak jauh dengan lulusan smp-sma dan yang setara. Pendidikan formal telah menjadi formalitas belaka! Inilah negara yang “miring”. Edan!

-am

bm#3.mei.2010

[gallery]

Apakah ACFTA Persoalan?

Berikut adalah komentar aktivis massa Buruh yang telah berkutat sekian lama dalam dunia gerakan, ketika redaksi Bandung Melawan meminta tulisan mengenai ACFTA. Atas kegelisahannya, saya pikir tulisan ini perlu untuk kita renungkan bersama.

Bung....
Sebenarnya saya males mendiskusikan ACFTA – tentu konteks pembicaraan ini karena kita kumpul dengan kelompok aktivis gerakan perubahan. Mengapa? Problem yang kita hadapi sebenarnya bukan pada ACFTA-nya.

Tapi menurutku (itu kalau kita mau berkaca dengan sejarah) kondisi carut marutnya negara kita ini (kita bisa muak, pilu, marah....dst) akibat dari selalu terputusnya perjuangan rakyat oleh kepentingan-kepen-tingan pribadi atau kelompok.
Lihat saja, aktivis angkatan 66, dalam perjalanannya kemudian menjadi penindas dan menjadi antek kaum kapitalis, aktivis malari akhirnya jadi selebritis di LSM, aktivis 98 hampir ga ada bekasnya.

Kalau melihat dari sisi itu, menurutku menjadi lebih pas dalam upaya melakukan perubahan jikalau yang selalu kita bahas dan hakimi adalah kelemahan-kelemahan kelompok gerakan ini. Sehingga ke depan kita bisa merangkai berbagai elemen gerakan dalam satu garis sejarah gerakan.

Coba Bung lihat…

Ada masalah apa sehingga gerakan di Indonesia ini selalu terputus dari gerakan sebelumnya ? Sementara itu kaum penindas selalu meng up grade diri mereka dengan berbagai kapasitas diri agar mereka mampu meng- hegemoni, merepresi dan mendominasi rakyat.

Bung, …

Saya pernah diskusi dengan temen-teman lamaku (beberapa orang dari mereka telah meninggal – ada yang dibunuh, ada yang digerogoti kanker, dll, ada juga yang hilang), di antara yang saya ingat adalah bahwa pada gerakan rakyat yang dibangun, ternyata belum ada kelompok/orang yang cukup mampu merangkai berbagai elemen gerakan itu sendiri sehingga gerakannya sinergi dan berkelanjutan. Tetapi masing-masing kelompok lebih suka mengedepankan perbedaan-perbedaan kecil, kemudian berkembang menjadi jarak yang semakin melebar dan tidak jarang menjadi konflik.

Bung, …

Kalau terus demikian, gerakan ini, kapan bisa menguasai? Tentu menguasai dengan maksud membuat peradaban ini lebih adil dan makmur, menghargai harkat dan martabat setiap manusia, dsb-dsb. Kita selalu berbicara demokrasi, tapi kita mungkin di internal masing-masing belum mampu berdemokrasi. Maka kita saksikan perpecahan-perpecahan dalam kelompok. Itu semua menurutku karena kelompok-kelompok gerakan tersebut tidak memiliki pemimpin yang handal. Bagaimana kalau rezim yang ada tumbang? Kita butuh pemimpin yang dipercaya oleh semua, dan mampu memimpin semua. Gerakan harus siap untuk itu. Jangan seperti 98, rezim tumbang, ternyata kelompok gerakan tidak bisa ambil alih.

Bung, …

Punten untuk semua tadi. Karena saya melihat – tentu dengan kejumudan saya – ini semua masa lalu gerakan dan kita bagian di dalamnya. Maka saya berkeyakinan bahwa kita bisa lakukan ke depan dengan lebih baik.

from: uing_sm@yahoo.co.id

to: bandung.melawan@gmail.com

bm#2.April.2010[gallery]

APA KABAR GERAKAN BURUH?

Tinggal menunggu hari menjelang May Day (Hari Buruh Internasional) 2010. Momentum yang jatuh setiap tanggal 1 Mei tersebut, dalam beberapa tahun terakhir kembali populer di kalangan publik tanah air—terutama pascalengsernya rezim Orde Baru, yang sempat melarang peringatan ini akibat sindrom communisto-phoby yang dideritanya. Kekinian, gelombang protes anti-ketidakadilan yang dilakukan buruh—juga rakyat tertindas lainnya—terus mewarnai peringatan May Day. Mereka berbaris, berarak, dan meneriakan aspirasinya di halaman-halaman gedung pemerintahan. Sejumlah tuntutan yang mengemuka adalah penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing, pemenuhan upah layak, serta kebebasan berserikat.

Berbicara gerakan  buruh di tanah air, teks-teks sejarah sedikit-banyak akan menautkannya pada peristiwa kelam Tragedi ’65. Pascahuru-hara politik yang berujung pada tewasnya sejumlah jendral, buruh kemudian diasosiasikan sebagai ‘setan’ komunis; sementara komunisme adalah ajaran haram yang harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Walhasil, banyak buruh yang saat itu vokal menyerukan perubahan menjadi bagian dari tiga juta (menurut Sarwo Edie Wibowo) korban penghapusan sejarah komunisme di Indonesia yang dikomandani oleh Jendral Soeharto.

Naiknya Soeharto sebagai kepala negara melalui satu fase paling berdarah sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, yaitu tragedi ’65, yang kemudian oleh rezim Orde Baru diistilahkan “Penghiantan G 30 S/PKI”. Puluhan ribu nyawa rakyat Indonesia lenyap, karena dianggap terkait dengan PKI dan tragedi ’65. Padahal, sejarah kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terbunuhnya sejumlah petinggi militer hingga kini masih simpang siur kebenarannya.

Selama tiga puluh dua tahun riwayat Soeharto membangun dinasti Orde Baru-nya, di samping dalam persoalan politik, hak-hak sosial-ekonomi buruh juga dikebiri melalui berbagai cara, dari mulai penerbitan peraturan yang tidak berpihak hingga tindakan represi secara langsung. Setiap upaya yang dijalani buruh untuk merebut haknya selalau dihadapi dengan teror, pemenjaraan, hingga penculikan dan pembunuhan. Sejatinya,

Sejak saat itulah, gerakan buruh dan gerakan rakyat tertindas lainnya yang menuntut pemenuhan hak pada pemerintah, selalu dikaitkan dengan PKI dan komunisme. Setiap aksi buruh yang berani mengekspresikan ketertindasannya dan mengungkapkan tuntutannya, selalu disudutkan dengan tuduhan sebagai (orang) PKI atau Komunis.

Padahal, dibedah dengan teori apapun, adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, buruh yang digaji rendah dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari akan menuntut kompensasi yang sebanding atas tenaga dan pikiran yang telah mereka curahkan dalam proses produksi. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat para petani yang sudah turun-temurun menggarap sawah dan ladang mereka, marah dan melawan, saat mereka hendak digusur dari tanahnya atas nama “sertifikat” yang dimiliki perusahaan perkebunan swasta, perusahaan agraria milik negara, ataupun instansi militer. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat mahasiswa yang mempunyai kapasitas berpikir dan energi yang lebih, menuntut haknya atas pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, serta bergabung dengan elemen-elemen rakyat lainnnya, termasuk buruh, untuk bersama-sama berjuang menghancurkan sistem yang menjadi biang atas segala ketidakadilan yang terjadi.

Di zaman Orde Baru, semua aktivitas kristis tersebut selalu divonis dengan tuduhan “subversif” atau “makar”. Padahal, menurut opini-opini kritis yang berkembang, sikap diktator Soeharto tidak terlepas dari mandat para oligarki yang menguasai dunia, yaitu kaum Kapitalis yang saat ini memegang kendali atas negeri-negeri industrial-adikuasa, salah satunya Amerika (serikat).

Kebijakan paling krusial di awal pemerintahan Soeharto, yaitu Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang terbit pada tahun 1967, bisa menjadi salah satu dasar ilmiah untuk mengamini premis di atas. Inilah tonggak awal hadirnya fase penjajahan jilid dua, yaitu penjajahan dengan kekuatan ekonomi, yang berlangsung hingga hari ini. Dengan ini, Indonesia praktis menjadi bulan-bulanan para pemodal yang berkepentingan dengan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah-melimpah, serta pasar yang luas. Alhasil, buah dari semangat “dengan modal sekecil-kecilnya; harus untung sebesar-besarnya”, buruh di tanah air menjadi korban eksploitasi nafsu serakah para Kapitalis.

Dengan segala cara, kaum Kapitalis mengamankan hegemoni kekuasaannya. Di banyak negeri di dunia, ia mendirikan pemerintahan “boneka”, yang harus selalu siap menjalankan semua titahnya. Hal ini terbaca dari upaya pemerintah kita membatasi berkembangnya gerakan buruh, yang secra teoritik dan empiris merupakan musuh utama dari sistem kapitalis, dan mengancam eksistensi mereka.

Inilah dasar mengapa gerakan buruh selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah “boneka”, dan terus berupaya dilemahkan. Pada zamannya, Orde Baru mengukuhkan stigma bahwa gerakan buruh merupakan gerakan komunis, sehingga tidak boleh dibiarkan. Untuk mendukung usaha ini, direkalah segudang sejarah “palsu” demi membangun citra betapa “nazis”-nya faham dan orang-orang komunis.

Kekinian, sejarah “palsu” tersebut mulai terkuak. Opini kesejarahan yang lebih faktual mulai ramai diwacanakan, sebut saja prihal dalang di balik tragedi ’65, kontroversi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), hinga seknario penculikan dan tewasnya para petinggi militer.

Namun sayangnya, temuan-temuan ini tidak pernah sepenuh hati disambut oleh pemerintah. Ini sangat beralasan, sebab, jika sejarah “palsu” tersebut terklarivikasi dan semuanya menjadi terang, tidak ada lagi senjata pemerintah “boneka” dan para pemodal untuk menghalau musuh-musuhnya, terutama gerakan buruh.

Sampai kapanpun, sejarah palsu tersebut niscaya akan tetap dilestarikan. Keuntungan utama yang dituai oleh pemerintah “boneka” dan para pemodal adalah terpendamnya sentimen sesama rakyat, yang suatu saat bisa diledakan guna mengadu-domba, dalam rangka mengamankan kepentingan dan dominasinya. Dari sini kita bisa membayangkan bagaimana akan terjal dan penuh keloknya perjuangan yang harus ditempuh oleh buruh dalam menghancurkan sistem yang menjadi biang ketertindasan mereka, dan merebut kemerdekaan atas hak-haknya. Untuk itu, buruh serta elemen tertindas lainnya harus lebih solid dan berjuang lebih keras.***

Oleh Andi Nurroni

bm#2.April.2010

[gallery]

Proteksionisme / Perdagangan Bebas = Krisis Global

“kapitalis mempunyai tiga prinsip: eksploitasi, akumulasi dan ekspansi. Prinsip inilah yang membutnya sulit untuk menghindari krisis. Deflasi atau inflasi. Hingga puncak dari monopoli kapitalis—imperialisme adalah perebutan pasar dunia yang akan menciptakan perang dunia.”

Hari ini, kita dengan lantang menolak perdangan bebas yang jelas-jelas menggiring rakyat di nega-ra yang kaya akan alam dengan populasi tenaga produksi yang melimpah, kita, rakyat tak bertanah dan tak bermodal akan benar-benar akan menjadi budak di negeri sendiri. Karena monopoli alat produksi dan pasar membuat kita tak akan mampu untuk beranjak sedikit pun—sekadar menciptakan impian atau bahkan untuk hidup sampai esok hari. Jika kondisi sudah sedemikian gentingnya, jangan sesekali terheran atau mencari kambing hitam, atau melontar pertanyaan “siapa yang salah?” ketika terjadi huruhara massa, penjarahan, penghancuran property, tragedy kemanusiaan meledak dengan spontan, tanpa komando. Kengerian tersebut tercipta akibat ketimpangan social dan ekonomi yang berjarak antara bumi dan langit.

Jika telah terjadi kondisi demikian akankah kita terjerumus pada lubang Reformasi yang tak merubah apa-apa? Sementara pertanyaan kedua adalah, apakah proteksionisme negara akan menyelamatkan perekonomian rakyat seluruhnya ketika perekonomian dimonopoli segelintir borjuasi saja? Mari berpikir keras sebelum bom molotof menimpa kepalamu di mana dan kapan saja.

Sebagai pemantik, pendiskusian kita hanya akan membahas masa proteksionisme dan segala polemic yang terjadi dengan tidak memaparkan kondisi perdagangan bebas pasca tahun 1930-an. Karena saya yakin pembacaan kawan-kawan soal perdagangan bebas telah matang dan siap menentang.

Fight Proteksionisme

Ada pernyataan seorang presiden ke 16 amerika serikat, Abraham Lancoln, (1860-1865) yang begitu keras mengeritik perdagangan bebas, kemudian ia mati ditembak seseorang, seperti ini pernyataannya: .. hapuskan cukai dan dukung perdagangan bebas, maka situasi buruh di seluruh sector ekonomi akan sampai pada tingkat perbudakan  dan kemiskinan seperti di eropa. (Lihat Hans-Peter Martin & Harald Schumann, Jebakan Global, pada Bab $ di kata pembuka, Hastra Mitra&IGJ, Jakarta, 2004. Hal 141). Pernyataan Abraham seperti meng-iya-kan pernyataan Marx dalam Pidato umum di depan Asosiasi Demokratik kota Brussel, 9 Januari 1848, berarti belasan tahun sebelum ia menjabat sebagai president AS. Mungkin Abraham pernah membaca trankrip pidato Marx yang di awali dengan:

“Pencabutan Undang-undang Gandum di Inggris merupakan kemenangan terbesar dari perdagangan bebas di abad ke sembi-lanbelas. Di setiap negeri di mana kaum manufaktur berbicara tentang perdagangan bebas, yang terutama ada dalam pikiran mereka ialah perdagangan bebas gandum dan bahan-bahan mentah pada umumnya. Mengenakan bea-bea masuk yang bersifat protektif atas gandum asing adalah sangat tak-terpuji, itu berarti berspekulasi atas kelaparan rakyat banyak.”, dan paragraph ke dua terakhir dalam pidatonya seperti ini:

“Tetapi, pada umumnya, sistem protekstif zaman sekarang adalah bersifat konservatif, sedangkan sistem perdagangan bebas adalah destruktif. Ia membongkar nasionalitas-nasionalitas lama dan mendo-rong antagonisme dari proletariat dan bur-juasi pada titik paling ekstrem. Singkat kata, sistem perdagangan bebas memper-cepat revolusi sosial.”

Kemungkinan Abraham tak selesai sampai kalimat terakhir yang di ucapkan Marx, bahwa “sistem protekstif zaman sekarang adalah bersifat konservatif, se-dangkan sistem perdagangan bebas adalah destruktif.” Karena zaman sekarang yang dimaksud Marx masih begitu dekat dengan zaman ketika AS dipimpin Abraham. Hing-ga simpulan sementara terhadap Abraham adalah bahwa dia berpandangan protektif konserpatif. Di mana kesenjangan ekonomi antara proletariat dan burjuasi tetap dijaga dengan sistem kapitalisme yang sebenar-nya mengarah pada titik paling ekstrem. Kondisi tersebut benar-benar terjadi. Di Eropa dan Amerika latin, revolusi proletariat bermunculan dengan suburnya. Sebagai contoh revolusi oktober 1917 di Rusia.

Kenapa demikian? Karena sistem pro-teksionis, hanya-lah satu cara untuk mene-gakkan industri skala besar di suatu negeri tertentu, yaitu, membuatnya bergantung pada pasar dunia, dan saat ditegakkannya ketergantungan pada pasar dunia itu, maka  menjadi suatu ketergantungan pada perda-gangan bebas. Di samping itu, sistem proteksionis mem-bantu pengembangan persaingan bebas di dalam suatu negeri. Puncak dari kegagalan sistem proteksi-onisme konserfatif ala kapitalis terjadi pada krisis 1930.

Seorang ahli sejarah social Karl Polanyi, yang lahir di wina tetapi berimigrasi ke Amerika, di dalam karyanya yang berilian -1944, Transformasi Besar, dengan terperinci melukiskan bagaimana proses kejadian krisis 1930 (Malaise). Diawali dengan penyerahan kerja manusia pada hukum-hukum pasar, dan pembubaran bangunan-bangunan social lama yang dihasilkannya, memaksa negara-negara Eropa terpuruk semakin dalam ke dalam tindakan-tindakan defensive yang tak masuk akal. (kondisi inilah yang dimaksud Abraham tingkat perbudakan  dan kemiskinan seperti di eropa -red)

“Pembebasan” perdagangan, demikian ia berargumentasi, tidak mengakhiri intervensi negara: sebaliknya, ia dengan sangat “memperluas jangkauan regulasi itu.” Semakin sering pasar dan krisis-krisis konjungkturalnya menghasilkan gelombang-gelombang kebangkrutan dan pemberontakan-pemberontakan masal, semakin pula para penguasa sekarang membatasi diri dalam permainan-permainan bebas kekuatan pasar.

Mula-mula, mereka hanya mewakili berbagai gerakan protes kelas pekerja, tetapi kemudian mereka berubah untuk menamengi pasar khususnya terhadap persaingan seberang lautan, dan negara lain menjawabnya setimpal. Menjelang pergantian abad, dan terlebih pada tahun 1920-an. Bisnis sehari-hari dari pemerintahan-pemerintahan tak lagi perdagangan bebas tetapi perkembangan kebijakan-kebijakan proteksionis.

Pada akhirnya, tanpa sungguh-sungguh bermaksud begitu, mereka meningkatkan perang perdagangan dan mata uang hingga titik ekonomi dunia yang sudah terintegrasi terjerumus ke dalam depresi besar tahun 1930-an. Tapi jangan berhenti membaca pada paragraf ini. Saya sedang tidak mendukung perdaganan bebas.

Jadi, dikarenakan tiap negara melin-dungi pasar dalam negerinya, sementara borjuasi dalam negeri perlahan tapi pasti mengeksploitasi, mengakumulasi dan meng-ekspansi, dari puncak monopolinya dalam negeri mengakibatkan banyaknya modal yang terakumulasi tak bisa digulir-kan dan menjadi berkarat karena barang hasil produksi yang menumpuk dan tak bisa dipasarkan.

Sementara kondisi negara kita pada zaman itu masih di bawah colonial Belanda. Masih sangat jelas dampak yang dirasakan rakyat Indonesia waktu itu. Proteksionisme kita dijajah. Perdagangan bebas pun masih dijajah. Polemic di atas adalah sesuatu yang tak terbersit dalam pikiran rakyat Indonesia yang kian kehilangan tanah akibat Sistem Tanam Paksa, dan segala kebijakan colonial yang memiskinkan. Tapi ada baiknya sedikit saya gambarkan kondisi Indonesia ketika krisis global 1930 melanda.

Dalam sebuah catatan Rutgers, Ir. S.J., “Indonesië, Het Koloniale Systeem, hlm. 194- 202 memaparkan, dalam tahun 1930 di Indonesia (terutama di Jawa) ada 179 pabrik gula yang masih bekerja. Dalam tahun ’34 dari jumlah tersebut yang meng-giling tinggal 54 pabrik. Jika dalam tahun 1930 areal tanaman tebu luasnya 193.692 ha, dalam tahun 1934 tinggal 33.402 ha.  Jika produksinya dalam tahun ‘30 masih 2.915.866 ton. Dan jika harga gula per 100 kg dalam tahun 1930 masih 9,60 gulden, dalam tahun 1934 harga tersebut sudah merosot menjadi 5,61 gulden.

Dr. W.K.H.Feuilletau de Bruyn dalam bukunya menulis bahwa di karesidenan Begelen ternyata tiap jiwa terpaksa makan di bawah 3 sen sehari. Hanya sedikit saja yang di atas 2 ½ sen sehari. Kondisi memilukan lainnya adalah rakyat yang terpaksa menggadaikan alat produksinya. Dalam tahun 1930 jumlah barang yang digadaikan masih f. 194.1 juta. Pada tahun 1934 jumlah tersebut turun menjadi f. 69, juta. Penurunan itu sebagian terbesar menyangkut barang-barang yang biasanya digadaikan oleh kaum tani. Bahkan tidak hanya rakyat jelata yang merasakan petaka 1930. Dalam rangka penghematan  oleh pemerintah kolonial pada tanggal 1 Juli 1931 dilakukan pemotongan gaji dari para marinir Indonesia dan Belanda. Potomgan ditentukan 5%. Setahun kemudian gaji yang sudah dipotong 5% itu dipotong lagi 5%. Akibat dari kebijakan pemotongan gaji ini. Para marinir mengkonsolidasikan diri untuk melakukan demonstrasi hingga ratus-an jumlahnya.

Kondisi di atas adalah jaman kolonial. Lantas seperti apakah kondisi perekonomi-an rakyat Indonesia ketika Obama presiden Amerika serikat hari ini menyatakan perlawanannya terhadap kebijakan proteksi-onisme negara? Masih yakinkah anda untuk mendorong pemerintah agar melaku-kan proteksionisme sebagai atitesa atas perlawanan perdagangan bebas hari ini, sementara kepemilikan tanah, alat pro-duksi dan modal masih dikuasai oleh  borjuasi komprador saja? (-am)

bm#2.April.2010[gallery]

Jalan Keluar Menuju Pembebasan Perempuan

Upaya yang harus dilakukan untuk mencabut akar penindasan terhadap perempuan adalah dengan mengorganisasikan perempuan dalam organisasi massa yang berwatak demokratis dan nasional (baik itu ormass perempuan ataupun ormass sektoral seperti : ormass tani, ormass buruh, ormass pemuda/mahasiswa) serta memiliki konsistensi dalam perjuangan menuntut reforma agraria.

Kenapa harus ormass yang berwatak demokratis dan nasional dan kenapa ormass tersebut harus memiliki konsistensi terhadap perjuangan menutut reforma agraria?

Reforma agraria merupakan upaya pe-rombakan terhadap struktur agraria dengan jalan me-niadakan monopoli atas kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta mendistri-busikannya pada petani penggarap, baik laki-laki maupun perempuan.

Di Indonesia, telah ada payung hukum untuk pelaksanaan Reforma Agraria, yakni Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang diperkuat Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

Dengan jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan kualitas teknologi pro-duksi yang masih rendah serta sempitnya lapangan pekerjaan di sektor lain, satu-satunya cara meningkatkan penghidupan kaum tani adalah dengan cara ekstensifikasi lahan. Yang kerap dijadikan alasan untuk tidak menjalankan ekstensifikasi adalah menyempitnya lahan pertanian karena perkembangan industri dan jumlah penduduk.

Namun, permasalahan utama sebenarnya bukan itu, melainkan karena adanya penguasaan secara monopoli oleh segelintir kalangan nonpetani yang memiliki kekuasaan penuh dalam hal peruntukan tanah. Di negeri ini, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta hektar lahan. Atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120 ribu hektar lahan. Bahkan pada tahun 1998, sebanyak 10 konglomerat di Indonesia telah menguasai lahan seluas 65 ribu hektar. Dan menurut Dosen Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani, Ph.D, jika pada tahun 1980-an kepemilikan lahan pertanian oleh petani miskin di Jawa rata-rata kurang dari 0,5 hektar, maka sekarang kepemilikan lahan pertanian itu tinggal 0,25  hektar saja. Apalagi kekinian terutama pasca kesepakatan ADB di Bali pada bulan Mei 2009, pemerintah akan melakukan revitalisasi Dengan demikian, tidak jarang kasus konversi lahan pertanian menjadi areal industri justru terjadi di kawasan pertanian produktif. Apabila tidak segera ditangkal dengan cara mendemokratiskan penguasaan dan kepemilikan tanah, gejala ini semakin memperburuk kehidupan keluarga petani gurem. Buruknya kehidupan keluarga kaum tani di pedesaan inilah yang menjadi salah satu muasal segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami kaum perempuan.

Proses ekstensifikasi lahan yang dilakukan dengan mendistribusi lahan berlebih dari kepemilikan monopoli memberi jaminan ekonomi dan politik bagi kalangan yang selama ini paling terpinggirkan di pedesaan. Jaminan ini akan meningkatkan kemampuan produksi kaum tani miskin di pedesaan apabila dilanjutkan dengan upaya penataan produksi dan kolektivisasi pertanian. Langkah ini dapat ditopang dengan pembenahan proses produksi, terutama melalui intervensi teknologi modern dalam proses produksi pertanian.

Penataan dan kolektivisasi produksi pertanian di wilayah-wilayah yang sudah mengalami redistribusi lahan bertujuan untuk menjamin pemerataan hasil produksi dalam upaya mengangkat kesejahteraan. Jaminan ini berlaku untuk semua pihak yang bekerja di atas tanah tersebut, tanpa diskriminasi jender.

Bagi perempuan petani, reformasi agraria memberi jaminan lebih konkret atas hak ekonomi dan hak politik. Artinya, kaum tani perempuan memiliki basis yang memadai dalam hal partisipasi dan kontrol ekonomi maupun politik. Basis inilah yang akan menopang gerakan perempuan secara umum untuk menganulir segala bentuk diskriminasi, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun kebudayaan.

Reforma agraria ini juga akan menjadi sebuah landasan bagi berdirinya industri-industri nasional yang akan mengolah seluruh kekayaan alam Indonesia dengan maksud dan tujuan mensejahterakan rakyat. Perkembangan ilmu pengetahuan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat juga akan menemukan pijakannya. Dengan penguasaan tanah dan industri yang berada di tangan rakyat, maka ilmu pengetahuan akan berkembang dengan pesat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan rakyat. Tujuan pendidikan di Indonesia kemudian adalah untuk memajukan tenaga produktif yang akan membawa ke arah perubahan Indonesia menjadi lebih baik.

Langkah lain yang harus dilakukan adalah mengatasi masalah keterbelakangan politik dan kebudayaan melalui aktivitas pengorganisasian (mendorong partisipasi aktif perempuan dalam berbagai aktifitas organisasi) serta pengintensifan pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai baru untuk mengatasi keterbelakangan budaya di kalangan kaum tani dan menciptakan budaya baru yang demokratis tanpa diskriminasi di pedesaan.

Sehingga, satu-satunya jawaban bagi penghapusan penindasan terhadap perempuan adalah perempuan harus mengorganisir diri dalam organisasi-organisasi massa yang demokratis nasional (baik itu ormass perempuan maupun ormass sektoral) yang memiliki komitmen tinggi dalam perjuangan reforma agraria.

Situasi sekarang, di tengah krisis umum imperialisme yang terus menajam yang mengakibatkan semakin intensifnya penindasan terhadap perempuan dan rakyat Indonesia, adalah situasi yang tepat untuk mengorganisasikan diri dan bergerak bersama untuk menuntut hak-hak perempuan yang sudah dirampas. Mempersoalkan kembali persoalan yang dihadapi oleh perempuan dan rakyat Indonesia di mimbar-mimbar akademik meruapkan sebuah kewajiban untuk memperluas pengaruh pandangan kita di kalangan intelektual sealigus untuk menemukan dan menyatukan perspektif yang sama atas akar penindasan perempuan dan bagaimana jalan keluarnya. Mengkampanyekan secara luas persoalan perempuan dalam mimbar-mimbar bebas di kampus dan aksi-aksi massa yang meluas dan simpatik di berbagai level organisasi adalah sebuah agenda gerakan yang tidak boleh kita lewatkan dalam  rangka peringatan Hari Perempuan Internasional ini.

Membangun aliansi strategis dengan beberapa organisasi yang berwatak patriotik, demokratik dan militant adalah bagian dari strategi untuk memperluas pengaruh. Untuk itu, dalam moment peringatan HPI ini, secara terbuka kia harus mengadakan kerja sama dengan organisasi lain untuk melakukan agenda bersama peringatan HPI dalam bentuk diskusi dan aksi bersama. Aliansi dengan taktik memperluas pengaruh ini juga harus dijalankan secara menyeluruh juga kepada beberapa organisasi yang memiliki konsistensi terhadap perjuangan kaum perempuan dan dikongkritkan dalam sebuah agenda bersama..

Oleh Asep Saepudin*

[gallery]

Perempuan Indonesia dalam Deflorasi Dua Sisi (eksploitasi imperialis dan konservatif feodalis)

Krisis yang dihadapi kapitalisme internasional tersebut -yang telah berkembang menjadi imperialisme- saat ini, membuat perempuan Indonesia mengalami penindasan yang semakin buruk dari hari ke hari.

Monster raksa-sa tua yang selama ini menancap-kan jari-jari penindasannya ter-hadap rakyat di berbagai negeri melalui program globalisasi dan pasar bebasnya itu telah semakin renta dan tidak berdaya lagi menanggung krisis di dalam tubuhnya sendiri, sehingga mereka kemudian melimpahkan beban krisisnya terhadap seluruh rakyat di negara-negara jajahan dan se-tengah jajahan, termasuk di da-lamnya perempuan Indone-sia.

Saat ini, jumlah perempuan Indonesia merupakan mayori-tas (54%) dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah terse-but, sekitar 70% menjadi buruh tani dan tani miskin, dan sisa-nya menjadi buruh industri, buruh migran, buruh jasa, serta buruh pemuas seks.

Di perkotaan, sektor buruh paling keras mendapatkan pukulan akibat pengaruh krisis umum imperialisme. Perusaha-an-perusahaan tempat kerja mereka yang selama ini sangat tergantung terhadap investasi, bahan baku dan pasar di luar negeri kini mulai kehilangan order ekspornya. Hal tersebut disebabkan karena menurunnya permintaan akibat menurunnya daya beli masyarakat. Industri yang ada di Indonesia adalah industri manufaktur dengan menggunakan teknologi ren-dah yang bertu-juan untuk me-menuhi kebutuh-an pasar di luar negeri.

Jika negeri induk imperialisme mengalami kebangkrutan ditandai de-ngan merosotnya daya beli masyarakat, maka imbas yang terjadi sudah mulai kelihatan sekarang di negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti indonesia. Banyak pabrik yang kemudian mengura-ngi jumlah produksinya karena pendapatannya menurun. Seba-gian bahkan gulung tikar.

Peraturan perburuhan di Indonesia selama ini tidak per-nah memihak kepada buruhnya sama sekali. PB 4 Menteri yang dikeluarkan dengan dalil untuk melindungi industri dalam negeri ternyata mengorbankan buruhnya.

Dengan program rasional-isasinya yang sangat merugikan kelas buruh. Dampaknya dapat kita lihat bersama. Banyak pabrik yang mem-PHK buruh-nya secara besar-besaran dg tanpa memenuhi hak-haknya sebagai buruh setelah di PHK (tunjangan dan pesangon).

Kemudian perusahaan mulai menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourching yang sangat merugikan buruh tanpa kepastian kerja dan upah yang layak.

Seringkali juga, buruh harus bekerja lembur yang lebih berat dengan alasan untuk mengejar target produksi yang diinginkan oleh perusahaan tanpa ada tambahan upah yang sebanding.

Sistem kapitalis global ini telah menjadikan perempuan-perempuan Indonesia sebagai “budak modern” dalam industri-industri perakitan mereka de-ngan upah murah dan dibedakan dengan buruh laki-laki, tanpa mendapatkan tunjangan apapun bagi keluarga meski banyak diantara perem-puan-perempuan tersebut beker-ja sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.

Di pihak lain, mereka juga tetap harus menjalankan tugas-tugas mereka sebagai “ibu rumah tangga” yang harus me-rawat suami, anak, memasak, dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Dengan adanya pembedaan upah dan tunjangan yang diberikan antara buruh laki-laki dan perempuan, sema-kin banyak perusahaan yang menggunakan buruh perem-puan karena bisa menekan ong-kos produksinya untuk menaik-kan keuntungan yang diper-oleh.

Kondisi kerja yang harus dihadapi oleh buruh perempuan juga sangat buruk. Ruangan pabrik yang pengap, bahkan kadang tanpa alat perlindungan kerja sama sekali dan harus menghadapi deru mesin yang keras yang bisa merusak telinga, debu-debu pabrik yang bisa menyebabkan berbagai penyakit, dan beberapa kece-lakaan kerja yang bisa terjadi kapan saja tanpa kepastian jaminan dari perusahaan untuk tunjangan kecelakan kerja.

Tanpa fasilitas kerja yang layak dan bahkan sarat dengan pelecehan seksual dari para mandor pabriknya. Jika buruh perempuan di PHK, maka dia harus berjuang untuk terus mempertahankan hidup di kota atau terpaksa kembali ke pedesaan untuk merasakan penindasan yang tidak kalah bengisnya.

Di pedesaan, perempuan terbakar teriknya matahari desa dengan menjadi buruh tani atau petani penggarap dengan upah yang rendah dan menjadi sangat rendah karena diskriminasi upah yang dijalan-kan oleh para tuan tanah dan petani kaya terhadap mereka. Hingga kini, upah buruh tani perempuan di Jawa masih tetap berkisar antara 10 ribu hingga 20 ribu meskipun harga-harga bahan pokok telah naik berkali-kali. Tidak ada perbaikan hidup yang signifikan bagi mereka, yang ada justru menurunnya daya beli.

Bagi perempuan yang memiliki sedikit lahan sebagai petani miskin, kini semakin ter-desak karena anjloknya harga gabah. Apalagi pada bulan September 2009 lalu DPR melahirkan UU PLPBB yang akan semakin meminggir-kan  petani miskin secara legal. Kini, nasib petani miskin laksana di ujung tanduk.

Bagaimana tidak melalui UU PLPPB itu pemerintah mengijinkan masuknya korporasi besar ke sektor pertani-an pangan. Arti-nya, harapan pe-tani gurem un-tuk memiliki ak-ses terhadap lahan pertanian secara le-bih layak se-makin tipis.

Tahun lalu Petani miskin di Jawa Tengah terpaksa harus tersenyum kecut karena peme-rintah tidak dengan sigap mem-berikan standar harga gabah minimum dan membiarkannya jatuh hingga angka Rp 1.200-Rp1.800 per kilogram untuk jenis Gabah Kering Panen (GKP) (Kompas, 12/02/09). Dan tahun ini sebagai gambar-an adalah daerah Pantura yang dikenal sebagai penghasil padi terbesar di Jabar. Pertahunnya daerah ini menghasilkan lebih dari 4 ton padi atauo 40% padi Jabar. Ironisnya Pantura men-jadi kantong kemiskinan di Jabar. Angka ini dikarenakan rata-rata petani di Pantura adalah buruh tani. Pernyataan ini bisa dilihat dari data Penerima beras untuk rakyat miskin (raskin) di wilayah pantura mencapai 807.465 keluarga, atau 28% dari total keluarga penerima raskin di Jabar. (Kompas, 12/02/10)

Ditambah dengan marak-nya perampasan tanah yang dilakukan oleh para tuan tanah besar pemilik perkebunan kela-pa sawit, teh dll yang berusaha agar tetap mendapatkan keun-tungan besar (super profit) di tengah menurunnya harga hasil produksi mereka, dengan mem-perluas perkebunan mereka.

Mereka merampas tanah para petani miskin yang tidak sanggup membayar uang sewa/bagi hasil karena ren-dahnya hasil produk-si me-reka. Atau karena tidak mampu mem-bayar hutang atas pembelian pupuk dan benih yang harga-nya semakin me-lambung tinggi.

Perempuan yang memilih berangkat dari desa mengadu nasib ke luar negeri dengan harapan hidup lebih baik, justru terjebak dan tersekap dalam rumah-rumah megah di sejumlah negara di negeri tak dikenal. Menjadi buruh migran yang harus menanggung utang atas biaya penempatan yang tinggi dan juga mengalami berbagai kekerasan tanpa perlindungan pasti dari pemerintah.

Di Hongkong, mereka harus menanggung hutang sebesar 25 juta rupiah yang berbentuk potongan gaji selama 7 bulan pertama. Di Taiwan, hutang para penyumbang devisa negara tersebut bahkan mencapai 45 juta rupiah yang juga berbentuk potongan gaji selama 15 bulan dan meng-akibatkan mereka banyak yang dipenjara karena melarikan diri dari majikan yang disebabkan karena tidak sanggup lagi menaggung beban kerja yang berlebihan tersebut (kerja yang tak dibayar dan kekerasan oleh majikan).

Sampai tulisan ini dikeluarkan, tidak ada data manapun yang secara komprehensif bisa menjadi acuan berapa banyak jumlah pekerja migran Indonesia yang tersebar di seluruh negara tetangga baik yang secara resmi maupun tidak.

Lalu bagaimana dengan jumlah, jenis dan kasus pelanggaran yang dialami oleh pekerja migran? Sungguh sebuah ironi, ketika Pemerintah saat ini terus mendorong rakyat-nya untuk mengais rupiah dinegeri orang dengan segala kebijakan yang diterapkan, di-saat bersamaan tidak ada standart apa pun untuk melindungi para pekeja migran ini.

Padahal setiap tahun, jumlah pekerja migran Indonesia di luar negeri semakin meningkat, begitu pun pelanggaran HAM yang terjadi.

Data yang dikeluarkan BNP2TIKI, sepanjang tahun 1994-2007 tercatat 1.479.063 pekerja migran adalah laki-laki, sementara 4.145.034 pekerja migran adalah perempuan. Data ini tidak bisa digunakan untuk melihat seluruh jumlah pekerja migran Indonesia di Luar Negeri, karena ada ribuan pekerja migran lain yang tidak tercatat.

Dalam perkembanganya Jumlah TKI dari Jawa Barat saat ini sekitar 3,6 juta orang. Dari angka itu, jumlah TKI ilegal sangat besar, ditaksir mencapai 40 persennya, atau lebi kurang 1,5 juta orang.

Adapun jumlah TKI dari berbagai daerah di Indonesia saat ini sekitar 6 juta orang, dan lebih kurang 2,5 juta di antaranya ilegal. Di wilayah ASE-AN, TKI paling banyak diserap Malaysia, sekitar 2 juta orang.

Namun, penempatan tersebut belum diimbangi dengan perlindungan yang memadai, terlihat dari masih banyaknya kasus yang menimpa pekerja migran Indonesia, baik dalam tahapan pra-pemberangkatan, kerja, dan purna bakti.

Sepanjang tahun 2008, pengaduan terbanyak masalah calon/pekerja migran Indonesia yang diterima oleh Deputi Perlindungan BNP2TKI adalah gaji tidak dibayar (287 kasus), komunikasi (207 kasus), meninggal dunia (157 kasus), dan PHK sepihak (152 kasus). Penganiayaan tercatat 54 kasus, sedangkan pelecehan seksual mencapai 15 kasus. Kerentanan pekerja migran Indonesia terhadap kekerasan fisik maupun psikologis dan pelanggaran lainnya tidak jarang berujung pada kematian. Migrant Care mencatat selama dua tahun terakhir ini saja sudah ±296 jiwa pekerja migran menutup usianya. (Kompas 12/2/10)

Akibat dari krisis impe-rialisme, kini mereka banyak yang dipulangkan kembali ke negeri asalnya karena peme-rintah negara tujuan lebih memilih mempekerjakan tena-ga kerja dalam negerinya untuk meningkatkan daya beli masya-rakat dan meningkatkan per-tumbuhan ekonomi dalam negeri.

Sisi lain, sempitnya lapang-an pekerjaan dalam negeri yang sedikitnya 2 juta lulusan pergu-ruan tinggi, baik lulusan prog-ram diploma maupun sarjana, menganggur. Kemudian 4,1 juta atau sekitar 22,2% dari 21,2 juta angkatan kerja menganggur (hasil survey tenaga kerja nasional 2009 badan perencanaan dan pemba-ngunan nasional). Apalagi jika mengacu pada jumlah angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai 32,5 juta keluarga atau 14,15 persen dari 230 juta penduduk Indonesia. Begitu pun dengan angka penganggur-an nasional secara umum yang mencapai 8,96 juta atau 7,87 persen dari 113,83 juta angkatan kerja. (Data BPS per Desember 2009)

Gambaran data sekunder diatas adalah kondisi objektif hari ini yang secara sistematis memiskinkan rakyat Indonesia dan khususnya Perempuan Indonesia, mereka semakin banyak tergiring pada kung-kungan dalam kamar-kamar sempit di tempat-tempat prosti-tusi. Atau menjadi pengantin bayaran di luar negeri yang pada hakekatnya juga merupa-kan salah satu bentuk dari per-dagangan perempuan. Bukan karena keikhlasan saat mereka harus membiarkan tubuh me-reka terjual. Tapi karena telah mati langkah atas himpitan monopoli kepemilikan kekaya-an alam dan industry dalam negeri.

Kebijakan SBY yang menaikkan subsidi bagi BBM sebesar 7 triliun rupiah sehingga total jumlahnya men-jadi 38 triliun rupiah untuk tahun ini, atau kebijakan untuk menaikkan anggaran dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari alokasi awal 1,4 triliun rupiah menjadi 3,4 triliun rupiah dengan harapan untuk meningkatkan konsumsi masya-rakat, dan juga kebijakan me-naikkan jumlah anggaran untuk bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS) melalui keputus-an untuk mengalokasikan 20 persen pengeluaran APBN untuk sektor pendidikan; se-sungguhnya bukanlah kebijak-an yang berpihak pada rakyat. Selain karena tindakan ini hanyalah sekedar upaya SBY untuk meraih simpati rakyat menjelang pemilu tahun lalu agar kelak dipilih kembali, kebijakan-kebijakan “populis” tersebut tidak pernah mampu menyelesaikan akar persoalan rakyat.

Tapi SBY berhasil melaku-kan rekayasa perhitungan suara, sehingga ia benar-benar menang telak atas kandidat lainnya. Konflik soal DPL dan banyaknya aduan kecurangan pada KPU serta kekinian soal kehilangan dana Bailout Bank Century sebanyak 6,7 triliun yang hanya ditudingkan pada Sri Mulyani dan Boediyono, sesungguhnya sama sekali tak terlepas dari upaya SBY dalam pemenangan Pemilu tahun lau (hasil analisis kawan-kawan ITB 2009).

Sementara akses pendidik-an kian mahal. UU BHP yang telah disahkan tanggal 18 Desember 2008 kemarin, akan semakin menyebabkan anak-anak perempuan tersingkir untuk mendapatkan haknya mendapatkan pendidikan.

Biaya pendidikan yang akan melambung tinggi akibat disahkannya UU BHP akan menyebabkan orang tua untuk memilih hanya anak laki-lakinya saja yang menikmati pendidikan lebih lanjut. Di tengah budaya feodal di Indonesia yang menempatkan perempuan sebagai “konco wingking”. Akan semakin banyak mahasiswa juga yang akan DO atau terpaksa keluar karena tidak mampu melanjut-kan studinya dengnan alasan tidak mampu membiayai kuliah-nya yang semakin mahal.

b.m-mei-2010

[gallery]

PRESS RELEASE HARI KEBANGKITAN NASIONAL DAN 12 TAHUN REFORMASI

Latar Belakang

Krisis umum Imperialisme atau kapitalisme monopoli (Krisis global) semakin menunjukkan keakutanya. Krisis finansial yang menerjang langsung ke dalam jantung imperialisme, Amerika Serikat dipicu pada tahun 2007 akibat gelembung ekonomi, kredit macet perumahan rakyat, telah  melumpuhkan sendi-sendi imperialis dan berbagai negeri imperialis lainnya dalam terpaan krisis seperti layaknya Jaman kebangrutan dunia, zaman Malaise 1929.

Krisis umum yang sedang menghebat ini juga menunjukkan bahwa sistem kapitalisme monopoli internasional semakin terkuak secara terang kerapuhan dan kebusukan sistwmnya. Sistem yang telah usang ini sepanjang sejarahnya terus menghambat kemajuan kekuatan produktif dan telah menyebabkan keterbelakangan yang demikian hebat bagi kekuatan produktif yang ada. Klas buruh, klas pekerja termasuk kaum tani dan rakyat tertindas lainnya terus dibelenggu dan didesak sampai tidak ada tempat lagi untuk mengembangkan kehidupannya. Klas buruh dan kaum tani serta golongan rakyat lainnya semakin ditekan dan dihisap, dan imperialisme dunia maupun rezim reaksioner dalam negeri melalui berbagai langkah ekonomi dan politiknya untuk menyelamatkan diri dari terpaan krisis justru melempar beban krisis itu ke pundak para kalas buruh dan kaum tani serta seluruh rakyat tertindas lainnya.

Dengan demikian, situasi ini pasti akan menciptakan syarat-syarat yang lebih matang bagi perjuangan sengit antara klas buruh, kaum tani dan golongan rakyat tertindas lainnya melawan imperialisme, feodalisme dan para kapitalisme birokrat di berbagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, tak terkecuali di Indonesia. Untuk itu, momentum Mayday di Indonesia hendaknya tidak hanya mencerminkan perjuangan kelas buruh, tetapi lebih dari itu adalah perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat tertindas di Indonesia dengan aliansi dasar klas buruh dan kaum tani.

Kita melihat penindasan yang begitu hebat dialami oleh rakyat saat ini adalah akibat dari bercokolnya kekuatan Imperialisme asing di Indonesia yang masuk dan kokoh berdiri atas bantuan para pembantunya -para borjuasi besar komprador yang saat ini di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono  (SBY-Boediono)-. Sebagai bawahan atau boneka Imperialis tentu SBY­-Budiono harus menuruti segala kehendak tuan  Imperialisnya yaitu AS. Di bawah rejim penghamba Imperialis inilah rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, berbagai cara digunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami bahwa Imperialisme sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja (buruh).

Selain borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat, Imperialisme juga menggunakan sisa–sisa sampah feodalisme yang saat ini masih bercokol di Indonesia yang dimanifestasikan pada tuan–tuan tanah lokal seperti Jusuf Kalla, atau PTPN dan Perhutani. Melalui kolaborasi tiga poros utama (Komprador-Kapitalis Birokrat-Tuan Tanah) di bawah kepemimpinan SBY-Budiono inilah Imperialisme dengan leluasa menggerakkan roda penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Petani disingkirkan dari tanah–tanahnya, jutaan petani hidup dalam kemiskinan. Padahal Indonesia selama ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di Indonesia sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri.

Dalam sejarah Negara agraris ini, Indonesia mampu satu kali swasembada pangan yaitu di tahun 1986. Selain tahun 1986, Indonesia hanyalah Negara pengimpor bahan pangan yang tiap tahun kian meningkat jumlah impornya. Saat ini di pulau Jawa yang merupakan basis utama penghasil beras di Indonesia, petani rata–rata hanya memiliki tanah di bawah 0,5 hektar dan sebagian besar petani sekarang menjadi buruh tani.

Atas keadaan ini SBY-Boediono lebih memilih memperluas tanah untuk perkebunan dan pembangunan industri daripada harus memberikan tanah untuk kaum tani yang pada hakikatnya untuk kesejahteraan dan pembangunan industri nasional. Kebijakan SBY-Boediono justru tidak sedikitpun bisa memberikan harapan untuk petani hidup sejahtera. Justru kebijakan yang dikeluarkan rejim semakin menindas dan menghimpit penghidupan petani.  Perampasan tanah (land grabbing) kian sering terjadi bahkan seringkali disertai dengan cara–cara keras, seperti intimidasi, penangkapan bahkan penembekan terhadap petani. Berbagai jenis produk perundang–undangan seperti Perpres No.20 tahun 2003 tentang tanah untuk kepentingan publik sering dijadikan alasan untuk merampas tanah petani. Di tengah perampasan tanah petani oleh Negara, petani juga dihadapkan pada persoalan subsidi bagi sektor pertanian yang dicabut oleh Negara. Hal ini mengakibatkan melambungnya harga kebutuhan bagi pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida, karena tidak diimbangi dengan perlindungan (proteksi) pemerintah untuk hasil pertanian. Akhirnya petani harus berhadapan dengan begitu banyak persoalan, mulai persoalan kepemilikan tanah, rendahnya upah untuk buruh tani, mahalnya biaya kebutuhan untuk pertanian, rendahnya harga produksi pertanian, belum lagi petani harus berhadapan dengan tengkulak dan tukang ijon.

Pendidikan saat ini dipandang sebagai salah satu sektor yang dapat mendatangkan keuntungan yang besar, sehingga dengan cara yang sistematis pendidikan telah diatur sedemikian rupa untuk dapat mendatangkan keuntungan. Historis pendidikan di negeri ini masih menyisakan kabut gelap bagi rakyatnya. Pendidikan pada setiap masa, hanya dijadikan alat legitimasi penindasan bagi penguasa.

Berbagai kebijakan dan gagasan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang kemudian dipatenkan melalui konstiusi untuk melegitimasi perampasan hak rakyat dan meraup keuntungan melalui lapangan pendidikan. sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS), Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang memasukkan pendidikan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor bisa menanamkan investasinya dalam sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Kenyataannya, kebijakan tersebut tidak pernah terbukti mampu membawa pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas hingga dapat menjamin kelangsungan hidup rakyat yang lebih sejahtera, kebijakan tersebut kemudian justru diperkuat lewat kebijakan baru yaitu Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang ditetapkan tangal 16 Desember 2008 kemudian di Undangkan (UU NO. 9 Tahun 2009) pada tanggal 17 Januari 2009. Kebijakan ini justru membawa dampak yang makin buruk bagi rakyat, hilangnya kesempatan bagi anak buruh dan anak tani untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi karena mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik dan orang tuanya.

Kenyatan ini adalah bukti kongkret terjadinya komersialisai pendidikan di Indonesia. Meskipun tanggal 30 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi telah mencabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tapi kebijakan tersebut tidak sama sekali bertujuan untuk menghentikan paraktik komersialisai pendidikan di Indonesia. Dicabutnya UU BHP ini bukanlah semata-mata atas dasar niat baik pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan dan memajukan budaya Masyarakat Indonesia, akan tetapi kebijakan tersebut  merupakan bagian dari desakan kuat  gerakan massa yang berjuang dengan gigih tiada hentinya menolak dan menuntut pencabutan Undang-undang tersebut. Kemenangan ini harus terus diakumulasikan dan harus mampu dijadikan sebagai inspirasi yang mampu mendorong motivasi kita untuk berjuang semakin gigih ke depan.

Dicabutnya UU tersebut, bukan berarti payung hukum atas komersialisasi pendidikan telah sirna dari tanah air. Segudang peraturan yang mendukung usaha dagang pendidikan masih bercokol, sebut saja UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP 60/61 1999 tentang Otonomi Kampus, berbagai PP yang menetapkan PT BHMN, UU No.1 tahun 2004 tentang pembendaharaan Negara dan PP No.23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum/BLU. Yang menyakitkan lagi pasca-BHP dibatalkan berbagai kampus tidak melakukan penyesuaian atas dihapusnya kebijakan tersebut, melainkan berbagai kampus-kampus negeri melaui rektornya kembali meminta adanya payung hukum baru selain BHP.

Kita masih ingat, saat pemerintah menggadaikan pendidikan. Melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Sebelumnya Pemerintah melakukan Kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), tentang Hinger Education Project dengan total utang 102,6 juta dolar AS mulai tahun 1993 sampai 2001. Bantuan tersebut di berikan untuk enam kampus PTN dan 11 Kampus PTS di Indonesia. Misi dari kerjasama tersebut sama persis  dengan program World Bank yaitu tentang efisiensi dan relevansi Perguruan Tinggi, kebijakan tersebut sesungguhnya mengukuhkan otonomi terhadap kampus. Artinya sampai saat ini perjanjian di atas masih berlangsung, tidak ada sikap resmi pemerintah yang membatalkan berbagai perjanjian tersebut. Biaya SPP masih terus naik secara agresif, uang masuk, DPP (Dana Pengembangan Pendidikan) atau apapun namanya juga tidak ada tanda-tanda untuk diturunkan, apalagi dihapuskan. SBY-Boediono masih tetap dengan pendiriannya untuk mendepak anak-anak buruh, tani dan pegawai rendahan agar semakin menjauh dari bangku kuliah. BHP dicabut, komersialisasi pendidikan jalan terus. Biaya semakin mahal, tidak ada jaminan kualitas dan lapangan pekerjaan.

Mahalnya biaya pendidikan dan berseminya pembangunan gedung dan fasilitas lain dibeberapa sekolah dan perguruan tinggi untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya, ternyata tidak menjamin peningkatan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan Indonesia masih jauh dengan negara-negara lain, bahkan negara di Asia Tenggara sekalipun seperti Vietnam, Malaysia dan Singapura. Pun pengekangan kebebasan Mahasiswa untuk berorganisasi dan berekspresi dikampus membuktikan hilangnya ruang demokrasi di kampus.

Kita memandang imperialisme lewat rejim boneka dalam negeri, bersepakat untuk menghacurkan tenaga produktif (termasuk Mahasiswa) dan terus ditempatkan dalam keterbelakangan. Usaha tersebut sangat tampak dalam menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis, komersialisasi semakin terang ketika Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) disahkan SBY pada akhir tahun 2008. Produk hukum ini sejatinya mengubah pendidikan menjadi ladang bisnis (komoditi/barang dagangan) untuk mendatangkan akumulasi kapital dengan membuka kesempatan investasi, pembayaran pajak, dan tentunya pungutan biaya pendidikan yang semakin mahal dari pelajar dan mahasiswa. Mahalnya biaya pendidikan ini juga mengancam rakyat luas yang mayoritas adalah klas buruh dan kaum tani.

Lebih lanjut, pengekangan terhadap demokratisasi di kampus masih membelenggu hak-hak mahasiswa untuk berekspresi, berpendapat dan berorganisasi. Upaya-upaya secara sistematis untuk membungkam demokratisasi di kampus begitu nyata terlihat. Mulai dari pengetatan kuliah dan sistem presensi, pemberlakuan kode etik, jam malam, larangan bagi organisasi ekstra (ormas) melalui Surat Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor: 26/Dikti/Kep/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus, intimidasi dan ancaman pengurangan nilai terhadap mahasiswa yang kritis terhadap kehidupan kampus, pelarangan demonstrasi, hingga pada represifitas secara langsung dengan kekerasan.

Sistem pendidikan yang demikian ini, hanya mampu mencetak tenaga kerja murah siap pakai di pasar tenaga kerja dan calon-calon pengangguran. Dengan produksi setengah feodal yang mengandalkan pertanian terbelakang dan industri bergantung, tidak dibutuhkan sarjana ahli dengan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, tetapi siap kerja kapan saja dan dibayar murah. Tidak ada yang namanya link and match, karena banyak sarjana yang justru nganggur dan bekerja di luar displin ilmunya. Ketatnya persaingan kerja juga membuat dana sekian juta yang dihabiskan selama kuliah hanya terbayarkan sebagai sales atau seorang yang frustrasi di rumah sehari-hari.

Ada  hal urgen yang patut dikerjakan menyangkut nasib gerakan mahasiswa ke depan di negara ini, yaitu sebuah upaya  penyiasatan agar gerakan mahasiswa berdampak positif bagi peningkatan kualitas nilai-nilai kemanusiaan dan politik mahasiswa dengan tanpa mengabaikan kesatuan perjuangan bersama buruh, tani, miskin kota, perempuan dan pemuda.

Gerakan mahasiswa harus berperan mengembalikan potensi fitrah intelektual yang dalam perkembangan berkenegaraan tentu saja  mahasiswa butuh unsur-unsur yang dapat mereflesikan gerakannya. Gerakan yang mengandung unsur merefleksi dan mendidik pun dapat dijadikan ruang intelektual dan budaya.

Belakangan, gerakan mahasiswa sepertinya sengaja dihadirkan dengan latar anarkisme dan sporadis, tindakan demikian tentu saja penting dikritisi. Dimana letak nilai intelektualitasnya? Sementara dalam catatan sejarahnya, gerakan mahasiswa seolah tak memiliki penyelesaian. Menggantung. Rawan dimanfaatkan elit oposisi pemerintah. Dan kekinian gerakan mahasiswa seolah terjebak karier politik. Lantas seperti apa gerakan mahasiswa ke depan jika kondisi seperti ini tetap kita biarkan?

Dengan memanfaatkan momentum tragedi semanggi, kebangkitan nasional dan keruntuhan razim Soeharto akibat Reformasi, FPR Bandung, mencoba membedah dan mereflesikan gerakan mahasiswa dari sudut pandang sejarah dan fenomena kekinian agar dapat meneropong gerakan mahasiswa ke depan. Terutama di kota Bandung.

Tentunya, kegiatan ini tidak hanya sebatas temu kangen antar mahasiswa dan aktivis gerakan mahasiswa, akan tetapi bagaimana kegiatan ini mampu merumuskan sebuah sikap atau resolusi bagi kemajuan gerakan mahasiswa di Indonesia.

Pernyataan ini merupakan pengantar bagi kita semua, pemuda mahasiswa dan seluruh rakyat tertindas Indonesia akan makna perjuangan pemuda dan mahasiswa yang tidak terpisahkan dengan perjuangan kaum buruh pada tahun 1886, yang menuntut diberlakukannya ketentuan 8 jam kerja perhari. Tuntutan ini tidak semata berarti berkurangnya jam kerja buruh, melainkan memiliki makna berakhirnya gurita perbudakan dan sisa-sisa penghambaan dalam hubungan antarmanusia yang didasarkan pada kewajiban kerja untuk memperoleh imbalan upah.

Imperialisme telah menebarkan ancaman dan serangan yang berlapis dari berbagai lapangan kehidupan pemuda dan mahasiswa; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), memaksakan beban pekerjaan yang jauh lebih tinggi tanpa jaminan keselamatan yang memadai, menekan, menindas dan mengurangi upah bagi pemuda pekerja, menghancurkan kebebasan berserikat, segala perundangan dan atauran negara yang sejatinya bertujuan untuk menghancurleburkan semangat, cita-cita dan  pemuda mahasiswa serta seluruh rakyat. Semua itu telah menciptakan suasana sosial yang diskriminatif, rakyat bahkan pemuda dan mahasiswa dihisap secara ekonomi, ditundukkan secara politik, dan diasingkan secara budaya.

Tentu, semua itu harus diakhiri! Pemuda, mahasiswa dan segenap rakyat tertindas harus bersatu. Menebar benih perlawanan, memelihara semangat perjuangan, untuk menuai kemenangan-kemenangan dan membangun tatanan baru. Tatanan yang mengedepankan kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan di muka bumi.

Dengan pendirian itu, Front Perjuangan Rakyat (FPR) kota Bandung mengukuhkan dan menggali kembali semangat Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dan Reformasi yang diagung-agungkan itu, menghadirkannya dalam suasana perjuangan kekinian, untuk menjadi bekal perjuangan di masa datang. Dan dalam momentum ini kami menyatakan sikap dan menuntut:


  1. 1. Hentikan segala bentuk Komersialisasi Pendidikan!

  2. 2. Sediakan lapangan pekerjaan dengan upah layak bagi pemuda dan seluruh rakyat!

  3. 3. Berikan pendidikan gratis untuk anak buruh dan anak tani!

  4. 4. Berikan Jaminan Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Berorganisasi bagi pemuda, mahasiswa dan seluruh rakyat!

  5. 5. Hentikan perampasan tanah petani dalam bentuk apapun!

  6. 6. Kembalikan tanah-tanah yang dirampas kepada rakyat dan kaum tani!

  7. 7. Hentikan segala bentuk intimidasi dan teror terhadap pemuda, mahasiswa dan seluruh rakyat yang berjuang menuntut hak-hak sosial-ekonomi dan sipil demokratisnya, serta berikan kebebasan berserikat dan berpendapat di muka umum!

  8. 8. Hentikan penggusuran terhadap para pedagang dalam bentuk apapun serta berikan kebebasan dalam menjalankan aktivitas ekonominya!

  9. 9. Tangkap, Adili dan Sita seluruh harta para koruptor, termasuk pelaku korupsi dalam dalam bidang pendidikan, serta menuntut para pengusaha yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak kaum buruh!


10. Usut tuntas kasus  korupsi Century dan berbagai kasus korupsi lainnya!

11. Tolak campur tangan IMF, WB, ADB, WTO dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya terhadap kebijakan ekonomi, politik, dan pendidikan Indonesia, serta tolak utang luar negeri yang telah menjadi beban rakyat!

12. Tolak segala bentuk kerjasama yang timpang dengan negara-negara imperialis dan menuntut pemerintah Indonesia untuk keluar dari perjanjian perdagangan bebas baik bilateral maupun multilateral!

Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen rakyat untuk bangkit bersama, merapatkan barisan dengan rakyat lainnya, berjuang menuntut hak-hak kita yang telah dirampas.



Hidup Rakyat Indonesia!

Bandung, 20 Mei 2010

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) BANDUNG

(FMN, HMR, FAMU, ELSAK UIN, BEM FIKOM UNISBA, SP FARKES, PCR, serta elemen rakyat lainnya)

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.