Translate

Bagian Satu: "Laki-laki dan Belati"

Oleh Asep Pram



Laki-laki dan Belati


(Sebuah Cerita)


Seorang laki-laki berjalan perlahan. Matanya menatap kosong tanah yang akan dilaluinya. Sesekali ditendangnya kerikil seperti ingin melampiaskan amarah. Wajahnya sebeku salju, hampir tak ada jejak bahagia.

Di depan sebuah toko, ia berhenti tanpa sedikit pun mengangkat wajah. Ia hapal jalan itu, juga deretan toko-toko itu. Namun ia tidak tahu barang apa saja yang diperjualbelikan. Hanya terdorong oleh keinginannya untuk berhenti, maka ia pun berhenti.

Ia baru mengangkat wajah setelah merasa ada seseorang di hadapannya. Mungkin penjaga toko, pikirnya.

“Ada belati?” ia mulai bertanya.

Yang ditanya tampak mengulum senyum. “Oh maaf, kami hanya menjual obat-obatan. Ini apotik!”. Si penjaga toko jadi bertanya-tanya dalam hati: apakah laki-laki ini tidak bisa baca? Hmm... di negeri yang sudah lebih dari setengah abad merdeka, masih ada rakyatnya yang belum bisa membaca.

Merasa ditertawakan, laki-laki itu segera beranjak. Sedikit pun ia tak mempedulikannya. Jangankan ketololan, penderitaan orang lain pun, bagi rakyat negeri ini merupakan bahan tertawaan, pikirnya. Jika harus tersinggung, sejak dulu seharusnya orang-orang yang hidupnya menderita itu melampiaskan ketersinggungannya, tapi mereka tak melakukannya.

Laki-laki itu kembali masuk ke sebuah toko. Ia berharap barang yang dicarinya ada di tempat ini.

Dengan ‘senyuman selamat datang’, perempuan muda penjaga toko mempersilahkan masuk.

“Ada pisau belati?”

“Tidak ada,” perempuan itu menjawab  pendek. Sepertinya ia masih ingin melanjutkan pembicaraan, tapi ada sesuatu yang membuat dirinya tak mampu berkata-kata. Ia menyukai mata laki-laki itu. Dari caranya memandang seolah ada bola api yang menyembur dari kelopak matanya dan membakar apapun yang dilihatnya. Dalam satu wajah, ada sorot mata yang tajam dan garis muka yang beku. Sebuah perpaduan yang menarik, pikirnya.

“Anda pemburu?” setelah berhasil mengumpulkan tenaga, perempuan muda itu memulai pembicaraan. Ia begitu berhati-hati seolah tidak ingin membuat tersinggung orang yang diajak bicara.

“Begitulah...” laki-laki itu menjawab. Ia berharap perempuan muda di sampingnya segera menimpali. Tapi ternyata tidak. “Saya sedang bersiap-siap memburu binatang paling buas”.

Sekilas ia melihat perubahan air muka perempuan itu. Seperti senang karena perkiraannya tepat, sekaligus khawatir karena ia sedang berhadapan dengan laki-laki pemburu. Paling tidak, pikirnya, orang yang berburu sama buasnya dengan binatang buruannya. Terbayang olehnya sekelompok binatang buas sedang mencabik-cabik mangsa dengan gigi geriginya yang tajam.

“Harimau, macan tutul, singa...?” ia mengira-ngira.

Laki-laki itu menggeleng. “Lembu jantan yang renta.”

Perempuan muda penjaga toko mengerutkan kening. Apa orang ini sungguh-sungguh, pikirnya. Ia ternyata hanya memburu seekor lembu. Lembu yang renta pula.

Seolah mengerti pada apa yang sedang dipikirkan si penjaga toko, laki-laki itu menjelaskan bahwa semua binatang di jaman seperti sekarang ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi buas. Itu terjadi karena mereka merasa hidupnya sudah terancam: anak-anak mereka terancam, dan tempat tinggal mereka juga terancam.

“Siapa yang membuatnya terancam?” tanya perempuan itu.

“Peradaban.”

“Peradaban?”

“Ya!”

“Binatang memiliki peradaban?”

“Tentu”

“Peradaban apa?”

“Peradaban binatang”

Menurutnya, segala yang ada, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan binatang adalah peradaban binatang.

*


Sepagi ini orang-orang sudah bergegas. Kendaraan mengantri di pintu tol menunggu selembar tiket untuk kemudian melesat hendak menyaingi kilat. Sepeda motor sibuk menyalip: baginya jarak sejengkal jari adalah kesempatan yang akan melapangkan pintu uang, karenanya tidak boleh disia-siakan.

Seorang bocah pengamen memaki-maki pengendara motor karena pantatnya tersenggol ekor si kuda Jepang. Kantung plastik tempat ia mengumpulkan uang, lepas dari genggaman. Tujuh koin terserak di aspal. Tubuh ringkihnya  membungkuk, bersiap untuk memungut kembali uang hasil ngamen sejak pukul lima pagi. Namun malang, sebelum tangannya berhasil memunguti koin, tubuhnya terguling, kemudian tersungkur di tepi trotoar. Sebuah sepeda motor menabraknya. Pengemudinya berlari menuju pos polisis untuk menghindari pukulan massa. Ia mengaku tidak melihat si bocah, karena begitu terburu-buru dan ditunggu majikannya di kantor.

Laki-laki dengan wajah beku kembali menyusuri jalan kota, tapi tidak tergesa-gesa seperti para pemburu waktu. Ia bahkan seperti ingin menikmati jengkal demi jengkal langkahnya. Ia tidak sedang mencari apa-apa. Ia hanya mencari pisau belati.

Di depan sebuah kedai kopi ia menepi. Dipesannya segelas kopi hitam. Sebuah rutinitas ini seolah menjadi takdir yang harus dijalaninya setiap pagi: segelas kopi, dan beberapa batang rokok jika ada. Inilah kebiasaan yang diwariskan ayahnya. Ia pun percaya petuah sang ayah bahwa kebiasaan itu cukup untuk menahan lapar seharian. Bukan sebuah pilihan ideologis, melainkan sebuah strategi survival agar hidup tetap melaju.

Dengan ujung mata, ia memperhatikan cara penjaga kedai menyiapkan pesanannnya. Ia tidak berniat ingin tahu caranya menuang kopi, tapi masa lalu telah mengajarkannya untuk selalu curiga. Selalu ada lahar panas di balik bisunya gunung, lebih-lebih yang nyata seperti gelombang laut: selalu menyediakan ancaman. Di balik manisnya senyum tidak hanya da sederet gigi, tapi ada peranti untuk menyusun strategi dan bersiasat.

Setelah sejenak mengira-ngira, ia menyimpulkan bahwa si penjaga kedai bukanlah ancaman. Ia pun mengajaknya bercakap-cakap menunggu kopi surut di gelas. Topik obrolan bermacam-macam: selalu beralih ke lain topik sebelum yang sedang dibahas sampai pada tuntas. Mulai dari kelakuan petugas Satpol PP yang kerap menggertak atau numpang minum kopi dan minta gratis hingga masalah asal-usul keluarga. Satu yang tidak mungkin terlupakan: belati:

“Untuk apa?” pemilik kedai terheran-heran. Ketika kebanyakan orang berebut mencari uang, mengapa ia susah payah mencari belati, pikirnya. Ditatapnya laki-laki itu. “Sepertinya benda itu sangat penting buat Anda?”

“Betul...”

“Untuk apa?” pemilik kedai menghentikan pekerjaannya. Ia duduk di samping laki-laki itu, mendekat. Sebuah rencana pembunuhan terbayang di benaknya.

“Kenapa Bapak begitu ingin tahu?”

“Karena saya bisa membantumu mendapatkan benda itu. Jadi, sebelumnya saya harus tahu untk apa Anda begitu ingin mendapatkan benda itu...”

Menurut laki-laki itu, ia bukannya tidak ingin bercerita, tapi tidak sanggup untuk mengingatnya. Mengingat sebuah kesakitan, bukan hanya menaburkan garam pada luka, tapi juga seperti membuat luka baru di tempat yang baru.

“Bicaralah, Cuma beberapa menit. Tak akan seberapa sakit ketimbang harus terus memendamnya bertahun-tahun,” penjaga kedai meyakinkan.

“Saya jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis itu pun mencintai saya. Kami sepakat untuk menikah di tanggal kelahirannya, di tahun yang telah kami sepakati. Di tahun yang menurut kami tepat, di mana saat itu kami sudah sama-sama siap. Namun di tengah usaha kami menyiapkan segalanya, ayah perempuan itu memisahkan kami begitu saja. Terlalu lama menunggu, katanya. Seorang laki-laki telah dipersiapkan untuk gadis itu. Ya, sebuah kisah cinta Siti Nurbaya diulang untuk ke sekian kalinya. Selian itu, ayahnya juga kalau aku...”

“Lanjutkan...” penjaga kedai tidak sabar.

“Ia tahu kalau aku anak seorang PKI...”

Penjaga kedai berkali-kali menganggukkan kepala.

“Itulah puncak dari rasa sakit yang kualami hanya karena ayahku aktivis PKI. Sejak itu aku menyimpan dendam...”

“Lalu, belati itu....” pemilik kedai menebak-nebak.

“Ya. Hanya dengan belati itu dendam ini akan tuntas. Tidak ada cara lain.”

“Benarkah? Tidak adakah yang lebih baik dari itu?”

“Maafkan... Aku sudah tidak percaya pada kebaikan. Sudah tidak ada harganya.”

Penjaga kedai menarik nafas dalam-dalam kemudian melepaskannya seperti ingin melepaskan beban di dadanya. “Masih ada waktu untuk berpikir. Pikirkanlah sekali lagi...” katanya menasehati.

*


Inilah belati itu. Keping baja yang dibakar. Dibentuk sedemikian rupa. Ada nama perempuan itu: LARASATI. Kepada benda inilah ia menitipkan sesuatu: dendam yang sudah memerah. Sama sekali ia tidak ragu. Hanya dengan cara inilah segalanya akan berakhir.

Seperti biasa, malam tetap hitam. Langit tetap seperti itu, seperti halaman tak terhingga yang menawarkan ruang kepada anak-anak untuk bermain. Ada bintang yang dapat berkedip dan menawarkan lima sisi untuk dipilih. Katanya untuk anak laki-laki belajar melompat dari satu sisi ke sisi lainnya sebab hidup mengharuskannya demikian, mengimbangi bumi yang terlampau lincah berputar. Bulan juga tetap bulat, sesekali mempercantik diri dengan pantulan cahaya. Katanya untuk anak perempuan belajar berbedak.

Betapa kagetnya ia, orang yang baru saja keluar dan kini berada dekat dari tempat persembunyiannya itu adalah kekasih yang dicintainya. Seribu degup menghentak jantungnya. Genggamannya perlahan mengendor. “Kenapa ada di sini?” ia mengumpat dalam hati.

Laki-laki berwajah beku itu merasa iba setelah melihat keadaan kekasihnya. Ia tahu kalau kekasihnya itu sangat mencintai- nya. Seperti dirinya, perempuan itu pun sama-sama mengalah. Mengorbankan cintanya demi hormat dan bahagianya orangtua.

Pergulatan kembali terjadi dalam otaknya. Ia berpikir keras memilih kembali keputusan: melampiaskan dendam atau mengalah total tanpa berkutik menerima segala luka. “Kalau orangtuanya mati dibunuh, ia akan semakin bersedih, sebab telah kehilangan dua orang yang dicintainya: orangtuanya dan diriku,” pikirnya. Lalu, bagaimana dengan dendamnya? Cinta dan keinginan agar hidup perempuan yang dicintainya bahagia, telah membuat dirinya harus kembali mengulur ujung simpul: ia harus membakar segala dendam.

ia memutuskan untuk tidak membunuh orangtua kekasihnya. Ia ingin orangtua kekasihnya itu bahagia dengan calon manantu pilihannya sendiri. “Biarlah luka ini kumamah sendiri. Berbahagialah, kalian!”

Namun, ketika melangkah hendak pergi, ia baru sadar, di samping kanan dari tempatnya sembunyi terdapat sebuah panggung kecil yang belum selesai didirikan. Dalam hati ia bertanya-tanya, untuk apa panggung itu dibuat. Pertanyaan kemudian terjawab setelah ia melihat dua buah tiang bambu dengan hiasan indah janur di ujungnya. “Sebuah tanda kepemilikan laki-laki atas perempuan, seperti srigala jantan yang menandai wilayah kekuasaannya dengan air seni sendiri. Pernikahan...  mungkinkah ia menikah hari ini? Kenapa aku tidak diundang?”

Sumbu mesiu kembali terbakar. Pijarnya memendar mencipta kilatan-kilatan amarah. Laki-laki itu belum sepenuhnya mampu menerima segala yang terjadi. Luka kembali disayat perih. Tapi kini, laki-laki calon suami kekasihnya itu yang menjadi sasaran, sebab ia tahu: laki-laki itu telah mengungkap sisi nista jati dirinya sebagai anak seorang PKI di hadapan orangtua perempuan itu sehingga tak lagi merestuinya.

“Anjing! Kubunuh laki-laki itu dengan belati ini. Ya, dialah yang telah membuat semuanya tak karuan. Dialah yang sebetulnya tidak punya perasaan itu. Bersiaplah. Aku akan datang, bukan untuk mengucap selamat. Aku akan datang untuk menancapkan belati ini di tubuhmu!” suaranya terdengar gemetar.

Ia kembali mengawasi wajah kekasihnya. Perempuan itu duduk di teras rumah, tampak sedang bersedih dan gelisah. Tak lama ia berdiri, berjalan perlahan ke sana ke mari. Tiba-tiba matanya mendongak ke atas, ke langit malam yang berawan kelabu. Seperti ingin memandang sesuatu.

Pintalan ingatan akan masa lalu berloncatan. “Kasihan engkau, kekasihku. Aku tahu, engkau pasti ingin melihat bulan dan bintang yang sering kita tatap dulu. Namun sayang, seperti kita saat ini, mereka tidak akan bersinar lagi. Mereka sedang berduka. Lihatlah, langit hitam memendam badai, petaka sebentar lagi tiba memupus lukisan harapan yang kita gambar di atas tanah kemarau. Sebenarnya, aku tidak tega melihat engkau bersedih. Aku tidak ingin mengakhiri semua ini. Aku setuju dengan ajakanmu untuk pergi ke sebuah kampung, menikah di sana, membangun rumah kecil dan hidup sederhana, tapi aku tidak ingin menjadi penyebab retaknya hubunganmu dengan orangtua. Tak akan kita dapati ketentraman jika keinginan itu tetap kita paksakan tanpa restu orangtua. Aku akan terus mencintaimu, meski  engkau tak sepenuhnya kumiliki. Tegarlah wahai kekasih, cobalah terima ini semua tanpa beban. Aku tidak kuat melihat air matamu itu,” ia membalikkan muka karena melihat perempuan yang dicintainya mengusap sepasang matanya yang basah, rebah, dan pasrah.

Dengan mata basahnya, perempuan itu masih tetap memandang langit malam. Benar. Ia ingin melihat bulan dan bintang. Ia ingin menitipkan kabar untuk laki-laki yang dicintainya. “Keluarlah kalian, bulan dan bintang. Sampaikan pada laki-laki kekasihku, ... aku minta ia datang malam ini juga sebelum subuh tiba. Aku akan memberitahukan tentang pernikahan yang tidak kuinginkan ini. Aku…akan menikah….besok.” Tangis tak henti mengalir seperti gerimis panjang. “Kehadiranmu sekarang sangat berarti bagiku, … sangat berarti. Ini adalah malam penghabisan aku merindukanmu, detik terakhir  perasaan cintaku terhadapmu. Subuh besok, aku mulai berdandan menjadi pengantin. Mulai subuh besok pula aku akan berusaha menerima laki-laki pilihan orangtuaku itu. Aku harus bisa menerimanya, sebab bagaimana pun, ia adalah suamiku. Aku harus berusaha melayani dan berbakti kepadanya, mendukungnya dari belakang, menjadi tempat berlabuh, menjadi penenang dikala gundah meresah, menjadi istri yang jujur dan tulus. Bukankah itu perkataanmu tentang kewajiban istri terhadap suami? Aku akan menjalankan semua perkataanmu itu pada laki-laki yang menjadi suamiku, meskipun laki-laki itu bukan dirimu. Datanglah ke sini malam ini juga. Hapuskan kesakitan dan dendam itu, sebab kamu sendiri yang memintaku untuk dapat menerima segala, yang pahit sekalipun. Datanglah… dimana kamu malam ini? Ingatkah kamu kepadaku malam ini. Kalau tidak bisa datang, tolong dengarlah segala gundah ini, dengarlah…!” Dalam hatinya, ia ingin sekali laki-laki yang dicintainya datang malam itu. Ia tidak tahu kalau laki-laki yang ia maksud berada sangat dekat dari tempatnya memohon.

Kini perempuan itu menutup muka dan mulutnya dengan tangan berlapis ujung gaun tidurnya. Ia tidak ingin ada orang yang tahu dan mendengar tangisnya. Ia tidak ingin mengecewakan orangtuanya. Sebagai perempuan, dirinya tidak dapat berontak terhadap kenyataan ini dan mangakui bahwa ini semua adalah kesewenang-wenangan dan pemaksaan. Ia ingin sekali menolaknya, tapi yang ia hadapi adalah orangtuanya sendiri, yang telah membesarkannya, mendidiknya, menyekolahkannya hingga seperti saat itu.

Reruntuhan budaya feodalistik yang karatan dan tradisional masih tetap dipertahankan di zaman sekarang ini, pikirnya. Kenapa anak harus selalu menghormati orangtua, sedangkan orangtua bisa sewenang-wenang kepada anaknya tanpa memperdulikan perasaan, pendapat,  dan keinginannya untuk dihargai. Ada kekuasaan apa yang memberikan wewenang penuh orangtua kepada anaknya? Kenapa jika seorang anak menolaknya selalu dihadapkan pada sebuah dosa. Mahluk semacam apakah dosa hingga membuat seseorang mati kutu jika berhadapan denganya? Benarkah dosa itu ada? Atau jangan-jangan hanya sebuah akal-akalan salah satu pihak yang ketakutan.

Melihat perempuan yang dicintainya bersedih, laki-laki itu ingin sekali menghampiri dan mendekapnya erat, membiarkan kepalanya rebah terbenam di dadanya hingga basah berurai air mata. Ia ingin membiarkan perempuan itu mendengar sendiri degup jantungnya, cintanya, sebab cinta tidak hanya butuh kata-kata dan tindakan, tapi juga kepercayaan dan keyakinan. Namun ia sadar bahwa keinginanya itu akan menjadikan segalanya tambah menyakitkan. “Biarlah ia terbiasa tanpa kehadiranku sebab janur kuning calon suaminya telah menghias rumahnya”. Meskipun ia sendiri tidak sepakat dengan pengkultusan janur sebagai simbol sebuah kepemilikan laki-laki atas perempuan. “Aku do’akan engkau bahagia bersamanya, wahai kekasihku. Ingat kembali pesanku tentang keharusan istri terhadap suami. Ingatkan juga suamimu jika ia tidak sesuai dengan keharusan suami tehadap istri, begitulah. Aku turut bahagia jika engkau bahagia, tapi aku sangat menderita jika engkau bersedih. Realisasi cinta tidak selamanya dengan saling memiliki secara fisik, tapi juga perasaan. Cinta di hatilah yang kini kita miliki, maka kenanglah aku wahai kekasih, sebelum engkau menjadi istri laki-laki pilihan orangtuamu itu. Berbaktilah engkau kepada siapapun laki-laki yang menjadi suamimu, jangan kecewakan ia. Sebelum melihatmu menikah, aku akan tetap tinggal di kota ini. Pernikahan itu adalah hari bahagiamu, sambutlah ia dengan senyuman… senyumlah. Kepergianku tak akan menyisakan sesal bila telah melihat engkau tersenyum,” ia terus bergumam.  Hanya hati. Hanya dalam hati.

Keduanya masih tetap di tempatnya masing-masing hingga adzan subuh tiba. Beberapa orang terlihat menuju mesjid. Mereka bersarung dan berkopiah, berusaha menyisihkan waktu tidurnya untuk mengingat Tuhan sebab di antara mereka masih percaya, hanya Tuhan yang wajib disembah dan dituruti, bukan penguasa.

Sebelum pernikahan perempuan yang dicintainya berlangsung, ia menetap di kota itu. Ia sangat terbiasa dengan gaya hidup bohemian. Tidur, baginya bukan masalah. Ia yakin bahwa esensi tidur adalah menghentikan aktivitas kesadaran, membiarkannya istirahat. Memejamkan mata, berbaring, terlentang, kasur, bantal, dan guling adalah sebuah kemanjaan.

Dengan wajah yang sudah jauh berbeda dari dulu sebelum peristiwa pemutusan paksa oleh orangtua perempuan itu, ia tidak akan dikenali oleh siapapun, termasuk oleh perempuan yang dicintainya. Ia selalu berada di jarak yang cukup untuk mengawasi rumah perempuan itu. Ia hanya ingin melihat perempuan itu tersenyum bahagia ketika pernikahan berlangsung. Itu saja cukup baginya untuk meyakinkan bahwa perempuan itu telah bisa menerima kenyataan sebagai seorang istri dari laki-laki yang tidak ia kehendaki.

Musik degung telah melantun dari pagi. Ia kembali tersayat luka. Alunan musik itu seolah memberitahu semua orang bahwa hari itu ada pesta, silahkan lihat dan saksikanlah, betapa cantik dan tampannya para pengantin. Lihatlah senyum bahagia mereka yang akan ber-rumahtangga. Tanyakan kepada mereka, berapa jumlah anak-anak lucu yang diinginkannya? Ayo, datanglah beramai-ramai. Makanlah sepuasnya hidangan disediakan, karena makanan itu wujud berbagi kebahagiaan dari mereka. Begitulah ia membayang maksud bunyi gamelan itu.

Seorang sinden menyanyikan tembang-tembang Sunda yang tak asing lagi bagi masayarakat sekitarnya: Karembong Kayas, Kalangkang, Es Lilin, Akang Haji, Incu Mitoha, dan sebagainya.  Perempuan sinden mengenakan kebaya warna merah muda dipadu kain selendang merah tua kotak-kotak, dan kain batik tulis warna cokelat melilit di pinggangnya hingga mata kaki.

Tamu undangan berdatangan mengenakan pakaian berbagai macam warna dan merk. Sebagian perempuan mengenakan Kebaya berikut kain songket dengan gelung di kepala. Laki-laki memakai bendo, lengkap dengan baju dan kain bawahannya.

Dari belokan terlihat rombongan pengantin laki-laki, memanjang. Ramai sekali. Pengantin laki-laki terlihat digandeng oleh beberapa orang yang sudah berumur, mungkin orangtuanya. Para pengantar berbaris di belakangnya. Seorang lengser dan beberapa perempuan pagar ayu menari-nari.

Ia menatap wajah pengantin laki-laki dengan ketenangan penuh. Kini ia dapat menerima segalanya. Ia menyaksikan dan mengikuti jalannya resepsi pernikahan dengan khidmat dari tempat yang agak jauh. Mulai dari ketok panto, seren-sumeren, walimahan, hingga sawer. Pada acara sawer ini ia melihat kedua pengantin duduk berdampingan dengan payung pengantin yang menahannya dari jatuhnya uang recehan dan bunga-bunga yang dilemparkan seseorang di antara jeda kawih sawer.

Setelah akad nikah selesai, kedua pasangan pengantin itu, diperbolehkan menerima ucapan selamat dari para tamu yang hadir. Tamu undangan biasanya dipersilahkan untuk mencicipi berbagai hidangan yang disediakan. Pada acara inilah ia baru dapat melihat pengantin perempuan dengan jelas. Matanya terus menatap, merindukan senyuman bahagia darinya. Apa yang ia harapkan terjadi. Perempuan pengantin yang dicintainya itu tersenyum kepada tamu perempuan pertama yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Ketika kedua perempuan itu sedang berpelukan, mata pengantin perempuan itu tertuju kepadanya. Perempuan pengantin itu terdiam sejenak. Ia sangat hafal tatapan itu.

Menyadari dirinya sedang diperhatikan oleh pengantin perempuan, ia segera pergi. Ia berlalu setelah senyum kebahagiaan yang dirindukan dari perempuan yang dicintainya itu didapatkan.  Iia segera meninggalkan kota itu. Sambil menghisap rokok, ia memasuki bis yang akan membawanya pulang.

Dalam bis ia mulai menyusun beberapa rencana yang akan dilakukan selanjutnya. Setelah mempertimbangkan dengan matang untung rugi serta konsekunsinya, ia memutuskan untuk tidak bekerja apapun selain menulis. Ia sadar, keberadaannya sebagai anak seorang komunis, hingga saat ini masih terus dimarjinalkan. Ke mana pun lamaran pekerjan ditujukan, selalu terjegal oleh keberadaan bapaknya yang eks tapol, yang dipercaya menjadi bagian dari hantu-hantu komunis yang ditakuti, yang tidak layak hidup dan gentayangan bersama “kaum bersih”.  Menurutnya, hanya dengan menjadi penulislah ia dapat mengekspresikan kegelisahan dan keresahannya selama ini sebagai reaksi terhadap sistem sosial dan berbagai realitas kehidupan selama ini.

Menjadi manusia merdeka dan bebas yang ia inginkan. Ia tidak akan merasa terbebani oleh pekerjaan, tidak merasa terbatasi oleh berbagai aturan dan keharusan. Lewat menulis ia ingin mengabadikan segala penderitaan dan kesakitan yang pernah dialami orang-orang miskin, kaum yang tertindas, dan terpinggirkan dari kehidupan modern. Ia ingin mengabarkan segala penderitaan dan kesakitan yang ada di bumi ini kepada pembaca, agar semuanya menyadari bahwa ketertindasan, kesakitan, penderitaan, dikucilkan, dan dibuang, akan menggumpal melahirkan jentik-jentik dendam. Dendam yang makin lama makin bertambah, akan terus-menerus mendesak, memerlukan pelampiasan, yang salah satunya melalui perlawanan dan pemberontakan. Karena banyaknya kaum miskin yang disakiti dan dilukai, akan makin banyak juga cikal bakal dendam yang dibangun, yang kemudian tertata menjadi dendam kolektif. Dendam kolektif akan terus-menerus menuntut adanya pemenuhan yang juga kolektif, dan akan terekspresikan menjadi perlawanan dan pemberontakan kolektif. Perlawanan kolektif dari orang-orang yang tersakiti yang telah satu langkah, satu tujuan, satu tekad, satu pimpinan, apalagi sebutannya kalau bukan revolusi. Perlawanan telah menjadi angan-angannya semenjak peristiwa itu.

Begitulah sepanjang perjalanan ia menyusun kembali masa depan dari titik nol, sebab yang lama telah dihancurleburkan oleh kepongahan orangtua atas anaknya. Di bis itu ia menuliskan segala perasaan yang diakibatkan peristiwa yang baru saja dialaminya. Kemarahannya, dendamnya, sakit hatinya, penderitaanya, perjalanannya, dan segala kisahnya dengan perempuan yang dicintainya.

Bis mulai meninggalkan terminal. Berpuluh-puluh pedagang asongan turun berhamburan dari dalam bis digantikan oleh beberapa orang pengamen. Seorang ibu disampingnya sejak tadi memperhatikan apa yang lakukannya.

“Kuliah di mana?” tanya perempuan itu.

“Sudah selesai, Bu!”

“Sudah bekerja?”

“Sudah.”

“Di mana?”

Ia bingung menjawabnya dan merasa terganggu oleh sikap dan pertanyaan perempuan itu. Kalau disebutkan pekerjaannya membaca dan menulis, apakah si ibu akan setuju kalau itu sebuah pekerjaan? Dalam hatinya ia kesal juga pada si ibu.

“Lho, kok malah melamun?”

“Pekerjaan saya membaca dan menulis, Bu!”

Perempuan itu memandangnya heran. “Pekerjaan apa itu? Wartawan?”

“Bukan. Menulis cerpen...”  ia menyebutkannya dengan ragu-ragu.

“Oh itu, penulis. Apa yang bisa dikerjakan, ya kerjakan. Mencari pekerjaan yang enak di zaman sekarang semuanya susah. Harus memakai uang berjuta-juta, harus menyuap dulu. Yang menyuapnya paling besar, dialah yang dapat kerja. Setelah bekerja, ia harus mengembalikan modalnya. Karenanya, apa pun dilakukan, termasuk korupsi. Anak ibu juga mau masuk tentara, harus memakai uang berjuta-juta. Sudah masuk, eh malah meninggal di Aceh tertembak pasukan GAM. Jangan mau jadi tentara-lah, beresiko.”

“Penulis juga sama, Bu. Kalau isi tulisannya tidak disukai pemerintah, bisa dipenjara.”

“Ya, jangan menulis yang macam-macam saja. Pokoknya, kita harus mencari selamat. Orang kecil seperti kita tidak usah ingin yang macam-macam, bisa selamat saja sudah untung. Tidak usah cari mati,”

“Tapi, Bu, orang meninggal bisa di mana saja. Kita sedang duduk di sini saja kalau sudah harus meninggal, ya meninggal. Apa pun caranya. Kepanasan, pusing, ditodong lalu dibunuh, atau bis-nya terbalik lalu terbakar, dan semua penumpangnya meninggal, ....”

Perempuan yang mengajaknya ngobrol itu sudah terlelap tidur dengan kepala terkulai. Tidak berapa lama, setelah cerita yang ingin ditulisnya selesai, ia memilih untuk istirahat. Ia pun tertidur. Bis yang ditumpanginya banyak berhenti di tengah jalan untuk menaikkan penumpang baru. Kondektur yang rakus itu sibuk mengatur beberapa orang yang berdiri, berderet di tengah.

Tuhan menghendaki perjalanan laki-laki yang berkawan duka itu harus selesai sebelum ia berjalan langkah demi langkah untuk mewujudkan angan-angannya sebagai penulis yang membela kaum tertindas. Sebelum ia menuliskan kisah tentang penderitaan, kesakitan, dan dendam yang kerap dirasakan oleh dirinya dan oleh orang-orang miskin lainnya, sesuatu terjadi. Bis yang ditumpanginya meluncur dengan kecepatan tinggi. Di sebuah jalan yang menikung, sopir bis tidak mampu mengendalikan kemudi. Kendaraan itu oleng ke kanan dan ke kiri. Penumpang menjerit ketakutan.

Laki-laki itu terbangun, ketika ia membuka mata dan melihat ke arah depan bis, sebuah truk sudah berada tepat di depan bis. Ia memandangnya tak percaya. Ia tidak ingin melewatkan peristiwa yang menurutnya langka: menyaksikan tabrakan dua kendaraan dari dalam salah satu kendaraan yang bertabrakan. Ia dengan jelas melihat pucat pasinya wajah sopir truk ketika sedang berhadapan dengan wajah bis dalam jarak satu meter.

Brakk! Sebuah bunyi tredengar keras. Laki-laki itu sempat melihat kaca depan bis yang ditumpanginya pecah dan berhamburan. Penumpang yang berada di samping sopir terlihat menutup muka dengan tangan, kemudian jeritannya berhenti sebab bagian depan kepala truk itu sudah membentur kepalanya.

Setelah itu, ia merasakan bis bergoyang keras. Kepala para penumpang terbentur ke sandaran kursi yang ada di hadapan masing-masing. Dukk! Bunyi beberapa kepala yang menghantam kursi diikuti jeritan tiada hentinya. Beberapa saat setelah itu, ia tidak dapat melihat apa pun sebab beberapa penumpang telah menindihnya hingga dirinya tertekuk.

Laki-laki itu merasakan sesuatu menyentuh kulit perutnya. Beberapa saat kemudian ia merasakan benda itu masuk dengan cepat, seiring dengan menekuknya punggung yang tertindih oleh penumpang dari belakang. Setelah itu, ia tak ingat apa-apa lagi.

 bersambung...


Bagian Kedua "Lahirnya Tragedi"


Biodata Penulis:


 Asep Pram, lahir di Cianjur, 20 November 1979. Semasa kuliah aktif di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS), Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Belajar menulis beberapa genre sastra seperti puisi, cerita pendek, dan novel. Beberapa cerita pendek dan puisinya pernah dipublikasikan di beberapa media massa cetak di Bandung dan di buku antologi bersama.

Novel pertama yang pernah ditulisnya berjudul Yang Melawan (2004), dipublikasikan secara stensilan dan dibahas dalam diskusi mingguan di ASAS. Novel keduanya berjudul Vademikum (2005), dijadikan sebagai mahar pada pernikahannya.

Menyelesaikan studi tentang kebijakan pada Magister Studi Kebijakan, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.