Translate

APA KABAR GERAKAN BURUH?

Tinggal menunggu hari menjelang May Day (Hari Buruh Internasional) 2010. Momentum yang jatuh setiap tanggal 1 Mei tersebut, dalam beberapa tahun terakhir kembali populer di kalangan publik tanah air—terutama pascalengsernya rezim Orde Baru, yang sempat melarang peringatan ini akibat sindrom communisto-phoby yang dideritanya. Kekinian, gelombang protes anti-ketidakadilan yang dilakukan buruh—juga rakyat tertindas lainnya—terus mewarnai peringatan May Day. Mereka berbaris, berarak, dan meneriakan aspirasinya di halaman-halaman gedung pemerintahan. Sejumlah tuntutan yang mengemuka adalah penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing, pemenuhan upah layak, serta kebebasan berserikat.

Berbicara gerakan  buruh di tanah air, teks-teks sejarah sedikit-banyak akan menautkannya pada peristiwa kelam Tragedi ’65. Pascahuru-hara politik yang berujung pada tewasnya sejumlah jendral, buruh kemudian diasosiasikan sebagai ‘setan’ komunis; sementara komunisme adalah ajaran haram yang harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Walhasil, banyak buruh yang saat itu vokal menyerukan perubahan menjadi bagian dari tiga juta (menurut Sarwo Edie Wibowo) korban penghapusan sejarah komunisme di Indonesia yang dikomandani oleh Jendral Soeharto.

Naiknya Soeharto sebagai kepala negara melalui satu fase paling berdarah sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, yaitu tragedi ’65, yang kemudian oleh rezim Orde Baru diistilahkan “Penghiantan G 30 S/PKI”. Puluhan ribu nyawa rakyat Indonesia lenyap, karena dianggap terkait dengan PKI dan tragedi ’65. Padahal, sejarah kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terbunuhnya sejumlah petinggi militer hingga kini masih simpang siur kebenarannya.

Selama tiga puluh dua tahun riwayat Soeharto membangun dinasti Orde Baru-nya, di samping dalam persoalan politik, hak-hak sosial-ekonomi buruh juga dikebiri melalui berbagai cara, dari mulai penerbitan peraturan yang tidak berpihak hingga tindakan represi secara langsung. Setiap upaya yang dijalani buruh untuk merebut haknya selalau dihadapi dengan teror, pemenjaraan, hingga penculikan dan pembunuhan. Sejatinya,

Sejak saat itulah, gerakan buruh dan gerakan rakyat tertindas lainnya yang menuntut pemenuhan hak pada pemerintah, selalu dikaitkan dengan PKI dan komunisme. Setiap aksi buruh yang berani mengekspresikan ketertindasannya dan mengungkapkan tuntutannya, selalu disudutkan dengan tuduhan sebagai (orang) PKI atau Komunis.

Padahal, dibedah dengan teori apapun, adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, buruh yang digaji rendah dan tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari akan menuntut kompensasi yang sebanding atas tenaga dan pikiran yang telah mereka curahkan dalam proses produksi. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat para petani yang sudah turun-temurun menggarap sawah dan ladang mereka, marah dan melawan, saat mereka hendak digusur dari tanahnya atas nama “sertifikat” yang dimiliki perusahaan perkebunan swasta, perusahaan agraria milik negara, ataupun instansi militer. Adalah suatu kewajaran dan keniscayaan, saat mahasiswa yang mempunyai kapasitas berpikir dan energi yang lebih, menuntut haknya atas pendidikan yang berkualitas dan terjangkau, serta bergabung dengan elemen-elemen rakyat lainnnya, termasuk buruh, untuk bersama-sama berjuang menghancurkan sistem yang menjadi biang atas segala ketidakadilan yang terjadi.

Di zaman Orde Baru, semua aktivitas kristis tersebut selalu divonis dengan tuduhan “subversif” atau “makar”. Padahal, menurut opini-opini kritis yang berkembang, sikap diktator Soeharto tidak terlepas dari mandat para oligarki yang menguasai dunia, yaitu kaum Kapitalis yang saat ini memegang kendali atas negeri-negeri industrial-adikuasa, salah satunya Amerika (serikat).

Kebijakan paling krusial di awal pemerintahan Soeharto, yaitu Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang terbit pada tahun 1967, bisa menjadi salah satu dasar ilmiah untuk mengamini premis di atas. Inilah tonggak awal hadirnya fase penjajahan jilid dua, yaitu penjajahan dengan kekuatan ekonomi, yang berlangsung hingga hari ini. Dengan ini, Indonesia praktis menjadi bulan-bulanan para pemodal yang berkepentingan dengan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah-melimpah, serta pasar yang luas. Alhasil, buah dari semangat “dengan modal sekecil-kecilnya; harus untung sebesar-besarnya”, buruh di tanah air menjadi korban eksploitasi nafsu serakah para Kapitalis.

Dengan segala cara, kaum Kapitalis mengamankan hegemoni kekuasaannya. Di banyak negeri di dunia, ia mendirikan pemerintahan “boneka”, yang harus selalu siap menjalankan semua titahnya. Hal ini terbaca dari upaya pemerintah kita membatasi berkembangnya gerakan buruh, yang secra teoritik dan empiris merupakan musuh utama dari sistem kapitalis, dan mengancam eksistensi mereka.

Inilah dasar mengapa gerakan buruh selalu mendapat perhatian khusus dari pemerintah “boneka”, dan terus berupaya dilemahkan. Pada zamannya, Orde Baru mengukuhkan stigma bahwa gerakan buruh merupakan gerakan komunis, sehingga tidak boleh dibiarkan. Untuk mendukung usaha ini, direkalah segudang sejarah “palsu” demi membangun citra betapa “nazis”-nya faham dan orang-orang komunis.

Kekinian, sejarah “palsu” tersebut mulai terkuak. Opini kesejarahan yang lebih faktual mulai ramai diwacanakan, sebut saja prihal dalang di balik tragedi ’65, kontroversi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), hinga seknario penculikan dan tewasnya para petinggi militer.

Namun sayangnya, temuan-temuan ini tidak pernah sepenuh hati disambut oleh pemerintah. Ini sangat beralasan, sebab, jika sejarah “palsu” tersebut terklarivikasi dan semuanya menjadi terang, tidak ada lagi senjata pemerintah “boneka” dan para pemodal untuk menghalau musuh-musuhnya, terutama gerakan buruh.

Sampai kapanpun, sejarah palsu tersebut niscaya akan tetap dilestarikan. Keuntungan utama yang dituai oleh pemerintah “boneka” dan para pemodal adalah terpendamnya sentimen sesama rakyat, yang suatu saat bisa diledakan guna mengadu-domba, dalam rangka mengamankan kepentingan dan dominasinya. Dari sini kita bisa membayangkan bagaimana akan terjal dan penuh keloknya perjuangan yang harus ditempuh oleh buruh dalam menghancurkan sistem yang menjadi biang ketertindasan mereka, dan merebut kemerdekaan atas hak-haknya. Untuk itu, buruh serta elemen tertindas lainnya harus lebih solid dan berjuang lebih keras.***

Oleh Andi Nurroni

bm#2.April.2010

[gallery]

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.