Translate

Bagian Satu: "Laki-laki dan Belati"

Oleh Asep Pram



Laki-laki dan Belati


(Sebuah Cerita)


Seorang laki-laki berjalan perlahan. Matanya menatap kosong tanah yang akan dilaluinya. Sesekali ditendangnya kerikil seperti ingin melampiaskan amarah. Wajahnya sebeku salju, hampir tak ada jejak bahagia.

Di depan sebuah toko, ia berhenti tanpa sedikit pun mengangkat wajah. Ia hapal jalan itu, juga deretan toko-toko itu. Namun ia tidak tahu barang apa saja yang diperjualbelikan. Hanya terdorong oleh keinginannya untuk berhenti, maka ia pun berhenti.

Ia baru mengangkat wajah setelah merasa ada seseorang di hadapannya. Mungkin penjaga toko, pikirnya.

“Ada belati?” ia mulai bertanya.

Yang ditanya tampak mengulum senyum. “Oh maaf, kami hanya menjual obat-obatan. Ini apotik!”. Si penjaga toko jadi bertanya-tanya dalam hati: apakah laki-laki ini tidak bisa baca? Hmm... di negeri yang sudah lebih dari setengah abad merdeka, masih ada rakyatnya yang belum bisa membaca.

Merasa ditertawakan, laki-laki itu segera beranjak. Sedikit pun ia tak mempedulikannya. Jangankan ketololan, penderitaan orang lain pun, bagi rakyat negeri ini merupakan bahan tertawaan, pikirnya. Jika harus tersinggung, sejak dulu seharusnya orang-orang yang hidupnya menderita itu melampiaskan ketersinggungannya, tapi mereka tak melakukannya.

Laki-laki itu kembali masuk ke sebuah toko. Ia berharap barang yang dicarinya ada di tempat ini.

Dengan ‘senyuman selamat datang’, perempuan muda penjaga toko mempersilahkan masuk.

“Ada pisau belati?”

“Tidak ada,” perempuan itu menjawab  pendek. Sepertinya ia masih ingin melanjutkan pembicaraan, tapi ada sesuatu yang membuat dirinya tak mampu berkata-kata. Ia menyukai mata laki-laki itu. Dari caranya memandang seolah ada bola api yang menyembur dari kelopak matanya dan membakar apapun yang dilihatnya. Dalam satu wajah, ada sorot mata yang tajam dan garis muka yang beku. Sebuah perpaduan yang menarik, pikirnya.

“Anda pemburu?” setelah berhasil mengumpulkan tenaga, perempuan muda itu memulai pembicaraan. Ia begitu berhati-hati seolah tidak ingin membuat tersinggung orang yang diajak bicara.

“Begitulah...” laki-laki itu menjawab. Ia berharap perempuan muda di sampingnya segera menimpali. Tapi ternyata tidak. “Saya sedang bersiap-siap memburu binatang paling buas”.

Sekilas ia melihat perubahan air muka perempuan itu. Seperti senang karena perkiraannya tepat, sekaligus khawatir karena ia sedang berhadapan dengan laki-laki pemburu. Paling tidak, pikirnya, orang yang berburu sama buasnya dengan binatang buruannya. Terbayang olehnya sekelompok binatang buas sedang mencabik-cabik mangsa dengan gigi geriginya yang tajam.

“Harimau, macan tutul, singa...?” ia mengira-ngira.

Laki-laki itu menggeleng. “Lembu jantan yang renta.”

Perempuan muda penjaga toko mengerutkan kening. Apa orang ini sungguh-sungguh, pikirnya. Ia ternyata hanya memburu seekor lembu. Lembu yang renta pula.

Seolah mengerti pada apa yang sedang dipikirkan si penjaga toko, laki-laki itu menjelaskan bahwa semua binatang di jaman seperti sekarang ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi buas. Itu terjadi karena mereka merasa hidupnya sudah terancam: anak-anak mereka terancam, dan tempat tinggal mereka juga terancam.

“Siapa yang membuatnya terancam?” tanya perempuan itu.

“Peradaban.”

“Peradaban?”

“Ya!”

“Binatang memiliki peradaban?”

“Tentu”

“Peradaban apa?”

“Peradaban binatang”

Menurutnya, segala yang ada, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan binatang adalah peradaban binatang.

*


Sepagi ini orang-orang sudah bergegas. Kendaraan mengantri di pintu tol menunggu selembar tiket untuk kemudian melesat hendak menyaingi kilat. Sepeda motor sibuk menyalip: baginya jarak sejengkal jari adalah kesempatan yang akan melapangkan pintu uang, karenanya tidak boleh disia-siakan.

Seorang bocah pengamen memaki-maki pengendara motor karena pantatnya tersenggol ekor si kuda Jepang. Kantung plastik tempat ia mengumpulkan uang, lepas dari genggaman. Tujuh koin terserak di aspal. Tubuh ringkihnya  membungkuk, bersiap untuk memungut kembali uang hasil ngamen sejak pukul lima pagi. Namun malang, sebelum tangannya berhasil memunguti koin, tubuhnya terguling, kemudian tersungkur di tepi trotoar. Sebuah sepeda motor menabraknya. Pengemudinya berlari menuju pos polisis untuk menghindari pukulan massa. Ia mengaku tidak melihat si bocah, karena begitu terburu-buru dan ditunggu majikannya di kantor.

Laki-laki dengan wajah beku kembali menyusuri jalan kota, tapi tidak tergesa-gesa seperti para pemburu waktu. Ia bahkan seperti ingin menikmati jengkal demi jengkal langkahnya. Ia tidak sedang mencari apa-apa. Ia hanya mencari pisau belati.

Di depan sebuah kedai kopi ia menepi. Dipesannya segelas kopi hitam. Sebuah rutinitas ini seolah menjadi takdir yang harus dijalaninya setiap pagi: segelas kopi, dan beberapa batang rokok jika ada. Inilah kebiasaan yang diwariskan ayahnya. Ia pun percaya petuah sang ayah bahwa kebiasaan itu cukup untuk menahan lapar seharian. Bukan sebuah pilihan ideologis, melainkan sebuah strategi survival agar hidup tetap melaju.

Dengan ujung mata, ia memperhatikan cara penjaga kedai menyiapkan pesanannnya. Ia tidak berniat ingin tahu caranya menuang kopi, tapi masa lalu telah mengajarkannya untuk selalu curiga. Selalu ada lahar panas di balik bisunya gunung, lebih-lebih yang nyata seperti gelombang laut: selalu menyediakan ancaman. Di balik manisnya senyum tidak hanya da sederet gigi, tapi ada peranti untuk menyusun strategi dan bersiasat.

Setelah sejenak mengira-ngira, ia menyimpulkan bahwa si penjaga kedai bukanlah ancaman. Ia pun mengajaknya bercakap-cakap menunggu kopi surut di gelas. Topik obrolan bermacam-macam: selalu beralih ke lain topik sebelum yang sedang dibahas sampai pada tuntas. Mulai dari kelakuan petugas Satpol PP yang kerap menggertak atau numpang minum kopi dan minta gratis hingga masalah asal-usul keluarga. Satu yang tidak mungkin terlupakan: belati:

“Untuk apa?” pemilik kedai terheran-heran. Ketika kebanyakan orang berebut mencari uang, mengapa ia susah payah mencari belati, pikirnya. Ditatapnya laki-laki itu. “Sepertinya benda itu sangat penting buat Anda?”

“Betul...”

“Untuk apa?” pemilik kedai menghentikan pekerjaannya. Ia duduk di samping laki-laki itu, mendekat. Sebuah rencana pembunuhan terbayang di benaknya.

“Kenapa Bapak begitu ingin tahu?”

“Karena saya bisa membantumu mendapatkan benda itu. Jadi, sebelumnya saya harus tahu untk apa Anda begitu ingin mendapatkan benda itu...”

Menurut laki-laki itu, ia bukannya tidak ingin bercerita, tapi tidak sanggup untuk mengingatnya. Mengingat sebuah kesakitan, bukan hanya menaburkan garam pada luka, tapi juga seperti membuat luka baru di tempat yang baru.

“Bicaralah, Cuma beberapa menit. Tak akan seberapa sakit ketimbang harus terus memendamnya bertahun-tahun,” penjaga kedai meyakinkan.

“Saya jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis itu pun mencintai saya. Kami sepakat untuk menikah di tanggal kelahirannya, di tahun yang telah kami sepakati. Di tahun yang menurut kami tepat, di mana saat itu kami sudah sama-sama siap. Namun di tengah usaha kami menyiapkan segalanya, ayah perempuan itu memisahkan kami begitu saja. Terlalu lama menunggu, katanya. Seorang laki-laki telah dipersiapkan untuk gadis itu. Ya, sebuah kisah cinta Siti Nurbaya diulang untuk ke sekian kalinya. Selian itu, ayahnya juga kalau aku...”

“Lanjutkan...” penjaga kedai tidak sabar.

“Ia tahu kalau aku anak seorang PKI...”

Penjaga kedai berkali-kali menganggukkan kepala.

“Itulah puncak dari rasa sakit yang kualami hanya karena ayahku aktivis PKI. Sejak itu aku menyimpan dendam...”

“Lalu, belati itu....” pemilik kedai menebak-nebak.

“Ya. Hanya dengan belati itu dendam ini akan tuntas. Tidak ada cara lain.”

“Benarkah? Tidak adakah yang lebih baik dari itu?”

“Maafkan... Aku sudah tidak percaya pada kebaikan. Sudah tidak ada harganya.”

Penjaga kedai menarik nafas dalam-dalam kemudian melepaskannya seperti ingin melepaskan beban di dadanya. “Masih ada waktu untuk berpikir. Pikirkanlah sekali lagi...” katanya menasehati.

*


Inilah belati itu. Keping baja yang dibakar. Dibentuk sedemikian rupa. Ada nama perempuan itu: LARASATI. Kepada benda inilah ia menitipkan sesuatu: dendam yang sudah memerah. Sama sekali ia tidak ragu. Hanya dengan cara inilah segalanya akan berakhir.

Seperti biasa, malam tetap hitam. Langit tetap seperti itu, seperti halaman tak terhingga yang menawarkan ruang kepada anak-anak untuk bermain. Ada bintang yang dapat berkedip dan menawarkan lima sisi untuk dipilih. Katanya untuk anak laki-laki belajar melompat dari satu sisi ke sisi lainnya sebab hidup mengharuskannya demikian, mengimbangi bumi yang terlampau lincah berputar. Bulan juga tetap bulat, sesekali mempercantik diri dengan pantulan cahaya. Katanya untuk anak perempuan belajar berbedak.

Betapa kagetnya ia, orang yang baru saja keluar dan kini berada dekat dari tempat persembunyiannya itu adalah kekasih yang dicintainya. Seribu degup menghentak jantungnya. Genggamannya perlahan mengendor. “Kenapa ada di sini?” ia mengumpat dalam hati.

Laki-laki berwajah beku itu merasa iba setelah melihat keadaan kekasihnya. Ia tahu kalau kekasihnya itu sangat mencintai- nya. Seperti dirinya, perempuan itu pun sama-sama mengalah. Mengorbankan cintanya demi hormat dan bahagianya orangtua.

Pergulatan kembali terjadi dalam otaknya. Ia berpikir keras memilih kembali keputusan: melampiaskan dendam atau mengalah total tanpa berkutik menerima segala luka. “Kalau orangtuanya mati dibunuh, ia akan semakin bersedih, sebab telah kehilangan dua orang yang dicintainya: orangtuanya dan diriku,” pikirnya. Lalu, bagaimana dengan dendamnya? Cinta dan keinginan agar hidup perempuan yang dicintainya bahagia, telah membuat dirinya harus kembali mengulur ujung simpul: ia harus membakar segala dendam.

ia memutuskan untuk tidak membunuh orangtua kekasihnya. Ia ingin orangtua kekasihnya itu bahagia dengan calon manantu pilihannya sendiri. “Biarlah luka ini kumamah sendiri. Berbahagialah, kalian!”

Namun, ketika melangkah hendak pergi, ia baru sadar, di samping kanan dari tempatnya sembunyi terdapat sebuah panggung kecil yang belum selesai didirikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, untuk apa panggung itu dibuat. Pertanyaan kemudian terjawab setelah ia melihat dua buah tiang bambu dengan hiasan indah janur di ujungnya. “Sebuah tanda kepemilikan laki-laki atas perempuan, seperti srigala jantan yang menandai wilayah kekuasaannya dengan air seni sendiri. Pernikahan...  mungkinkah ia menikah hari ini? Kenapa aku tidak diundang?”

Sumbu mesiu kembali terbakar. Pijarnya memendar mencipta kilatan-kilatan amarah. Laki-laki itu belum sepenuhnya mampu menerima segala yang terjadi. Luka kembali disayat perih. Tapi kini, laki-laki calon suami kekasihnya itu yang menjadi sasaran, sebab ia tahu: laki-laki itu telah mengungkap sisi nista jati dirinya sebagai anak seorang PKI di hadapan orangtua perempuan itu sehingga tak lagi merestuinya.

“Anjing! Kubunuh laki-laki itu dengan belati ini. Ya, dialah yang telah membuat semuanya tak karuan. Dialah yang sebetulnya tidak punya perasaan itu. Bersiaplah. Aku akan datang, bukan untuk mengucap selamat. Aku akan datang untuk menancapkan belati ini di tubuhmu!” suaranya terdengar gemetar.

Ia kembali mengawasi wajah kekasihnya. Perempuan itu duduk di teras rumah, tampak sedang bersedih dan gelisah. Tak lama ia berdiri, berjalan perlahan ke sana ke mari. Tiba-tiba matanya mendongak ke atas, ke langit malam yang berawan kelabu. Seperti ingin memandang sesuatu.

Pintalan ingatan akan masa lalu berloncatan. “Kasihan engkau, kekasihku. Aku tahu, engkau pasti ingin melihat bulan dan bintang yang sering kita tatap dulu. Namun sayang, seperti kita saat ini, mereka tidak akan bersinar lagi. Mereka sedang berduka. Lihatlah, langit hitam memendam badai, petaka sebentar lagi tiba memupus lukisan harapan yang kita gambar di atas tanah kemarau. Sebenarnya, aku tidak tega melihat engkau bersedih. Aku tidak ingin mengakhiri semua ini. Aku setuju dengan ajakanmu untuk pergi ke sebuah kampung, menikah di sana, membangun rumah kecil dan hidup sederhana, tapi aku tidak ingin menjadi penyebab retaknya hubunganmu dengan orangtua. Tak akan kita dapati ketentraman jika keinginan itu tetap kita paksakan tanpa restu orangtua. Aku akan terus mencintaimu, meski  engkau tak sepenuhnya kumiliki. Tegarlah wahai kekasih, cobalah terima ini semua tanpa beban. Aku tidak kuat melihat air matamu itu,” ia membalikkan muka karena melihat perempuan yang dicintainya mengusap sepasang matanya yang basah, rebah, dan pasrah.

Dengan mata basahnya, perempuan itu masih tetap memandang langit malam. Benar. Ia ingin melihat bulan dan bintang. Ia ingin menitipkan kabar untuk laki-laki yang dicintainya. “Keluarlah kalian, bulan dan bintang. Sampaikan pada laki-laki kekasihku, ... aku minta ia datang malam ini juga sebelum subuh tiba. Aku akan memberitahukan tentang pernikahan yang tidak kuinginkan ini. Aku…akan menikah….besok.” Tangis tak henti mengalir seperti gerimis panjang. “Kehadiranmu sekarang sangat berarti bagiku, … sangat berarti. Ini adalah malam penghabisan aku merindukanmu, detik terakhir  perasaan cintaku terhadapmu. Subuh besok, aku mulai berdandan menjadi pengantin. Mulai subuh besok pula aku akan berusaha menerima laki-laki pilihan orangtuaku itu. Aku harus bisa menerimanya, sebab bagaimana pun, ia adalah suamiku. Aku harus berusaha melayani dan berbakti kepadanya, mendukungnya dari belakang, menjadi tempat berlabuh, menjadi penenang dikala gundah meresah, menjadi istri yang jujur dan tulus. Bukankah itu perkataanmu tentang kewajiban istri terhadap suami? Aku akan menjalankan semua perkataanmu itu pada laki-laki yang menjadi suamiku, meskipun laki-laki itu bukan dirimu. Datanglah ke sini malam ini juga. Hapuskan kesakitan dan dendam itu, sebab kamu sendiri yang memintaku untuk dapat menerima segala, yang pahit sekalipun. Datanglah… dimana kamu malam ini? Ingatkah kamu kepadaku malam ini. Kalau tidak bisa datang, tolong dengarlah segala gundah ini, dengarlah…!” Dalam hatinya, ia ingin sekali laki-laki yang dicintainya datang malam itu. Ia tidak tahu kalau laki-laki yang ia maksud berada sangat dekat dari tempatnya memohon.

Kini perempuan itu menutup muka dan mulutnya dengan tangan berlapis ujung gaun tidurnya. Ia tidak ingin ada orang yang tahu dan mendengar tangisnya. Ia tidak ingin mengecewakan orangtuanya. Sebagai perempuan, dirinya tidak dapat berontak terhadap kenyataan ini dan mangakui bahwa ini semua adalah kesewenang-wenangan dan pemaksaan. Ia ingin sekali menolaknya, tapi yang ia hadapi adalah orangtuanya sendiri, yang telah membesarkannya, mendidiknya, menyekolahkannya hingga seperti saat itu.

Reruntuhan budaya feodalistik yang karatan dan tradisional masih tetap dipertahankan di zaman sekarang ini, pikirnya. Kenapa anak harus selalu menghormati orangtua, sedangkan orangtua bisa sewenang-wenang kepada anaknya tanpa memperdulikan perasaan, pendapat,  dan keinginannya untuk dihargai. Ada kekuasaan apa yang memberikan wewenang penuh orangtua kepada anaknya? Kenapa jika seorang anak menolaknya selalu dihadapkan pada sebuah dosa. Mahluk semacam apakah dosa hingga membuat seseorang mati kutu jika berhadapan denganya? Benarkah dosa itu ada? Atau jangan-jangan hanya sebuah akal-akalan salah satu pihak yang ketakutan.

Melihat perempuan yang dicintainya bersedih, laki-laki itu ingin sekali menghampiri dan mendekapnya erat, membiarkan kepalanya rebah terbenam di dadanya hingga basah berurai air mata. Ia ingin membiarkan perempuan itu mendengar sendiri degup jantungnya, cintanya, sebab cinta tidak hanya butuh kata-kata dan tindakan, tapi juga kepercayaan dan keyakinan. Namun ia sadar bahwa keinginanya itu akan menjadikan segalanya tambah menyakitkan. “Biarlah ia terbiasa tanpa kehadiranku sebab janur kuning calon suaminya telah menghias rumahnya”. Meskipun ia sendiri tidak sepakat dengan pengkultusan janur sebagai simbol sebuah kepemilikan laki-laki atas perempuan. “Aku do’akan engkau bahagia bersamanya, wahai kekasihku. Ingat kembali pesanku tentang keharusan istri terhadap suami. Ingatkan juga suamimu jika ia tidak sesuai dengan keharusan suami tehadap istri, begitulah. Aku turut bahagia jika engkau bahagia, tapi aku sangat menderita jika engkau bersedih. Realisasi cinta tidak selamanya dengan saling memiliki secara fisik, tapi juga perasaan. Cinta di hatilah yang kini kita miliki, maka kenanglah aku wahai kekasih, sebelum engkau menjadi istri laki-laki pilihan orangtuamu itu. Berbaktilah engkau kepada siapapun laki-laki yang menjadi suamimu, jangan kecewakan ia. Sebelum melihatmu menikah, aku akan tetap tinggal di kota ini. Pernikahan itu adalah hari bahagiamu, sambutlah ia dengan senyuman… senyumlah. Kepergianku tak akan menyisakan sesal bila telah melihat engkau tersenyum,” ia terus bergumam.  Hanya hati. Hanya dalam hati.

Keduanya masih tetap di tempatnya masing-masing hingga adzan subuh tiba. Beberapa orang terlihat menuju mesjid. Mereka bersarung dan berkopiah, berusaha menyisihkan waktu tidurnya untuk mengingat Tuhan sebab di antara mereka masih percaya, hanya Tuhan yang wajib disembah dan dituruti, bukan penguasa.

Sebelum pernikahan perempuan yang dicintainya berlangsung, ia menetap di kota itu. Ia sangat terbiasa dengan gaya hidup bohemian. Tidur, baginya bukan masalah. Ia yakin bahwa esensi tidur adalah menghentikan aktivitas kesadaran, membiarkannya istirahat. Memejamkan mata, berbaring, terlentang, kasur, bantal, dan guling adalah sebuah kemanjaan.

Dengan wajah yang sudah jauh berbeda dari dulu sebelum peristiwa pemutusan paksa oleh orangtua perempuan itu, ia tidak akan dikenali oleh siapapun, termasuk oleh perempuan yang dicintainya. Ia selalu berada di jarak yang cukup untuk mengawasi rumah perempuan itu. Ia hanya ingin melihat perempuan itu tersenyum bahagia ketika pernikahan berlangsung. Itu saja cukup baginya untuk meyakinkan bahwa perempuan itu telah bisa menerima kenyataan sebagai seorang istri dari laki-laki yang tidak ia kehendaki.

Musik degung telah melantun dari pagi. Ia kembali tersayat luka. Alunan musik itu seolah memberitahu semua orang bahwa hari itu ada pesta, silahkan lihat dan saksikanlah, betapa cantik dan tampannya para pengantin. Lihatlah senyum bahagia mereka yang akan ber-rumahtangga. Tanyakan kepada mereka, berapa jumlah anak-anak lucu yang diinginkannya? Ayo, datanglah beramai-ramai. Makanlah sepuasnya hidangan disediakan, karena makanan itu wujud berbagi kebahagiaan dari mereka. Begitulah ia membayang maksud bunyi gamelan itu.

Seorang sinden menyanyikan tembang-tembang Sunda yang tak asing lagi bagi masayarakat sekitarnya: Karembong Kayas, Kalangkang, Es Lilin, Akang Haji, Incu Mitoha, dan sebagainya.  Perempuan sinden mengenakan kebaya warna merah muda dipadu kain selendang merah tua kotak-kotak, dan kain batik tulis warna cokelat melilit di pinggangnya hingga mata kaki.

Tamu undangan berdatangan mengenakan pakaian berbagai macam warna dan merk. Sebagian perempuan mengenakan Kebaya berikut kain songket dengan gelung di kepala. Laki-laki memakai bendo, lengkap dengan baju dan kain bawahannya.

Dari belokan terlihat rombongan pengantin laki-laki, memanjang. Ramai sekali. Pengantin laki-laki terlihat digandeng oleh beberapa orang yang sudah berumur, mungkin orangtuanya. Para pengantar berbaris di belakangnya. Seorang lengser dan beberapa perempuan pagar ayu menari-nari.

Ia menatap wajah pengantin laki-laki dengan ketenangan penuh. Kini ia dapat menerima segalanya. Ia menyaksikan dan mengikuti jalannya resepsi pernikahan dengan khidmat dari tempat yang agak jauh. Mulai dari ketok panto, seren-sumeren, walimahan, hingga sawer. Pada acara sawer ini ia melihat kedua pengantin duduk berdampingan dengan payung pengantin yang menahannya dari jatuhnya uang recehan dan bunga-bunga yang dilemparkan seseorang di antara jeda kawih sawer.

Setelah akad nikah selesai, kedua pasangan pengantin itu, diperbolehkan menerima ucapan selamat dari para tamu yang hadir. Tamu undangan biasanya dipersilahkan untuk mencicipi berbagai hidangan yang disediakan. Pada acara inilah ia baru dapat melihat pengantin perempuan dengan jelas. Matanya terus menatap, merindukan senyuman bahagia darinya. Apa yang ia harapkan terjadi. Perempuan pengantin yang dicintainya itu tersenyum kepada tamu perempuan pertama yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Ketika kedua perempuan itu sedang berpelukan, mata pengantin perempuan itu tertuju kepadanya. Perempuan pengantin itu terdiam sejenak. Ia sangat hafal tatapan itu.

Menyadari dirinya sedang diperhatikan oleh pengantin perempuan, ia segera pergi. Ia berlalu setelah senyum kebahagiaan yang dirindukan dari perempuan yang dicintainya itu didapatkan.  Iia segera meninggalkan kota itu. Sambil menghisap rokok, ia memasuki bis yang akan membawanya pulang.

Dalam bis ia mulai menyusun beberapa rencana yang akan dilakukan selanjutnya. Setelah mempertimbangkan dengan matang untung rugi serta konsekunsinya, ia memutuskan untuk tidak bekerja apapun selain menulis. Ia sadar, keberadaannya sebagai anak seorang komunis, hingga saat ini masih terus dimarjinalkan. Ke mana pun lamaran pekerjan ditujukan, selalu terjegal oleh keberadaan bapaknya yang eks tapol, yang dipercaya menjadi bagian dari hantu-hantu komunis yang ditakuti, yang tidak layak hidup dan gentayangan bersama “kaum bersih”.  Menurutnya, hanya dengan menjadi penulislah ia dapat mengekspresikan kegelisahan dan keresahannya selama ini sebagai reaksi terhadap sistem sosial dan berbagai realitas kehidupan selama ini.

Menjadi manusia merdeka dan bebas yang ia inginkan. Ia tidak akan merasa terbebani oleh pekerjaan, tidak merasa terbatasi oleh berbagai aturan dan keharusan. Lewat menulis ia ingin mengabadikan segala penderitaan dan kesakitan yang pernah dialami orang-orang miskin, kaum yang tertindas, dan terpinggirkan dari kehidupan modern. Ia ingin mengabarkan segala penderitaan dan kesakitan yang ada di bumi ini kepada pembaca, agar semuanya menyadari bahwa ketertindasan, kesakitan, penderitaan, dikucilkan, dan dibuang, akan menggumpal melahirkan jentik-jentik dendam. Dendam yang makin lama makin bertambah, akan terus-menerus mendesak, memerlukan pelampiasan, yang salah satunya melalui perlawanan dan pemberontakan. Karena banyaknya kaum miskin yang disakiti dan dilukai, akan makin banyak juga cikal bakal dendam yang dibangun, yang kemudian tertata menjadi dendam kolektif. Dendam kolektif akan terus-menerus menuntut adanya pemenuhan yang juga kolektif, dan akan terekspresikan menjadi perlawanan dan pemberontakan kolektif. Perlawanan kolektif dari orang-orang yang tersakiti yang telah satu langkah, satu tujuan, satu tekad, satu pimpinan, apalagi sebutannya kalau bukan revolusi. Perlawanan telah menjadi angan-angannya semenjak peristiwa itu.

Begitulah sepanjang perjalanan ia menyusun kembali masa depan dari titik nol, sebab yang lama telah dihancurleburkan oleh kepongahan orangtua atas anaknya. Di bis itu ia menuliskan segala perasaan yang diakibatkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Kemarahannya, dendamnya, sakit hatinya, penderitaanya, perjalanannya, dan segala kisahnya dengan perempuan yang dicintainya.

Bis mulai meninggalkan terminal. Berpuluh-puluh pedagang asongan turun berhamburan dari dalam bis digantikan oleh beberapa orang pengamen. Seorang ibu disampingnya sejak tadi memperhatikan apa yang lakukannya.

“Kuliah di mana?” tanya perempuan itu.

“Sudah selesai, Bu!”

“Sudah bekerja?”

“Sudah.”

“Di mana?”

Ia bingung menjawabnya dan merasa terganggu oleh sikap dan pertanyaan perempuan itu. Kalau disebutkan pekerjaannya membaca dan menulis, apakah si ibu akan setuju kalau itu sebuah pekerjaan? Dalam hatinya ia kesal juga pada si ibu.

“Lho, kok malah melamun?”

“Pekerjaan saya membaca dan menulis, Bu!”

Perempuan itu memandangnya heran. “Pekerjaan apa itu? Wartawan?”

“Bukan. Menulis cerpen...”  ia menyebutkannya dengan ragu-ragu.

“Oh itu, penulis. Apa yang bisa dikerjakan, ya kerjakan. Mencari pekerjaan yang enak di zaman sekarang semuanya susah. Harus memakai uang berjuta-juta, harus menyuap dulu. Yang menyuapnya paling besar, dialah yang dapat kerja. Setelah bekerja, ia harus mengembalikan modalnya. Karenanya, apa pun dilakukan, termasuk korupsi. Anak ibu juga mau masuk tentara, harus memakai uang berjuta-juta. Sudah masuk, eh malah meninggal di Aceh tertembak pasukan GAM. Jangan mau jadi tentara-lah, beresiko.”

“Penulis juga sama, Bu. Kalau isi tulisannya tidak disukai pemerintah, bisa dipenjara.”

“Ya, jangan menulis yang macam-macam saja. Pokoknya, kita harus mencari selamat. Orang kecil seperti kita tidak usah ingin yang macam-macam, bisa selamat saja sudah untung. Tidak usah cari mati,”

“Tapi, Bu, orang meninggal bisa di mana saja. Kita sedang duduk di sini saja kalau sudah harus meninggal, ya meninggal. Apa pun caranya. Kepanasan, pusing, ditodong lalu dibunuh, atau bis-nya terbalik lalu terbakar, dan semua penumpangnya meninggal, ....”

Perempuan yang mengajaknya ngobrol itu sudah terlelap tidur dengan kepala terkulai. Tidak berapa lama, setelah cerita yang ingin ditulisnya selesai, ia memilih untuk istirahat. Ia pun tertidur. Bis yang ditumpanginya banyak berhenti di tengah jalan untuk menaikkan penumpang baru. Kondektur yang rakus itu sibuk mengatur beberapa orang yang berdiri, berderet di tengah.

Tuhan menghendaki perjalanan laki-laki yang berkawan duka itu harus selesai sebelum ia berjalan langkah demi langkah untuk mewujudkan angan-angannya sebagai penulis yang membela kaum tertindas. Sebelum ia menuliskan kisah tentang penderitaan, kesakitan, dan dendam yang kerap dirasakan oleh dirinya dan oleh orang-orang miskin lainnya, sesuatu terjadi. Bis yang ditumpanginya meluncur dengan kecepatan tinggi. Di sebuah jalan yang menikung, sopir bis tidak mampu mengendalikan kemudi. Kendaraan itu oleng ke kanan dan ke kiri. Penumpang menjerit ketakutan.

Laki-laki itu terbangun, ketika ia membuka mata dan melihat ke arah depan bis, sebuah truk sudah berada tepat di depan bis. Ia memandangnya tak percaya. Ia tidak ingin melewatkan peristiwa yang menurutnya langka: menyaksikan tabrakan dua kendaraan dari dalam salah satu kendaraan yang bertabrakan. Ia dengan jelas melihat pucat pasinya wajah sopir truk ketika sedang berhadapan dengan wajah bis dalam jarak satu meter.

Brakk! Sebuah bunyi tredengar keras. Laki-laki itu sempat melihat kaca depan bis yang ditumpanginya pecah dan berhamburan. Penumpang yang berada di samping sopir terlihat menutup muka dengan tangan, kemudian jeritannya berhenti sebab bagian depan kepala truk itu sudah membentur kepalanya.

Setelah itu, ia merasakan bis bergoyang keras. Kepala para penumpang terbentur ke sandaran kursi yang ada di hadapan masing-masing. Dukk! Bunyi beberapa kepala yang menghantam kursi diikuti jeritan tiada hentinya. Beberapa saat setelah itu, ia tidak dapat melihat apa pun sebab beberapa penumpang telah menindihnya hingga dirinya tertekuk.

Laki-laki itu merasakan sesuatu menyentuh kulit perutnya. Beberapa saat kemudian ia merasakan benda itu masuk dengan cepat, seiring dengan menekuknya punggung yang tertindih oleh penumpang dari belakang. Setelah itu, ia tak ingat apa-apa lagi.

 bersambung...


Bagian Kedua "Lahirnya Tragedi"


Biodata Penulis:


 Asep Pram, lahir di Cianjur, 20 November 1979. Semasa kuliah aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Belajar menulis beberapa genre sastra seperti puisi, cerita pendek, dan novel. Beberapa cerita pendek dan puisinya pernah dipublikasikan di beberapa media massa cetak di Bandung dan di buku antologi bersama.

Novel pertama yang pernah ditulisnya berjudul Yang Melawan (2004), dipublikasikan secara stensilan dan dibahas dalam diskusi mingguan di ASAS. Novel keduanya berjudul Vademikum (2005), dijadikan sebagai mahar pada pernikahannya.

Menyelesaikan studi tentang kebijakan pada Magister Studi Kebijakan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011.

Juandi Rewang


Jangan Taburi Kami dengan Pentungan dan Peluru


 


Jangan taburi kami dengan pentungan dan peluru,


Sebab tak ada sengketa antara kita,


Kami hanya ingin bicara tentang kebenaran,


Sebab tak ada senjata kami genggam,


 Cuma poster di tangan kiri,


 Bunga di tangan kanan,


 Dan semangat yang bermekaran di dada



Sebab darah yang mengucur,


Hanyalah api yang akan mengorbankan jutaan kami di tempat lain


Sebab darah yang mengucur,


Hanyalah bensin yang akan membuat perlawanan semakin menjadi-jadi



Jangan taburi kami dengan pentungan dan peluru,


Sebab ibarat bunga,


 Kau duri dan kami mawar,


 Yang harus kau lindungi.



Dipatiukur, April 1996






Valentine


 


Aku datang padamu, jeruji


Ada waktu yang detaknya bukan milikku,


Ada nafas yang desahnya bukan dengusku,


Ada pintu yang kuncinya tidak padaku.



Aku datang padamu,


Menghirup pahintya jamuan kekuasaan.



Jalan jawa, 14 Februari 1998


 

 



Aku Adalah Bayangmu


 


Aku adalah bayangmu


Jika aku kering kerontang


Maka kering juga jiwamu



Tak ada mata air kesadaran


Untuk menyisakan sejengkal hutan,


Dalam hidupmu untukku



Jiwa aku sakit,


Maka sakit juga peradabanmu



Aku adalah bayanganmu,


Terpantul dari cermin telaga sunyi,


Yang tak pernah kau ziarahi



Oktober 2009



 


Senja Telah Meminangku

 

Senja telah datang meminangku.

Mengulurkan tangannya lewat jeruju

Merangkul kepadaku,

Lalu berbisik:

“Aku tak ingin mengirim-mu kesedihan,

Sebab gerimis ini terlalu terlalu manis untuk sebuah tangis.

Basuhlah lukamu,

Jalanan sudah dipenuhi kembang perlawanan,

Peluru dan panser tak mampu lagi membungkam”.

 

Aku memeluk senja di antara jeruji

Tubuhnya basah oleh gerimis

Kami terus bercengkrama

Sampaii kelelawar menjemputnya pulang

 

Kebonwaru, 10 Mei 1998

 

*Puisi-puisi di atas diambil dari Antologi Puisi Tembang Demonstran (Pra Terbit) yang di Lounching-kan pada Acara Reuni Keluarga Aktivis Unpad di Gd. Indonesia Menggugat, dan dimusikalisasikan oleh Mukti Mukti.

Beni R. Budiman (1965 - 2002)

Fragmen Pandai Besi

          Harry Roesli

 

Lubang angin menempa kering batok kelapa sebagai

Bara yang nyala. Sebuah per baja menderita dalam

Marah yang sempurna. Gubuk bilik hitam pun merah

Gerah seperti membangun rumah dari biji keringat

Bau resah menyengat. Lalu beberapa palu melagukan

Nada pilu bertalu. Bunyi dalam nyanyi pandai besi

Yang nyeri. Berlari seperti derap kaki gerombolan

Kavaleri. Musik berisik yang menggoda para paduka

Dalam tempat yang sendiri para pandai besi seperti

Geram yang berjanji. Mata air yang terus meneteskan

Doa basah pada bukit batu. Cinta yang keras kepala

Ombak yang setia memimpikan karang menjelma pedang.

1996-1997

 

MADAH LAUT

Laut adalah luka tanpa harga
yang mengaduh sia-sia
ketika kata lupa pada bahasa
dan kepala hanya tulang rangka


I
Telah lama kaucintai laut
hingga kapalmu berkayuh
jauh pada tumpukan ombak
pada angin yang berdengung
menyuling badai di suatu palung

"Laut hanya seekor laba-laba
yang rajin memintal sarang
hingga kita tak mampu merayap
menuju ujung jaring langkahnya
Kita akan terjebak di piuh jalan
jauh sebelum sampai tujuan."

Pada birunya yang berlapis
dan bertumpuk seperti kesedihan
kauarahkan hati mengayuh sauh
sungguhpun kau akan kesasar
menentukan haluan kapal

Kau tahu matahari telah berkhianat
memeluk hangat tubuh laut
dan melumat basah bibir pantai


hingga gairahnya berjatuhan seperti
hujan bulan Desember

Matahari sungguh terlalu angkuh
Cahayanya yang menyengat
lebih suka menyeduh kopi
daripada membakar para keparat
yang mengunyah terumbu karang
dan berlindung pada kapal dagang

Kau rindu laut karena sungai-sungai
selalu bertamu dan mencium pipinya
yang lembut seperti agar-agar
serta mengelus tubuhnya yang sintal
meliuk di gigir cekung teluk

"Laut adalah anak-anak
pangeran muda yang riang
yang jiwanya enggan diam
yang senang bernyanyi
sambil kedua kakinya menari
pada terjal karang dan panggung pasir."


II
Laut juga yang membuatmu sadar
dan beta jar menumpahkan kemarahan
tidak dengan mengulum puting payudara
dan licin paha pelacur musiman di jalur pantura
tapi pada kapal tangker yang menyelundupkan
minyak bumi dan upeti dari negeri jajahan


pada perompak yang duduk di parlemen
dan pada ratu bodoh penguasa negeri dongeng

Dari laut itulah kau paham
betapa dendam berkawan dengan kelewang
dan kebencian kita timbun rapi
seperti karung beras di gudang orang tamak

(Suatu hari karung-karung itu
akan berubah menjadi bom waktu
yang meledak saat lapar meruyak)

Kemarahan itu pun kita pasang
seperti perangkap tikus di tiap kampung
Setelah itu segera kita bermimpi
tentang daging dan buah yang segar
di sebuah pulau tanpa penghuni
karena perang saudara menerjang


III
Ternyata laut bukan anak-anak kecil
yang enggan diam setelah kenyang
menghisap puting susu ibunya

"Laut adalah malam yang gelisah
yang menulis sisi buram legenda cinta
raja Jawa yang takluk pada ratu siluman ular
tapi tak mau tunduk pada penjajah Belanda
saat cahaya bintang dan kelip tongkang


berpelukan di atas hamparan gelombang hitam
hingga separuh bayang bulan cemburu."

Lalu orang berbondong datang
menaiki ratusan perahu nelayan
membawa seba kepala kerbau
melemparkannya ke lepas laut
sambil meminta ratu berbaik hati
memberi panen ikan berlimpah
dan nelayan tambat dalam selamat

Tapi selepas pesta kauundang ratu
dari atas bukit karang yang teduh
seperti memanggil seorang gadis
penghibur dari sebuah klab malam

"Kemarilah kau ratu yang cantik
datanglah dengan kereta kencanamu
yang gemerlap berteteskan permata
bersama dayang-dayangmu yang jelita
Kenakan gaun sutera birumu yang tipis
hingga kulit yang bening bagai ubur-ubur
dan payudara seruncing mulut hiu itu
menegangkan seluruh urat zakarku,"
begitu kau bisikkan hasrat liarmu
lewat semilir lembut angin darat

Tapi ratu tak bisa jatuh cinta
pada lelaki iseng yang malang
dan taut di selatan hilang ingatan


(Di selatan laut tak bisa mendengar
karena seluruh suara tinggal lenguh
yang meluncur dari mulut penguasa
yang dusta pada seluruh rakyatnya)

Hanya ombak besar bergulung
menggoyang-goyang karang
mengirim jawaban rindumu
lewat percik yang menjilat leher
dan angin yang mengelus rambut


IV
Kembali kaucumbu taut
setelah paham betapa gunung
tak bisa menahan pohon-pohon
yang hijau dan rindang tumbang

Sedang kau tak mampu menghardik
petualang lapar yang membutuhkan
unggun saat dingin malam menyerang
dan tungku nasi kehabisan bara api

Maka kau kembali memilih laut
mencari pasir putih yang landai
dengan gadis-gadis setengah bugil
yang membiarkan tubuhnya melepuh
setelah seharian dikunyah matahari

Kau pun bermimpi menjadi matahari
yang tak pemah sekalipun b,erkedip
pada setiap payudara yang terbuka
dan selangkangan yang menantang

"Kaukira laut hanya gadis-gadis
yang selalu siaga mengantarmu tidur
di suatu pulau penuh taman bunga
dengan dada bertabur gairah cinta
la mungkin gadis pemandu wisata
yang senang menyuguhkan tequilla
sesekali mengajak tamu-tamu dansa
sambil mendesahkan indah kata cinta
dengan menjilat leher dan daun telinga
hingga tulangmu segera meregang."

Tapi kukira laut bukan gadis-gadis itu
la adalah penyair yang berbudi baik
yang mengajak jalan ke sebuah pasar
dan membelikan ikan jambal besar
karena ia tahu benar bahwa istri
dan dua anak lelakiku dalam lapar

Laut baginya adalah buah kesetiaan
mungkin rasa cinta seorang teman
yang tulus setelah tahu betapa hidup
hanya tumpukan cerita penuh luka


V
Akhirnya kaupinang gairah laut
menjadi istri dan catatan harianmu
yang harus kaugauli di mana saja


Maka ribuan kalimat pun mengalir
seperti air sungai dari puncak gunung
Kata pun berhamburan menulis buih
setelah ombak membantun kapal

Dan dalam benakku laut itu mengalir
memasuki goa-goa di tiap bukit batu
menjebol jendela semua rumah mewah
menyeret seluruh sejarah yang berdarah

Laut bukan muara bagi semua suara
yang meneriakkan duka dengan gema
bukan gudang beras bagi tiap nelayan
bukan tempat pelacur yang menghuni
separuh panti pijat di kota-kota besar
mencuci lubang sisa kelenjar yang sial
bukan tempat membuang hajat pejabat
yang iseng saat rapat dinas di luar kota

(Laut adalah pengembara sejati
yang memuja seluruh topan
dan merobek bendera di tiang kapal)

Dan kini ia melangkahkan kakinya
mendaki seluruh tebing dan lereng
menyusuri jejak kaki setiap pendaki
mengalihkan haluan semua kapal
memindahkan dermaga dari dataran
ke puncak gunung paling tinggi
mengubur seluruh mercusuar
menghanyutkan setiap kitab
yang diturunkan pada para Nabi


la tak lagi gadis manis yang menanti
sungai-sungai datang menjumpainya
tapi ia mengejar sumber mata air
yang menetes dari puncak gunung

1997-2000

 

Di Pelabuhan Cirebon


"Mon beau navire O ma memoire
Avons-nous assez navigue"

(Guillame Apollinaire)

Di pelabuhan Cirebon, laut dan hatiku beradu
Gemuruh, Kapal-kapal berlayar dan berlabuh
Dan aku diam berjaga menanti senja yang entah:
O hidup, pelayaran sebentar, sebentar saja sampai!

Dalam penantian, aku jadi teringat dirimu, adikku
Kapal-kapal yang berlayar dan berlabuh, menjadi milik kita
Terbuat dari sobekan kertas buku-buku pelajaran sepulang
Sekolah. Dan kitapun melaju di parit dan selokan
Dengan senyuman. Dan kita selalu lupa pada ibu
Yang suka marah, bila memeriksa buku yang kita punyai

Di pelabuhan Cirebon, adikku sayang
Aku mengenangmu sambil menanti senja
Senja kematian yang menawan dan menyenangkan


1993
pada Kumpulan Sajak "Penunggu Makam" Beni R. Budiman.

 

KASMARAN
bersama Diwana Fikri Aghniya

 

Tiba-tiba saja kita seperti orang yang sedang
Belajar menjadi anak dan ayah. Di mesjid itu
Keharuan seperti sungai gunung mencari lembah
Dan kita hanyutkan harapan sampai ke ujung sepi
Muara bagi setiap doa dan ikan membuat janji

Kita pun menjelma puisi yang hidup di antara dua
Keabadian surga dan neraka. Kita berkhayal sebagai
Keluarga Lukman yang kekal sepanjang zaman. Tenang
Bersama wajah-wajah malaikat yang putih. Dan Tuhan

Kita terus kasmaran sepanjang kumandang azan. Dan
Lupa pada bumi yang selalu menyanyikan lagu pilu
Juga pada rumah yang penuh desah dan tumpukan
sampah

Kita terus berpelukan dalam irama Tuhan. Berlayar
Di antara pulau-pulau yang kemilau, mencari Lukman ...

1996

pada Dua Kumpulan Sajak"Penunggu Makam" Beni R. Budiman.

 

MELANKOLIA

Seperti barisan mahoni di tepi jalan
Tubuhku tegak sepanjang ceruk subuh
Dan bayang hitamku terkapar di aspal
Menekuri arah kendaraan dan merkuri

Azan berkumandang mengajakku pulang
Tapi gema membuat banyak makna suara
Menggambar persimpangan bagi langkah
Dan cuaca menawarkan mimpi indah juga

Derita. Aku bimbang di antara bintang
Sisa. Dan sebuah tabrakan keras sulit
Terhindarkan. Aku berantakan dan luka
Hati belah dua dalam langit melankolia

1996

pada Dua Kumpulan Sajak"Penunggu Makam" Beni R. Budiman

 

KARNAVAL

Dengan pakaian berwarna kita bergaya.
Beriring Dalam barisan bebek. Kita kembali sebagai anak
Pada karnaval hari-hari besar. Wajah bercahaya
Mulut penuh gula-gula. Hari-hari tinggal canda

Siapa punya air mata ? Di sini tak ada kata bernama
Duka. Mimpi dan imaji mengalahkan luka
Derita ibarat bahasa karangan bunga. Kepedihan
Hanya milik pejuang di medan perang. Kesedihan
Melayang. Dunia dihiasi lampu dan umbul-umbul

Pesta terus dirayakan. Karnaval masih berjalan
Parade bergerak lamban. Penyair memilih diam:
Siapa punya air mata? Siapa lebih suka tangisan?

1995

pada Dua Kumpulan Sajak"Penunggu Makam" Beni R. Budiman.

____________

Biodata Penulis:

Beni R Budiman, lahir di desa Dawuan, Kadipaten, Majalengka, 10 September 1965. Pendidikan formal terakhirnya ditempuh di jurusan Bahasa Asing, Program Bahasa dan Sastra Prancis, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung, hingga khatam. la menulis sejak masih duduk di bangku sekolah menengah. Semasa masih kuliah, ia aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di bidang sastera, teater dan pers. Sajak-sajaknya hinggap di halaman "Pertemuan Kecil" Pikiran Rakyat. la pun mengumumkan sajak-sajaknya melalui surat kabar Bandung Pos, Surabaya Pos, Jawa Pos, Pelita, Suara Pembaruan, Media Indonesia, majalah sastera Horison, dan radio Deutsche Welle. Beberapa sajaknya turut dimuat dalam antologi Dua Wajah (1992), Mimbar PenyairAbad 21 (1996), Mafam Seribu Bulan, Cermin Alam, Tangan Besi, dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000). Pada tahun 1996 ia turut diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membacakan sajak-sajaknya dan berbicara mengenai sajak-sajaknya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. la pun banyak menulis esai mengenai sastera dan kebudayaan. la wafat di Malangbong, Garut, 3 Desember 2002, setelah menderita penyakit jantung, paru-paru dan ginjal. Penunggu Makam adalah kumpulan sajak tunggal Beni R. Budiman yang pertama dan terakhir.

Sumber:

http://www.kumpulankaryapuisi.blogspot.com/2010/04/beni-r-budiman.html

SURAT KEPADA TUHAN (A Letter To God)

 

Oleh Gregorio Lopes Y Fuentes

 

 

Satu‑satunya rumah yang ada di lembah itu berada di atas puncak sebuah bukit kecil. Dari atas ketinggian seperti itu seseorang bisa melihat sungai dan, di sebelah pekarangan untuk memelihara ternak, ladang tanaman jagung yang sudah masak yang di sela‑selanya bertaburan bunga‑bunga kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang baik.

Satu‑satunya yang dibutuhkan bumi adalah curah hujan atau setidaknya hujan sedikit saja. Sepanjang pagi itu Lencho, yang sangat mengenal ladangnya, tidak melakukan apapun selain mengawa­si langit ke arah timur laut.

“Sekarang kita benar‑benar akan mendapat air, Bu.”

Istrinya yang sedang menyiapkan makan menjawab:

“Ya, insya Allah.”

Anak‑anak lelaki yang sudah besar sedang bekerja di ladang sementara yang masih kecil bermain‑main di dekat rumah, sampai akhirnya si istri memanggil mereka semua:

“Sini makan dulu!”

Saat mereka sedang makan, seperti yang telah diperkirakan Lencho, tetes‑tetes air hujan yang besar‑besar mulai berjatuhan. Di sebelah timur laut mendung tebal berukuran raksasa bisa dili­hat sedang mendekat. Udara terasa segar dan nyaman.

Pria itu pergi ke luar untuk melihat pekarangan tempat memelihara ternaknya, semata‑mata sekedar ingin menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru:

“Yang jatuh dari langit itu bukan tetesan‑tetesan air hujan tapi kepingan‑kepingan uang logam baru. Yang besar‑besar sepuluh centavo dan yang kecil‑kecil lima ….”

Dengan ekspresi yang menujukkan kepuasan ia memandang ladang jagung yang masak dengan bunga‑bunga kacang merahnya yang dihiasi tirai hujan. Tapi tiba‑tiba angin kencang mulai berhembus dan bersamaan dengan air hujan bongkahan‑bongkahan es yang sangat besar mulai berjatuhan. Bentuknya memang benar‑benar seperti kepingan‑kepingan uang logam perak yang masih baru. Anak‑anak lelaki yang sedang membiarkan tubuh mereka diguyur hujan berlari‑larian untuk mengumpulkan mutiara‑mutiara beku itu.

“Sekarang benar‑benar semakin buruk!” seru pria itu, geli­sah. “Kuharap semoga cepat berlalu.”

Ternyata tidak cepat berlalu. Selama satu jam hujan es itu menimpa rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, di seluruh lembah. Ladang itu menjadi putih seperti tertimbun garam. Tak selembar daunpun masih tertinggal di pepohonan. Tanaman jagung itu sama sekali musnah. Bunga‑bungapun rontok dari tanaman kacang merah. Jiwa Lencho dipenuhi kesedihan. Ketika badai itu telah berlalu ia berdiri di tengah‑tengah ladangnya dan berkata kepada anak‑anaknya:

“Wabah belalang masih menyisakan lebih banyak daripada ini. Hujan es sama sekali tak menyisakan apapun. Tahun ini kita tidak punya jagung atau kacang ….”

Malam itu penuh kesedihan.

“Semua kerja kita sia‑sia!”

“Tak ada seorangpun yang dapat menolong kita!”

“Kita akan kelaparan tahun ini ….” Tapi di hati semua orang yang tinggal di rumah yang terpen­cil di tengah lembah itu masih tersisa satu harapan: pertolongan dari Tuhan.

“Jangan terlalu sedih meskipun kelihatannya seperti keru­gian total. Ingatlah, tak ada orang yang mati karena kelaparan!”

“Itulah yang mereka katakan: tak seorangpun mati karena kelaparan ….”

Sepanjang malam itu Lencho hanya memikirkan harapan satu‑satunya: pertolongan dari Tuhan, yang mata‑Nya (sebagaimana diajarkan kepadanya) melihat segala sesuatu, bahkan sampai ke dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam sekalipun.

Lencho adalah seorang pekerja keras yang bekerja seperti binatang di ladang, tapi dia masih bisa menulis. Pada hari ahad berikutnya, ketika dinihari, setelah meyakinkan dirinya bahwa masih ada zat yang melindungi, ia mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota dan dimasukkan ke pos.

Itu tidak lain adalah surat kepada Tuhan.

“Tuhan …,” tulisnya, “kalau Kau tidak menolongku, aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso untuk menanami kembali ladangku dan untuk kebutuhan hidup sampai saatnya panen nanti, karena badai es ….”

Dituliskannya “Kepada Tuhan” di atas amplop lalu dimasuk­kannya surat itu kedalamnya, dan masih dengan pikiran dan pera­saan yang galau ia pergi ke kota. Di kantor pos diberinya surat itu perangko kemudian dimasukkannya ke dalam kotak pos.

Salah seorang pegawai di sana, seorang tukang pos yang juga ikut membantu di kantor pos itu, mendatangi atasannya sambil tertawa terpingkal‑pingkal dan memperlihatkan kepadanya surat kepada Tuhan tadi. Selama karirnya sebagai tukang pos, ia tidak pernah tahu di mana alamat itu. Sedangkan sang kepala pos, seorang yang gemuk dan periang, juga tertawa terbahak‑bahak. Namun hampir tiba‑tiba saja ia berubah menjadi serius, dan sambil mengetuk‑ngetukkan surat itu di mejanya iapun berkomentar:

“Keimanan yang hebat! Seandainya imanku seperti imannya orang yang menulis surat ini. Punya kepercayaan seperti keper­cayaannya. Berharap dengan keyakinan yang ia tahu bagaimana caranya. Melakukan surat‑menyurat dengan Tuhan!”

Dengan demikian untuk tidak mengecewakan keajaiban iman itu, yang disebabkan oleh surat yang tak dapat disampaikan, sang kepala pos mengajukan sebuah gagasan: menjawab surat tadi. Namun ketika ia memulainya ternyata untuk menjawabnya ia membutuhkan tidak hanya sekedar kemauan, tinta dan kertas. Tapi tekadnya sudah bulat: ia memungut iuran dari para anak buahnya, ia sendi‑ripun ikut menyisihkan sebagian gajinya dan beberapa orang te­mannya juga diwajibkan untuk ikut memberikan “sumbangan”.

Akan tetapi tidak mungkin baginya untuk mengumpulkan uang sebanyak seratus peso, ia hanya bisa mengirim kepada si petani sebanyak setengahnya lebih sedikit saja. Dimasukkannya lembaran‑lembaran uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dan bersamanya hanya ada selembar kertas yang bertuliskan satu kata sebagai tanda‑tangan: TUHAN.

Pada hari ahad berikutnya Lencho datang sedikit lebih awal daripada biasanya untuk menanyakan apakah ada surat untuknya. Si tukang pos sendiri yang menyerahkan surat itu kepadanya. Semen­tara sang kepala pos, dengan perasaan puas sebagai orang yang baru saja berbuat kebajikan, menyaksikan lewat pintu keluar‑masuk ruang kerjanya.

Lencho sedikitpun tidak terkejut menyaksikan lembaran‑lembaran uang tadi, sesuai keyakinannya, namun ia menjadi marah setelah menghitung jumlahnya. Tuhan tidak akan keliru atau menya­lahi apa yang diminta Lencho!

Segera saja Lencho pergi ke loket untuk meminta kertas dan tinta. Di atas meja tulis untuk umum iapun mulai menulis sampai‑sampai keningnya sangat berkerut saking bersemangatnya dalam menuangkan gagasannya. Setelah selesai ia pergi lagi ke loket untuk membeli perangko yang lalu dijilat dan kemudian ditempel­kannya di atas amplop dengan pukulan kepalan tangannya.

Setelah surat itu dimasukkan ke dalam kotak pos, sang kepala pos membukanya. Bunyinya:

“Tuhan, dari uang yang kuminta itu, hanya tujuh puluh peso saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya kepadaku karena aku sangat membutuhkannya. Tapi jangan dikirimkan kepadaku lewat pos karena para pegawai di kantor pos itu adalah orang‑orang brengsek. Lencho.”

_____________

Biodata Penulis:

GREGORIO LOPEZ Y FUENTES lahir pada tahun 1895. Dia lahir dan dibesarkan di kalangan orang Indian Mexico. Selain pengarang fiksi ia juga seorang penyair dan wartawan. Pada tahun 1935 ia memenangkan The National Prize of Mexico untuk novelnya El Indio. Cerita ini disadur dari terjemahan Bahasa Inggrisnya oleh Sya­fruddin HASANI.

 

Manusia Terakhir

Oleh: Langgeng Prima Anggadinata
I

Jangan bayangkan: Sepandang laut yang luas. Jauh. Tak berujung. Seolah-olah tak ada kata ‘sampai’. Angin membawa asin. Matahari tergantung seperti yang sulit terjatuh. Panas. Bahkan air pun menyimpan api di punggungnya. Kulitmu akan terbakar. Kalau kau punya sebatang leher, kau akan haus dan tiba-tiba jadi penyedih. Dan akulah si penyedih. Sebab aku di sini—di tempat yang sebenarnya kau bayangkan. Di laut ini. Duduk di atas perahu kecil. Sendiri. Tapi sebenarnya berdua. Hadap-menghadap. Anggap orang itu tak ada. Sebab kuanggap ia mati atau memang mati.

II

Pulau terakhir. Sulit membayangkannya: Kutub-kutub mencair. Air laut meninggi. Orang-orang menghilang. Pulau-pulau tenggelam. Tinggal pulau itu, yang dahulunya sebuah dataran tinggi. Kami pernah tinggal di sana sampai pulau itu mati seperti sepandang padang pasir. Sekarang kami di laut. Menyedihkan.

Sulit menceritakannya: Sudah empat puluh tujuh hari kami melaut untuk mencari kata ‘sampai’. Kata lelaki itu ada kata ‘sampai’, ada suatu tempat. Sekarang, ingin aku membuangnya ke laut. Sebab tepat di hari keempat puluh ia diam seperti yang mati.  Sebab kami tak sampai-sampai pada kata ‘sampai’.

III

Ia telah berbohong. Kami tak saling hadap-menghadap. Ia pergi. Menghilang. Ia sudah mati. Dan aku benar-benar sendiri di perahu ini. Jangan tanya ia di mana. Anggap saja ia telah sampai pada kata ‘sampai’. Aku mencintainya meski setiap hari berkurang. Dan mulai besok aku membencinya.

Bayangkan: Sepadang laut jauh. Kau adalah manusia terakhir. Sendiri. Berada di sana. Sebuah tempat yang masih kau bayangkan. Tapi akulah manusia terakhir. Sendiri. Berada di sebuah tempat yang masih kau bayangkan.***

____________

Biodata Penulis:

Langgeng Prima Anggradinata—dilahirkan di Bogor. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra sebagai ketua. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Beberpa karyana dimuat di pelbagai media massa, di antaranya, Pikiran Rakyat, Batam Pos, Padang Ekspres, Tribun Jabar, Radar Banten, Harian Global Medan, Jurnal Bogor, Jurnal Sastra RM, Buletin Siluet, dll. Karyanya juga dibukukan dalam Antologi Puisi Bersama Karnaval Kupu-kupu (Flash, 2008), Antologi Puisi Bersama Penyair Muda (2009), Antologi Puisi Monolak Lupa (Obsesi Press, 2010), Kumpulan Esai Kritik Sastra Kritik Sastra Indonesia 2009 (UPI Press, 2010).

 

 

Koleksi Foto MayDay 2012 di Bandung

01/05/2012 14:45
Gedung Sate Disatroni Ratusan Buruh

Aksi unjuk rasa buruh memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day di Kota Bandung berlangsung damai.



Mereka meminta penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourching, tolak kenaikan harga BBM, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional, dan meminta diberikan upah layak.



Mereka berorasi secara bergantian di depan Gedung Sate.

 


Fotografer - Baban Gandapurnama
Dalam rangka memperingati May Day, ratusan buruh juga menggelar unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung. Mereka meminta penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourching, tolak kenaikan harga BBM, menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional, dan meminta diberikan upah layak.

http://bandung.detik.com/readfoto/2012/05/01/144518/1906069/501/3/gedung-sate-disatroni-ratusan-buruh

http://bandung.detik.com/readfoto/2012/05/01/144518/1906069/501/2/gedung-sate-disatroni-ratusan-buruh

http://bandung.detik.com/readfoto/2012/05/01/144518/1906069/501/1/gedung-sate-disatroni-ratusan-buruh

 

 

Mayday, Buruh Menuntut Hidup Layak


Selasa, 01/05/2012 - 17:26

BANDUNG, (PRLM).- Kehidupan yang layak bagi kaum buruh menjadi tuntutan utama dalam peringatan Hari Buruh Internasional (Mayday) yang dilakukan Selasa (1/5/12). Para buruh di Bandung Raya memusatkan kegiatan unjukrasa untuk menuntut kesejahteraana buruh di Jl. Diponegoro depan Gedung Sate Kota Bandung.

Unjuk rasa itu dilakukan ratusan buruh dari berbagai organisasi buruh dengan orasi tuntutan yaang disampaikan bergiliran. Organisasi itu antara lain Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Jawa Barat, Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Jabar, dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).

Menurut Ketua DPD SBSI 1992 Jabar Ajat Sudrajat kepada wartawan di lokasi unjuk rasa, selama ini, pemerintah dan pengusaha menetapkan upah layak dengan standar kebutuhan buruh lajang. Sementara, penetapan itu mengabaikan kondisi buruh yang sudah berkeluarga.

Ia mengatakan, buruh pun saat ini menganggap mekanisme penetapan upah itu tidak sesuai dengan kondisi terkini. Komponen yang dijadikan dasar penetapan upah hanya 46 hal. "Harusnya ada penambahan item dari 46 jadi 56 item,’’ imbuh Ajat.

Ditambahkannya, kebutuhan yang belum diakomodasikan dalam penetapan upah layak di antaranya uang pulsa, kaos kaki, dan penambahan jumlah beras dari 10 kilogram jadi 12 kilogram. Di kawasan Bandung Raya, Kota Bandung akana dijadikan barometer dalam penambahan komponen penghitungan upah tersebut.

Menurut dia, bila penghitungan upah layak itu sudah diperbaiki, maka upah minimun Kota Bandung menjadi Rp2,5 juta. Sekarang, UMK Bandung menecapai Rp 1.271.625. "Kami harap pemerintah sudah menetapkan upah yang layak sebelum Idul Fitri tahun ini," kata Ajat.

Juru Bicara Konfederasi Serikat Nasional KSN Jabar Hermawan juga menyampaikan hal senada. Ia mengatakan, meski peringatan Mayday sudah berlangsung sejak 200 tahun lalu sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan kepada kaum buruh, tetap saja masih banyak buruh yang hidup dalam ketertindasan pemodal.

Ia mengatakan, saat ini, masih ada buruh yang diupah sangat murah padahal ada sebagian pabrik yang masih memberlakukan jam kerja yang panjang. Hak-hak normatif buruh juga belum diberikan secara baik.

"Semakin kelam nasib kaum buruh ketika kebutuhan hidup semakin tajam meningkat karena adanya rencana kenaikan BBM yang akan menjadi ancaman nyata bagi kaum buruh dan seluruh rakyat di Indonesia," kata Hermawan.

Menurut Ajat, buruh di Jawa Barat juga merasa diperlakukan tidak adil akibat sistem kerja kontrak atau outsourcing. Sistem ini diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 100 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertantu (PKWT). Keberadaan aturan itu sudah banyak disalahgunakan oleh pengusaha nakal dan kaum kapitalis.

Penolakan terhadap sistem tersebut juga disuarakan beberapa kali oleh orator unjuk rasa. Selain itu, tuntutan itu juga dituliskan dalam spanduk yang dibawa para pengunjuk rasa. (A-160/A-108)***

Sumber:



http://www.pikiran-rakyat.com/node/186863

Buruh Tuntut Kenaikan Upah dan Penghapusan Sistem Kontrak Kerja


Selasa, 1 Mei 2012.
Peringatan hari Buruh Internasional atau yang biasa disebut May Day serentak digelar seluruh Negara di dunia dan juga Negara Republik Indonesia. Di Kalimantan Barat, Ratusan massa yang terdiri dari buruh, petani, nelayan dan mahasiswa melakukan aksi damai tadi pagi pukul 09.00 WIB di Bundaran Tugu Digulis. Aksi damai gabungan dari beberapa organisasi masyarakat seperti Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), PMII, Persatuan Buruh Indonesia Kalbar, Buruh Perusahaan META, Buruh Kelapa Sawit, Buruh Pabrik dan eks Buruh PT WBA  ini dilanjutkan ke DPRD Provinsi Kalimantan Barat.

Massa yang datang berasal dari seluruh daerah di Kalimantan Barat seperti Sintang, Kapuas Hulu, Sanggau, Ketapang, Kubu Raya dan juga Kota Pontianak menyampaikan beberapa tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Secara umum tuntutan para buruh yaitu meminta kenaikan  upah minimum guna meningkatkan kesejahteraan dan pemberian jaminan keselamatan kerja dari PT Jamsostek secara adil dan merata.

Di Kalimantan Barat sendiri, upah minimum buruh masih rendah. Di Kota Pontianak, Upah Minimum Regional (UMR) sebesar Rp 950.000, di Kabupaten Kuburaya sebesar 900.000 dan yang paling tinggi di Kabupaten Ketapang yakni sebesar Rp 1.010.000. Angka ini tentunya masih kecil untuk para buruh mengingat harga kebutuhan pokok semakin meningkat. Selain itu, upah ini tidak sesuai dengan kerja buruh yang  berat dan melelahkan.

Perwakilan dari Front Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat yang diwakili oleh Hendra menyerukan agar Sistem Kerja Kontrak di kalbar ini dihapuskan. Selain itu UMR untuk para buruh juga harus ditingkatkan. Selain masalah sistem kontrak dan kenaikan Upah Minimum Regional, tuntutan terhadap perbaikan Undang-undang Perburuhan juga harus direvisi. Untuk kasus PT WBA yang masih menggantung, FPR Kalbar meminta agar Pemerintah Kalimantan Barat memfasilitasi pertemuan antara pemilik perusahaan dengan para buruh, mengingat setahun pasca ditutupnya PT WBA, upah para buruh masih belum diselesaikan.


Massa yang datang ke DPRD Provinsi Kalimantan Barat sempat kecewa karena mereka hanya disambut oleh satu anggota dewan dari fraksi Golkar, Andre Hudaya dan Kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, Jakuri Suni. Salah seorang perwakilan massa, Roni mengatakan dari 55 anggota dewan yang ada di DPRD Kalbar, hanya satu yang menemui mereka. Padahal, massa yang datang jauh-jauh dari daerah dan ingin menyampaikan keluhan mereka kepada anggota dewan.


Menanggapi aspirasi massa, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, Jakuri Suni mengatakan segala bentuk peraturan perundang-undangan mengenai kesejateraan buruh sedang dalam proses di DPR Pusat, seperti Undang-undang BPJS.


Lebih lanjut Jakuri mengatakan, Untuk upah minimum para buruh di Kalimantan Barat, Jakuri akan memperjuangkan untuk kenaikan UMR buruh. Pihaknya akan berupaya untuk memperhatikan dan meningkatkan kesejahteraan para buruh yang ada di Kalimantan Barat.

Sementara itu, anggota dewan dari fraksi Golkar daerah pemilihan Ketapang, Andre Hudaya tidak menanggapi panjang lebar. Andre secara tegas mengatakan dari semua tuntutan ini, ada tuntutan yang bisa segera ditanggapi  dan ada tuntutan yang tanggapannya masih menunggu keputusan pusat. Andre menegaskan setelah ini, dewan akan segera mengadakan rapat kerja untuk menanggapi tuntutan-tuntutan buruh yang memang perlu untuk diperjuangkan.


Andre menambahkan dirinya berterima kasih kepada massa terutama yang berasal dari daerah yang banyak memberikan informasi dan masukan mengenai permasalahan-permasalahan terkait perburuhan di daerah.


Selama berjalannya aksi, massa tidak henti-hentinya meneriakkan 3 hal yaitu Hentikan Imperialisme, Musnahkan Feodalisme dan Cekal Kapitalisme Pemerintahan.

Sumber:



http://www.volarefm.com/2012/05/buruh-tuntut-kenaikan-upah-dan-penghapusan-sistem-kontrak-kerja/

Buruh FPR Unjuk Rasa di Bunderan HI dan Istana

TUESDAY, 01 MAY 2012 08:41

 



Jakarta - Koordinator Front Pembela Rakyat (FPR), yang juga Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Independen, Rudi HB Daman, menyatakan, 8.000 massa FPR akan mengikuti aksi peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan depan Istana Merdeka.

"Diperkirakan 8.000 massa yang tergabung dalam FPR akan turun mengikuti aksi yang dipusatkan di HI dan Istana," ungkapnya di Jakarta, Senin (30/4).

Menurutnya, massa FPR akan berkumpul di Bundaran HI sekitar pukul 09:00 WIB. Kemudian, akan melakukan long much menuju Istana Merdeka.

Ia mengatakan, aksi peringatan Hari Buruh Sedunia itu akan diisi dengan berbagai protes terhadap pemerintah dan pengusaha yang belum memberikan hak-hak dan mensejahterakan kepada buruh.

"Isu masih soal buruh, di antaranya; naikan upah, jaminan mendirikan serikat pekerja, pencabutan permen No 17 tahun 2005, reformasi agraria untuk mengatasi jumlah pengangguran, cabut UU No 39 tahun 2004, dan turunkan harga sembilan barang pokok," urainya.

Selain itu, FPR juga mendesak pemerintah tidak menaikan harga BBM. Pasalnya, jika pemerintah menaikan harga BBM akan menambah sulit kehidupan buruh karena 22,2 persen dari upah buruh akan habis untuk biaya transportasi.

Menurutnya, penentangan kenaikan harga BBM menjadi salah satu isu penting yang akan disuarakan massa FPR. Pasalnya, walaupun pemerintah sempat menunda kenaikan harga BBM, namun ada indikasi pemerintah akan tetap menaikannya tanpa memperhitungkan akibat kenaikan itu, yakni menambah susah kehidupan rakyat, khususnya kaum buruh yang berupah kecil. Iwan Setiawan

Sumber:

http://www.gatra.com/nusantara/jawa/11957-buruh-fpr-unjuk-rasa-di-bunderan-hi-dan-istana

Aksi MayDay di Bali

Selasa,   01  Mei  2012  13:56 WIB 

 

Aksi Unjuk Rasa memperingati  May day 2012 Bali, bersama para Buruh, Korlap an. Izan Tantoi dari mahasiswa  , Abdul Haris dari buruh berlangsung aman dan tertib yang dilakukan oleh beberapa elemen yang terdiri dari  Yayasan LBH Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Bali      ( LBH ) Bali, Front Nasional Perjuanagan Buruh  Indonesia ( FNPBI )  Bali, Forum Sumber Daya Manusia  ( SDM ), perhimpunan mahasiswa katholik Indonesia ( PMKRI ) Denpasar, Front Mahasiswa Nasional       ( FMN )  Bali sebanyak 50 orang  di Halaman Kantor Gubernur Bali, Senin 1/5.

Para Buruh dengan semangat berapi-api memperjuangkan nasib atas pekerjaannya meningkatkan penghasilan  untuk Penghidupan yang lebih layak, sesuai Hak Asasi Manusia, yang mewajibkan Negara untuk memenuhi kebutuhan hidup , mendapatkan pekerjaan dan meningkatkan taraf hidup, sangat  begitu memprihatikan dengan upah yang sangat murah hanya cukup untuk makan sehari-hari , serta adanya rencana pemerintah menaikkan BBM, akan lebih menyakitkan serta sangat menindas para kaum buruh yang sudah menderita.

Tegakkan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah dianggap oleh mereka tidak peduli akan Nasib buruh, hentikan pembodohan para buruh  dengan tuntutan yang dibacakan oleh perwakilannya sebagai berikut : Hentikan Tenaga Kerja Kontrak ( Outsourshing ), Pendidikan Gratis dan kuliah murah, Tolak RUU Perguruan Tinggi, Standarisasi Kebutuhan Hidup Layak secara Nasional, Bangun Industri Nasional dan Nasionalisasi Industri yang menguasai hajat hidup orang banyak, Pastikan perlindungan Buruh migrant dan Keluarganya, Rehalisasi Perumahan Gratis, Rehalisasi Kesehatan gratis, Tolak Union Busting dan Tolak UU APBNP 2012.
Asisten Satu I Wayan Suasta,  Bagian Pemerintahan menerima para pengunjuk rasa di halaman depan kantor Gubernur Bali  dengan sikap prihatin , serta mengajak berdialog, dengan mengatakan silahkan Komplin kepada kami, agar kami tahu seperti apa keadaan saudara , untuk kami perjuangkan ke atasan kami, tetapi bukan saya yang menentukan mengenai hal tuntutan saudara, kami sebagai penyambung informasi.

Kekuatan Pengamanan dilapangan terdiri dari 1 Kompi  Dalmas Polda Bali, 1 Peleton Sabhara Polsek Dentim,  1 Kompi  Dalmas Polresta Denpasar dan Ton Cadangan terdiri dari Intel, Lantas, Dokkes ,Provost dan Humas.

http://humas.polri.go.id/News/Pages/AKSI--MAY-DAY-2012-BALI.aspx

GSBI: Gerakan Buruh Lawan Kenaikan BBM


Written by Muhammad Jokay Tuesday, 01 May 2012

KEDAIBERITA.COM – JAKARTA – Dalam rangka memperingati hari buruh sedunia yang jatuh pada hari Selasa 1 Mei 2012, Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) akan melakukan aksi Protes Nasional. Aksi protes nasional ini akan mengambil titik kumpul di Bundaran hotel Indonesia (HI) Jakarta dan massa akan melakukan rally menuju Istana Negara.

Menurut Rudy HB Daman Ketua umum GSBI, pihaknya akan menurunkan anggotanya sekira 5000 buruh berbagai wilayah seperti Tangerang, Jakarta, Bekasi dan Bogor maupun Depok yang juga akan bersama dengan ribuan buruh lainnya.

Dalam aksi protes Nasional ini GSBI bersama dengan Front Perjuangan Rakyat (FPR) tidak hanya akan melakukan aksi di Jakarta tetapi dibebarapa wilayah seperti, di wilayah Lampung, Palembang, Medan, Karawang, Jawa Tengah, Surabaya, Malang, Jombang hingga Malang Jawa Timur.

Dalam keterangannya Rudy HB Daman menyampaikan, bahwa aksi unjuk rasa buruh GSBI menuntut agar pemerintah rejim SBY-Boediono membatalkan rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan bukan hanya menunda sebagaimana keputusan rapat paripurna DPR RI tanggal 30 April 2012 lalu.

“Apalagi kalau kita melihat bahwa kenaikan upah buruh di di Indonesia pada  tahun 2012 yang mulai berlaku pada bulan Januari 2012 lalu hanya rata-rata kurang dari 12 % tentu sangat tidak sebanding dengan kenaikan harga dari dampak penaikan BBM,” kata Rudy dalam keterangan persnya, Selasa (01/04/12).

Rudy mengatakan, aksi May Day GSBI kali ini bertema Gerakan Buruh Melawan Rencana Penaikan BBM, dengan tuntutan Naikan upah buruh dan lakukan reforma agraria sejati untuk kaum tani.

“Tolak kenaikan harga BBM dan TDL, turunkan harga kebutuhan bahan pokok rakyat, tolak dominasi kapitalis monopoli internasional atas penguasaan minyak dan gas, tambang dan mineral, serta kekayaan alam lainnya milik rakyat Indonesia, naikkan upah dan jalankan reforma agraria sejati, hapuskan sistem kerja kontrak dan out sourcing, berikan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat bagi buruh dan Jadikan 1 Mei sebagai hari buruh dan libur nasional,” papar Rudi.

Rudy juga menyayangkan, banyaknya pihak yang mempersulit dan kepada klas buruh Indonesia yang akan melakukan peringatan hari buruh sedunia terutama para pengusaha dimana banyak buruh yang akan melakukan peringatan banyak mendapat hambatan.

“Seharusnya Pemerintah maupun pengusaha memberikan penghormatan kepada klas buruh Indonesia untuk memperingati hari buruh sedunia yang jatuh pada hari selasa 1 Mei 2012 tahun ini,” tandasnya.

http://www.kedaiberita.com/index.php/Nasional/gsbi-gerakan-buruh-lawan-kenaikan-bbm.html

FPR Minta Pemerintah Naikan Upah Buruh dan Tak Menaikkan Harga BBM

Selasa, 01 Mei 2012 | 13:46 WIB

Skalanews - Setidaknya 8000 buruh yang tergabung dalam Front Pembela Rakyat (FPR) hari ini menggeruduk bundaran HI untuk selanjutnya menuju istana negara untuk menggelar aksi hari buruh sedunia.

 

"Sekitinya kami perkirakan ada sekitar 8.000 massa yang tergabung dalam FPR akan turun mengikuti aksi yang dipusatkan di HI dan Istana," ungkap kordinator FPR, Rudi HB Daman, kepada wartawan, Selasa (1/5).

 

Dalam aksinya kali ini, FPR meminta agar pemerintah menaikkan upah buruh dan tidak menaikkan harga BBM.

 

"Isu yang kami lontarkan masalah buruh, di antaranya; naikan upah, jaminan mendirikan serikat pekerja, pencabutan permen No 17 tahun 2005, reformasi agraria untuk mengatasi jumlah pengangguran, cabut UU No 39 tahun 2004, dan turunkan harga sembilan barang pokok,"paparnya.

 

Dilanjutkan Rudi, apabila pemerintah menaikkan harga BBM maka akan tambah mempersulit kehidupan para buruh. "Karena 22,2 persen dari upah buruh akan habis untuk biaya transportasi," sambungnya. [Frida Astuti/Pay]

Sumber:



http://skalanews.com/baca/news/2/34/110810/megapolitan/fpr-minta-pemerintah-naikan-upah-buruh-dan-tak-menaikkan-harga-bbm.html

Revisi UU Ketenagakerjaan Sudah Mendesak



Ratusan buruh yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) tidur di tengah Jl Raya Wahid Hasyim saat mengelar aksi unjuk rasa peringatan hari buruh Internasional (May Day) di depan gedung DPRD Jombang, Jawa Timur. (sumber: Antarafoto)


Selasa, 01 Mei 2012 | 17:32

“Boleh dibilang, outsourching itu merupakan sistem perbudakan modern."

Pemerintah didesak sudah saatnya untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Alasannya, pengaturan kebutuhan hidup layak (KHL) yang  tercermin dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan belum berpihak pada kesejahteraan buruh. Terutama mengenai pengaturan pekerja alihdaya (outsourching) seperti diatur Pasal 59 dan Pasal 66  Ayat 2a.

"Pasal-pasal tersebut mengebiri hak-hak pekerja. Seharusnya dihapus atau  direvisi dari UU," kata Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas  Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono, dalam seminar memperingati Hari Buruh  Internasional (May Day) di Jakarta, hari ini.

Aloysius mengemukakan masalah KHL merupakan satu hal serius yang perlu  terus diperhatikan dan diperjuangkan. Hal itu hanya dapat dipecahkan  dengan  revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menurutnya, outsourching pekerja itulah yang tidak elok, tetapi terus dilaksanakan. “Boleh dibilang, outsourching itu merupakan sistem perbudakan modern, di mana perusahaan jasa tenaga kerja mengendalikan pekerja untuk  perusahaan pemakai (user)," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal FSP RTMM Sudarto mengatakan persoalan KHL sangat  menentukan nasib hidup para buruh. Oleh sebab itu, persoalan ini harus mendapatkan perhatian serius dari seluruh stakeholder terkait.

“Persoalan KHL ini perlu terus diperjuangkan demi kesejahteraan para buruh dan keluarganya ke depan,” ujar Sudarto, dalam kesempatan yang sama.

Penulis: SP/ Robertus Wardi/ Wisnu Cipto

sumber:



http://www.beritasatu.com/hukum/45628-revisi-uu-ketenagakerjaan-sudah-mendesak.html

Buruh Indonesia juga Gelar Aksi May Day di Hongkong



Tribunnews.com - Selasa, 1 Mei 2012 18:58 WIB

 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu kelompok massa yang ikut turun dalam aksi hari buruh hari ini adalah Front perjuangan rakyat.

Menurut Koordinator Front Perjuangan Rakyat dan Ketua Gabungan Serikat Buruh Independen, Rudi HB. Daman, Front Perjuangan rakyat terdiri dari berbagai elemen.

"Ada organisasi buruh , petani pemuda, perempuan, kaum miskin kota, buruh migran, dan ada juga dari individu," terang Rudi pada Tribun, Selasa (01/05/2012).

Rudi juga menjelaskan hari ini FPR selain menggelar aksi di Jakarta, juga menggelar aksi di 24 kota di Jakarta, dan 1 aksi di KJRI Hongkong.

"Untuk aksi di Jakarta ada sekitar 5000 orang dari FPR, yang berasal dari Jabodetabek," tutur Rudi.

http://www.tribunnews.com/2012/05/01/buruh-indonesia-juga-gelar-aksi-may-day-di-hongkong

May Day, Anak Skinhead Ikut Demo di Gedung Sate

power on mayday

Oleh: Putra Prima
Selasa, 1 Mei 2012, 15:17 WIB
INILAH.COM, Bandung - Aksi demonstrasi ternyata bukan saja diikuti oleh para kaum buruh tapi juga dari para kaum Skinhead dari kelompok yang menamakan diri SOS Strugle Of Skinhead Bandung.

"Kita ambil bagian pada hari buruh ini karena Skinhead bagian dari buruh. Lahirnya Skinhead juga berasal dari buruh atau working class," kata Canex Skin, salah satu Skinhead usai aksi di depan Gedung Sate Bandung, Selasa (1/5/2012).

Dari pantauan INILAH.COM, para kaum Skinhead tersebut berorasi dengan cara berpuisi dengan judul Cerita Duka dari Kaum Buruh. Mereka membacakan puisi sambil diiringi alat seadanya seperti gitar dan juga drum sederhana.

Sebagai penutup, kaum yang identik dengan kepala plontos itu bersama sama menyanyikan lagu dari Steven and Coconut Treez yang berjudul Bebas Merdeka.

Saat ini massa unjuk rasa terlihat sudah membubarkan diri dari depan Gedung Sate. Mereka pergi meninggalkan Gedung Sate dengan teratur dengan kawalan dari kepolisian.[jul]

Sumber:



http://m.inilah.com/read/detail/1856631/may-day-anak-skinhead-ikut-demo-di-gedung-sate

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.