Translate

PRESS RELEASE HARI KEBANGKITAN NASIONAL DAN 12 TAHUN REFORMASI

Latar Belakang

Krisis umum Imperialisme atau kapitalisme monopoli (Krisis global) semakin menunjukkan keakutanya. Krisis finansial yang menerjang langsung ke dalam jantung imperialisme, Amerika Serikat dipicu pada tahun 2007 akibat gelembung ekonomi, kredit macet perumahan rakyat, telah  melumpuhkan sendi-sendi imperialis dan berbagai negeri imperialis lainnya dalam terpaan krisis seperti layaknya Jaman kebangrutan dunia, zaman Malaise 1929.

Krisis umum yang sedang menghebat ini juga menunjukkan bahwa sistem kapitalisme monopoli internasional semakin terkuak secara terang kerapuhan dan kebusukan sistwmnya. Sistem yang telah usang ini sepanjang sejarahnya terus menghambat kemajuan kekuatan produktif dan telah menyebabkan keterbelakangan yang demikian hebat bagi kekuatan produktif yang ada. Klas buruh, klas pekerja termasuk kaum tani dan rakyat tertindas lainnya terus dibelenggu dan didesak sampai tidak ada tempat lagi untuk mengembangkan kehidupannya. Klas buruh dan kaum tani serta golongan rakyat lainnya semakin ditekan dan dihisap, dan imperialisme dunia maupun rezim reaksioner dalam negeri melalui berbagai langkah ekonomi dan politiknya untuk menyelamatkan diri dari terpaan krisis justru melempar beban krisis itu ke pundak para kalas buruh dan kaum tani serta seluruh rakyat tertindas lainnya.

Dengan demikian, situasi ini pasti akan menciptakan syarat-syarat yang lebih matang bagi perjuangan sengit antara klas buruh, kaum tani dan golongan rakyat tertindas lainnya melawan imperialisme, feodalisme dan para kapitalisme birokrat di berbagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal, tak terkecuali di Indonesia. Untuk itu, momentum Mayday di Indonesia hendaknya tidak hanya mencerminkan perjuangan kelas buruh, tetapi lebih dari itu adalah perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat tertindas di Indonesia dengan aliansi dasar klas buruh dan kaum tani.

Kita melihat penindasan yang begitu hebat dialami oleh rakyat saat ini adalah akibat dari bercokolnya kekuatan Imperialisme asing di Indonesia yang masuk dan kokoh berdiri atas bantuan para pembantunya -para borjuasi besar komprador yang saat ini di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono  (SBY-Boediono)-. Sebagai bawahan atau boneka Imperialis tentu SBY­-Budiono harus menuruti segala kehendak tuan  Imperialisnya yaitu AS. Di bawah rejim penghamba Imperialis inilah rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, berbagai cara digunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami bahwa Imperialisme sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja (buruh).

Selain borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat, Imperialisme juga menggunakan sisa–sisa sampah feodalisme yang saat ini masih bercokol di Indonesia yang dimanifestasikan pada tuan–tuan tanah lokal seperti Jusuf Kalla, atau PTPN dan Perhutani. Melalui kolaborasi tiga poros utama (Komprador-Kapitalis Birokrat-Tuan Tanah) di bawah kepemimpinan SBY-Budiono inilah Imperialisme dengan leluasa menggerakkan roda penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Petani disingkirkan dari tanah–tanahnya, jutaan petani hidup dalam kemiskinan. Padahal Indonesia selama ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di Indonesia sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri.

Dalam sejarah Negara agraris ini, Indonesia mampu satu kali swasembada pangan yaitu di tahun 1986. Selain tahun 1986, Indonesia hanyalah Negara pengimpor bahan pangan yang tiap tahun kian meningkat jumlah impornya. Saat ini di pulau Jawa yang merupakan basis utama penghasil beras di Indonesia, petani rata–rata hanya memiliki tanah di bawah 0,5 hektar dan sebagian besar petani sekarang menjadi buruh tani.

Atas keadaan ini SBY-Boediono lebih memilih memperluas tanah untuk perkebunan dan pembangunan industri daripada harus memberikan tanah untuk kaum tani yang pada hakikatnya untuk kesejahteraan dan pembangunan industri nasional. Kebijakan SBY-Boediono justru tidak sedikitpun bisa memberikan harapan untuk petani hidup sejahtera. Justru kebijakan yang dikeluarkan rejim semakin menindas dan menghimpit penghidupan petani.  Perampasan tanah (land grabbing) kian sering terjadi bahkan seringkali disertai dengan cara–cara keras, seperti intimidasi, penangkapan bahkan penembekan terhadap petani. Berbagai jenis produk perundang–undangan seperti Perpres No.20 tahun 2003 tentang tanah untuk kepentingan publik sering dijadikan alasan untuk merampas tanah petani. Di tengah perampasan tanah petani oleh Negara, petani juga dihadapkan pada persoalan subsidi bagi sektor pertanian yang dicabut oleh Negara. Hal ini mengakibatkan melambungnya harga kebutuhan bagi pertanian seperti bibit, pupuk dan pestisida, karena tidak diimbangi dengan perlindungan (proteksi) pemerintah untuk hasil pertanian. Akhirnya petani harus berhadapan dengan begitu banyak persoalan, mulai persoalan kepemilikan tanah, rendahnya upah untuk buruh tani, mahalnya biaya kebutuhan untuk pertanian, rendahnya harga produksi pertanian, belum lagi petani harus berhadapan dengan tengkulak dan tukang ijon.

Pendidikan saat ini dipandang sebagai salah satu sektor yang dapat mendatangkan keuntungan yang besar, sehingga dengan cara yang sistematis pendidikan telah diatur sedemikian rupa untuk dapat mendatangkan keuntungan. Historis pendidikan di negeri ini masih menyisakan kabut gelap bagi rakyatnya. Pendidikan pada setiap masa, hanya dijadikan alat legitimasi penindasan bagi penguasa.

Berbagai kebijakan dan gagasan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang kemudian dipatenkan melalui konstiusi untuk melegitimasi perampasan hak rakyat dan meraup keuntungan melalui lapangan pendidikan. sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS), Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang memasukkan pendidikan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor bisa menanamkan investasinya dalam sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Kenyataannya, kebijakan tersebut tidak pernah terbukti mampu membawa pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas hingga dapat menjamin kelangsungan hidup rakyat yang lebih sejahtera, kebijakan tersebut kemudian justru diperkuat lewat kebijakan baru yaitu Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang ditetapkan tangal 16 Desember 2008 kemudian di Undangkan (UU NO. 9 Tahun 2009) pada tanggal 17 Januari 2009. Kebijakan ini justru membawa dampak yang makin buruk bagi rakyat, hilangnya kesempatan bagi anak buruh dan anak tani untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi karena mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik dan orang tuanya.

Kenyatan ini adalah bukti kongkret terjadinya komersialisai pendidikan di Indonesia. Meskipun tanggal 30 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi telah mencabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tapi kebijakan tersebut tidak sama sekali bertujuan untuk menghentikan paraktik komersialisai pendidikan di Indonesia. Dicabutnya UU BHP ini bukanlah semata-mata atas dasar niat baik pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk mengenyam pendidikan dan memajukan budaya Masyarakat Indonesia, akan tetapi kebijakan tersebut  merupakan bagian dari desakan kuat  gerakan massa yang berjuang dengan gigih tiada hentinya menolak dan menuntut pencabutan Undang-undang tersebut. Kemenangan ini harus terus diakumulasikan dan harus mampu dijadikan sebagai inspirasi yang mampu mendorong motivasi kita untuk berjuang semakin gigih ke depan.

Dicabutnya UU tersebut, bukan berarti payung hukum atas komersialisasi pendidikan telah sirna dari tanah air. Segudang peraturan yang mendukung usaha dagang pendidikan masih bercokol, sebut saja UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP 60/61 1999 tentang Otonomi Kampus, berbagai PP yang menetapkan PT BHMN, UU No.1 tahun 2004 tentang pembendaharaan Negara dan PP No.23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum/BLU. Yang menyakitkan lagi pasca-BHP dibatalkan berbagai kampus tidak melakukan penyesuaian atas dihapusnya kebijakan tersebut, melainkan berbagai kampus-kampus negeri melaui rektornya kembali meminta adanya payung hukum baru selain BHP.

Kita masih ingat, saat pemerintah menggadaikan pendidikan. Melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Sebelumnya Pemerintah melakukan Kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), tentang Hinger Education Project dengan total utang 102,6 juta dolar AS mulai tahun 1993 sampai 2001. Bantuan tersebut di berikan untuk enam kampus PTN dan 11 Kampus PTS di Indonesia. Misi dari kerjasama tersebut sama persis  dengan program World Bank yaitu tentang efisiensi dan relevansi Perguruan Tinggi, kebijakan tersebut sesungguhnya mengukuhkan otonomi terhadap kampus. Artinya sampai saat ini perjanjian di atas masih berlangsung, tidak ada sikap resmi pemerintah yang membatalkan berbagai perjanjian tersebut. Biaya SPP masih terus naik secara agresif, uang masuk, DPP (Dana Pengembangan Pendidikan) atau apapun namanya juga tidak ada tanda-tanda untuk diturunkan, apalagi dihapuskan. SBY-Boediono masih tetap dengan pendiriannya untuk mendepak anak-anak buruh, tani dan pegawai rendahan agar semakin menjauh dari bangku kuliah. BHP dicabut, komersialisasi pendidikan jalan terus. Biaya semakin mahal, tidak ada jaminan kualitas dan lapangan pekerjaan.

Mahalnya biaya pendidikan dan berseminya pembangunan gedung dan fasilitas lain dibeberapa sekolah dan perguruan tinggi untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya, ternyata tidak menjamin peningkatan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan Indonesia masih jauh dengan negara-negara lain, bahkan negara di Asia Tenggara sekalipun seperti Vietnam, Malaysia dan Singapura. Pun pengekangan kebebasan Mahasiswa untuk berorganisasi dan berekspresi dikampus membuktikan hilangnya ruang demokrasi di kampus.

Kita memandang imperialisme lewat rejim boneka dalam negeri, bersepakat untuk menghacurkan tenaga produktif (termasuk Mahasiswa) dan terus ditempatkan dalam keterbelakangan. Usaha tersebut sangat tampak dalam menjadikan pendidikan sebagai ajang bisnis, komersialisasi semakin terang ketika Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) disahkan SBY pada akhir tahun 2008. Produk hukum ini sejatinya mengubah pendidikan menjadi ladang bisnis (komoditi/barang dagangan) untuk mendatangkan akumulasi kapital dengan membuka kesempatan investasi, pembayaran pajak, dan tentunya pungutan biaya pendidikan yang semakin mahal dari pelajar dan mahasiswa. Mahalnya biaya pendidikan ini juga mengancam rakyat luas yang mayoritas adalah klas buruh dan kaum tani.

Lebih lanjut, pengekangan terhadap demokratisasi di kampus masih membelenggu hak-hak mahasiswa untuk berekspresi, berpendapat dan berorganisasi. Upaya-upaya secara sistematis untuk membungkam demokratisasi di kampus begitu nyata terlihat. Mulai dari pengetatan kuliah dan sistem presensi, pemberlakuan kode etik, jam malam, larangan bagi organisasi ekstra (ormas) melalui Surat Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor: 26/Dikti/Kep/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus, intimidasi dan ancaman pengurangan nilai terhadap mahasiswa yang kritis terhadap kehidupan kampus, pelarangan demonstrasi, hingga pada represifitas secara langsung dengan kekerasan.

Sistem pendidikan yang demikian ini, hanya mampu mencetak tenaga kerja murah siap pakai di pasar tenaga kerja dan calon-calon pengangguran. Dengan produksi setengah feodal yang mengandalkan pertanian terbelakang dan industri bergantung, tidak dibutuhkan sarjana ahli dengan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, tetapi siap kerja kapan saja dan dibayar murah. Tidak ada yang namanya link and match, karena banyak sarjana yang justru nganggur dan bekerja di luar displin ilmunya. Ketatnya persaingan kerja juga membuat dana sekian juta yang dihabiskan selama kuliah hanya terbayarkan sebagai sales atau seorang yang frustrasi di rumah sehari-hari.

Ada  hal urgen yang patut dikerjakan menyangkut nasib gerakan mahasiswa ke depan di negara ini, yaitu sebuah upaya  penyiasatan agar gerakan mahasiswa berdampak positif bagi peningkatan kualitas nilai-nilai kemanusiaan dan politik mahasiswa dengan tanpa mengabaikan kesatuan perjuangan bersama buruh, tani, miskin kota, perempuan dan pemuda.

Gerakan mahasiswa harus berperan mengembalikan potensi fitrah intelektual yang dalam perkembangan berkenegaraan tentu saja  mahasiswa butuh unsur-unsur yang dapat mereflesikan gerakannya. Gerakan yang mengandung unsur merefleksi dan mendidik pun dapat dijadikan ruang intelektual dan budaya.

Belakangan, gerakan mahasiswa sepertinya sengaja dihadirkan dengan latar anarkisme dan sporadis, tindakan demikian tentu saja penting dikritisi. Dimana letak nilai intelektualitasnya? Sementara dalam catatan sejarahnya, gerakan mahasiswa seolah tak memiliki penyelesaian. Menggantung. Rawan dimanfaatkan elit oposisi pemerintah. Dan kekinian gerakan mahasiswa seolah terjebak karier politik. Lantas seperti apa gerakan mahasiswa ke depan jika kondisi seperti ini tetap kita biarkan?

Dengan memanfaatkan momentum tragedi semanggi, kebangkitan nasional dan keruntuhan razim Soeharto akibat Reformasi, FPR Bandung, mencoba membedah dan mereflesikan gerakan mahasiswa dari sudut pandang sejarah dan fenomena kekinian agar dapat meneropong gerakan mahasiswa ke depan. Terutama di kota Bandung.

Tentunya, kegiatan ini tidak hanya sebatas temu kangen antar mahasiswa dan aktivis gerakan mahasiswa, akan tetapi bagaimana kegiatan ini mampu merumuskan sebuah sikap atau resolusi bagi kemajuan gerakan mahasiswa di Indonesia.

Pernyataan ini merupakan pengantar bagi kita semua, pemuda mahasiswa dan seluruh rakyat tertindas Indonesia akan makna perjuangan pemuda dan mahasiswa yang tidak terpisahkan dengan perjuangan kaum buruh pada tahun 1886, yang menuntut diberlakukannya ketentuan 8 jam kerja perhari. Tuntutan ini tidak semata berarti berkurangnya jam kerja buruh, melainkan memiliki makna berakhirnya gurita perbudakan dan sisa-sisa penghambaan dalam hubungan antarmanusia yang didasarkan pada kewajiban kerja untuk memperoleh imbalan upah.

Imperialisme telah menebarkan ancaman dan serangan yang berlapis dari berbagai lapangan kehidupan pemuda dan mahasiswa; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), memaksakan beban pekerjaan yang jauh lebih tinggi tanpa jaminan keselamatan yang memadai, menekan, menindas dan mengurangi upah bagi pemuda pekerja, menghancurkan kebebasan berserikat, segala perundangan dan atauran negara yang sejatinya bertujuan untuk menghancurleburkan semangat, cita-cita dan  pemuda mahasiswa serta seluruh rakyat. Semua itu telah menciptakan suasana sosial yang diskriminatif, rakyat bahkan pemuda dan mahasiswa dihisap secara ekonomi, ditundukkan secara politik, dan diasingkan secara budaya.

Tentu, semua itu harus diakhiri! Pemuda, mahasiswa dan segenap rakyat tertindas harus bersatu. Menebar benih perlawanan, memelihara semangat perjuangan, untuk menuai kemenangan-kemenangan dan membangun tatanan baru. Tatanan yang mengedepankan kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan di muka bumi.

Dengan pendirian itu, Front Perjuangan Rakyat (FPR) kota Bandung mengukuhkan dan menggali kembali semangat Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dan Reformasi yang diagung-agungkan itu, menghadirkannya dalam suasana perjuangan kekinian, untuk menjadi bekal perjuangan di masa datang. Dan dalam momentum ini kami menyatakan sikap dan menuntut:


  1. 1. Hentikan segala bentuk Komersialisasi Pendidikan!

  2. 2. Sediakan lapangan pekerjaan dengan upah layak bagi pemuda dan seluruh rakyat!

  3. 3. Berikan pendidikan gratis untuk anak buruh dan anak tani!

  4. 4. Berikan Jaminan Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Berorganisasi bagi pemuda, mahasiswa dan seluruh rakyat!

  5. 5. Hentikan perampasan tanah petani dalam bentuk apapun!

  6. 6. Kembalikan tanah-tanah yang dirampas kepada rakyat dan kaum tani!

  7. 7. Hentikan segala bentuk intimidasi dan teror terhadap pemuda, mahasiswa dan seluruh rakyat yang berjuang menuntut hak-hak sosial-ekonomi dan sipil demokratisnya, serta berikan kebebasan berserikat dan berpendapat di muka umum!

  8. 8. Hentikan penggusuran terhadap para pedagang dalam bentuk apapun serta berikan kebebasan dalam menjalankan aktivitas ekonominya!

  9. 9. Tangkap, Adili dan Sita seluruh harta para koruptor, termasuk pelaku korupsi dalam dalam bidang pendidikan, serta menuntut para pengusaha yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak kaum buruh!


10. Usut tuntas kasus  korupsi Century dan berbagai kasus korupsi lainnya!

11. Tolak campur tangan IMF, WB, ADB, WTO dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya terhadap kebijakan ekonomi, politik, dan pendidikan Indonesia, serta tolak utang luar negeri yang telah menjadi beban rakyat!

12. Tolak segala bentuk kerjasama yang timpang dengan negara-negara imperialis dan menuntut pemerintah Indonesia untuk keluar dari perjanjian perdagangan bebas baik bilateral maupun multilateral!

Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen rakyat untuk bangkit bersama, merapatkan barisan dengan rakyat lainnya, berjuang menuntut hak-hak kita yang telah dirampas.



Hidup Rakyat Indonesia!

Bandung, 20 Mei 2010

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR) BANDUNG

(FMN, HMR, FAMU, ELSAK UIN, BEM FIKOM UNISBA, SP FARKES, PCR, serta elemen rakyat lainnya)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.