Translate

Setumpuk Persoalan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan harus menjadi faktor pendorong bagi kemajuan peradaban menuju masya-rakat yang sejahtera, berkeadilan, berdaulat dan demokratis.

Dominasi imperialis-me telah tertan-cap dan kian men-dalam di Indone-sia saat ini telah memukul sendi penghidupan rakyat di segala sektor dan golongan, termasuk pendidikan.

Pendidikan dipandang seba-gai salah satu sektor yang dapat mendatangkan keuntung-an yang besar, sehingga dengan cara yang sistematis pendidikan telah diatur sedemikian rupa untuk dapat mendatangkan keuntungan.

Historis pendidikan di negeri ini masih menyisakan kabut gelap bagi rakyatnya. Pendidikan pada setiap masa, hanya dijadikan alat legitimasi penindasan bagi penguasa.

Di era kolonial, pendidikan ditujukan untuk menyediakan infrastruktur bagi kepentingan industri perkebunan dan birok-rasi Belanda serta bersifat dis-kriminatif bagi rakyat.

Demikian juga  kenyataan saat ini yang menunjukkan bahwa Pendidikan di Indonesia tidak mencerminkan upaya mencerdaskan kehidupan rak-yat untuk mewujudkan bangsa yang mandiri, berdaulat, adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Pendidikan saat ini tidak lagi dipandang sebagai Hak rakyat yang harus dipe-nuhi dan tangungjawab Negara yang harus dijalankan sebaik dan se adil-adilnya.

Berbagai kebijakan dan gagasan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang kemudian di-patenkan melalui konstiusi untuk melegitimasi perampasan hak rakyat dan meraup keuntungan melalui lapangan pendidikan. sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah mera-tifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Kenyataannya, kebijakan tersebut tidak pernah terbukti mampu membawa pendidikan di Indonesia menjadi lebih berkualitas hingga dapat men-jamin kelansungan hidup rak-yat yang lebih sejahtera, ke-bijakan tersebut kemudian jus-tru diperkuat lewat kebijakan baru yaitu Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang ditetapkan tangal 16 Desember 2008 kemudian di Undangkan (UU NO. 9 Tahun 2009) pada tanggal 17 Januari 2009. Kebijakan ini justru membawa dampak yang makin buruk bagi rakyat, hilangnya kesempatan bagi anak buruh dan anak tani untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi karena mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik dan orang tuanya.

Disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan justru memberikan legitimasi bagi pemerinah untuk melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan, sebab didalamnya juga mengatur ten-tang batasan pemerintah untuk menalokasikan angaran pendidikan, terutama perguruan tinggi.

Dengan terbatasnya anggaran yang diberikan oleh premerintah bagi lempabaga pendidikan (Dasar, Menangah dan perguruan tinnggi) telah membuka kesempatan bagi lembaga pendidikan untuk makin meme-ras rakyat melalui biaya pendidikan yang tinggi, selain itu untuk bisa terus beroperasi setiap lembaga pendidikan ha-rus mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya dengan berbagai jenis jalur masuk serta kutipan uang masuk yang berbeda-beda jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Untuk mampu menopang operasional dan tetap dapat mendatangkan keuntungan, Le-mbaga-lembaga pendidikan ju-ga membuka ruang investasi secara luas, menjalankan kerjasama-kerjasama baik Nasional maupun Internasional dalam penyesuaian kurikulum dan sistem operasionalnya juga kerjasama disektor jasa, pertambangan hingga pertanian yang mengakibatkan makin me-luasnya perampasan tanah petani.

Mahasiswa atau pesera di-dik juga sering dilibatkan dal-am proses produksi mengelola usaha mandiri lembaga (me-ngolah lahan, Menanam bibit dan merawat tanaman) atau dengan pelibatan dalam pekerjaan lainnya dengan dalih praktikum untuk mengurangi biaya produksi, sementara Mahasiswa yang menjalani proses tersebut tidak sama sekali diberitahukan berapa hasil yang dicapai, didistribusikan kemana dan keuntungannya berapa, situasi demikianpun tidak mam-pu mendorong turunnya biaya pendidikan, justru makin naik setiap tahunnya.

Dalam berbagai kesepakatan perjanjian kerjasama internasional (Multilateral dan Bilateral) yang dilakukan pemerintah Indonesia, kerjasama dibidang pendidikan, sains dan teknologi adalah salah satu prio-ritas utama dalam kesepakatan tersebut.

Hal ini bertujuan untuk memastiakan kampus sebagai Corong budaya Imperialis, sehingga kurikulum dan sistem pendidikan yang akan dijalan-kan harus sesuai dengan kebu-tuhan dan kehendaknya, sebut saja berbagai program yang marak saat ini seperti Kampus entrepreneurship, Pengadaan World Class university, Resear-ce University dan Kelas Inter-nasional yang hanya akan men-jadikan buruh murah, untuk memenuhi industri terbelakang negeri ini.

Kurikulum macam ini selain bertujuan untuk mem-bentuk ketergan-tungan rakyat Indonesia atas teknologi Imper-ialisme juga dijadikan sebagai dalih untuk menetapkan biaya pendidikan yang mahal.

Kenyataan ini terbukti dibeberapa perguruan tinggi yang menerapkan kelas internasional dengan uang pangkal dan uang SPP per semester yang berkali lipat dengan kelas regular, misalnya di UI kelas internasional di buka di fakultas kedokteran (uang pangkal 70 juta dengan biaya per semester 35 juta), fakultas teknik (uang pangkal 25 juta dengan biaya persemester 15 juta) dan fakultas ekonomi (uang pangkal 26 juta dan per semester 45 juta), atau di UNS menetapkan biaya pengembangan institusi hingga Rp 100 juta untuk fakultas kedokteran, dan di UNHAS yang mempunyai jalur nonsubsidi (JNS) dengan biaya rata-rata Rp 20 juta per semester.

Sementara anggaran untuk pendidikan yang diamanatkan dalam Konstitusi yang memuat minimal 20% APBN dan AP-BD, hanya tinggal menjadi Bualan kosong SBY. Pada tahun anggaran 2009, SBY menyebutkan bahwa 20% APBN untuk anggaran pendi-dikan telah dipenuhi namun memasukkan anggaran gaji un-tuk guru dan dosen di dalam-nya.

Untuk 2010 ini, anggaran untuk sektor pendidikan yang diberikan masih dengan pola yg sama, bahkan jika dihitung, anggaran untuk pendidikan murni hanya mencapai 10% dari APBN.

Dengan kondisi pendidikan yang demikian, mustahil dapat diraih oleh anak buruh dan anak kaum tani, rakyat miskin hanya tinggal bermimpi saja untuk bisa merasakan pendi-dikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam program 100 hari SBY-Boediono paska dilantik tanggal 20 November 2009 lalu, terdapat 8 program andalan Mendiknas (M. Nuh) dibidang Pendidikan yang tidak ubahnya seperti kemasan program usang yang telah gagal dengan kemasan yang baru, yaitu: 1). Penyediaan Internet secara massal di sekolah, 2). Penguatan kemampuan kepala dan pengawas sekolah, 3). Besiswa PTN untuk siswa SMA/SMK/MA berprestasi dan kurang mampu, 4). Penyusunan Kebijakan Khusus bagi guru yang bertugas di daerah terdepan dan terpencil, 5). Penyusunan dan Penyempurnaan Renstra 2010-2014, 6). Pengembangan budaya dan karakter bangsa, 7). Pengembangan Metodologi Pembelajaran, 8). Pengembangan Entrepreneurship.

Kenyataannya, Penyediaan internet disekolah-sekolah yang dulu pernah dicanangkan hanya meninggalkan utang tagihan yang belum bisa dilunasi sampai dengan sekarang. Penguatan dan kemampan kepala dan pengawas sekolah, yang melibatkan 30.000 orang dari dua unsure tersebut tidak lebih dari upaya penguatan implementasi manajemen berbasis sekolah.

Beasiswa 105 PTN yang diberikan untuk siswa SMA/SMK/MA berprestasi dan kurang mampu hanya melibatkan 20.000 siswa dengan nominal Rp 5.000.000 per tahun, bandingkan dengan jutaan sis-wa lainnya yang juga tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi sekarang ini, apa-lagi kebijakan pengembangan entrepreneurship yang hanya menguatkan posisi negara untuk lepas tanggung jawab ke-pada rakyatnya atas lapangan pekerjaan.

Rendahnya anggaran pendidikan tanpa diimbangi dengan tingkat pendapatan dan peran serta negara berujung pada mahalnya biaya pendidikan akibat krisis yang terjadi di Indonesia mulai akhir 2008 lalu berbanding lurus dengan rendahnya akses rakyat untuk menikmati pendidikan dan tingginya angka putus Sekolah.

Pada tahun 2003, terdapat 6 juta anak tertelantar, 50.000 anak jalanan di 12 kota provinsi, sedikitnya 1 juta anak putus sekolah setiap tahunnya di Indonesia dan saat ini ada sekitar 2,2 juta anak usia SD yang tidak dapat mengenyam pendidikan dasar, Selain itu terdapat 2,1 juta pekerja anak usia 10-14 tahun yang Sebagian besar adalah anak-anak putus sekolah dan bahkan tidak mengenyam pendidikan, Sebanyak 11,7 juta anak tidak pernah sekolah dan putus sekolah berumur antara 10-14 tahun serta 5,2 juta anak usia sekolah yang tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung.

Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP jauh dari ideal dan hanya terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Jumlah angka drop out (DO) disekolah dan perguruan tinggi mengalami kenaikan. Pada tahun akademik 2007/ 2008 saja sudah mendekati angka 20% dari total mahasiswa yang ada. Kebijakan ujian nasional, yang menuai kontroversi dan kemudian diajukan ke mahkamah agung oleh beberapa guru, ternyata tidak mengubah pendirian pemerintah untuk mengevaluasi dan menggantinya dengan sistem yang lebih adil dan mendidik. Ujian Nasional (UN) yang pada perkembangan telah menyebabkan kasus kecurangan sekolah hingga bunuh diri siswa yang tidak lulus, justru menjadi program 100 hari mendiknas dan tetap dijalankan di tahun 2010 ini.

Kenyataan-kenyatan ini adalah bukti kongkrit terjadinya komersialisai pendidikan di Indonesia. Meskipun tanggal 30 Maret 2010 kemarin Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU-BHP tapi kebija-kan tersebut tidak sama sekali bertujuan untuk menhentikan paraktek komersialisai pendi-dikan di Indonesia.

Dicabutnya UU BHP ini bukanlah semata-mata atas dasar niat baik pemerintah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat unt-uk mengenyam pendidikan dan memajukan budaya Masyarakat Indonesia, tapi kebijakan terse-but  selain karena bertentangan dengan konstitusi juga, merupa-kan bagian dari desakan kuat  gerakan massa yang berjuang dengan gigih tiada hentinya menolak dan menuntut pencabu-tan Undang-undang tersebut.

Kemenangan ini harus terus diakumulasikan dan harus mam-pu dijadikan sebagai inspirasi yang mampu mendorong motivasi kita untuk berjuang semakin gigih kedepannya.

Dicabutnya UU tersebut, bukan berarti payung hukum atas komersialisasi pendidikan telah sirna dari tanah air.

Se-gudang peraturan yang mendu-kung usaha dagang pendidikan masihlah bercokol sebut saja UU 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan , PP 60/ 61 1999 tentang Otonomi Kam-pus, berbagai PP yang mene-tapkan PT BHMN, UU No.1 tahun 2004 tentang pemben-daharaan Negara dan PP  No.23 tahun 2005 tentang tata kelola tentang Badan Layanan Umum/ BLU.

Yang menyakitkan lagi paska BHP di batalkan ber-bagai kampus tidak melakukan penyesuaian atas dihapuskanya kebijakan tersebut, melainkan berbagai kampus-kampsu nege-ri melaui rektornya kembali me-minta adanya payung hukum baru selain BHP.

Kita masih ingat, Saat pemerintah menggadai pendi-dikan. Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Rele-vance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011.

Program ini bertujuan un-tuk mewujudkan otonomi per-guruan tinggi, efisiensi dan rele-vansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Sebelumnya Pemerintah melakukan Kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), tentang Hinger Education Project dengan total utang 102,6 million dollar AS mulai tahun 1993 sampai 2001. Bantuan ter-sebut di berikan untuk 6 kampus PTN dan 11 Kampus PTS di Indo-nesia.

Misi dari kerjasama ters-ebut sama persis  dengan prog-ram world Bank yaitu tentang Efisiensi dan relevansi Pergu-ruan Tinggi, kebijakan tersebut sesungguhnya mengukuhkan otonomi terhadap kampus.

Artinya sampai saat ini perjanjian diatas masih ber-langsung, tidak ada sikap resmi pemerintah yang membatalkan berbagai perjajian tersebut. biaya SPP masih terus naik secara agresif, Uang masuk, DPP atau apapun namanya juga tidak ada tanda-tanda untuk diturukan, apalagi akan

dihapus. SBY-Bodiono masih kekeh pada pendirianya untuk men-depak anak-anak buruh, tani dan pegawai rendahan untuk semakin jauh dari bangku kuli-ah, BHP di Cabut Komersiali-sasi pendidikan Jalan Terus!

Biaya Mahal, tak ada Jamin-an Kualitas dan Lapangan Pekerjaan.

Mahalnya biaya pendidikan dan berseminya pembangunan gedung dan fasilitas lain dibe-berapa sekolah dan perguruan tinggi untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya, ter-nyata tidak menjamin pening-katan kualitas pendidikan. tetap saja tingkat pendidikan Indone-sia masih jauh dengan negara-negara lain, bahkan negara di Asia Tenggara sekalipun seperti Vietnam, Malaysia dan Singapura.

Time Higher Education Supplement (THES) adalah lembaga swasta dari Inggris yang memeringkat perguruan tinggi tingkat dunia dengan kriteria jumlah publikasi penelitian atau karya ilmiah yang dihasilkan dosen maupun mahasiswa dan rasio dosen dan mahasiswa. Menurut THES, tahun 2008, Undip, Unair, maupun IPB gagal masuk 500 besar, sementara UI hanya mampu menembus peringkat 287, ITB dan UGM pun hanya menempati peringkat ke-315 dan ke-316, Sedangkan penilaian versi Webometrics yang menilai berdasar tampilan Website dan seberapa banyak orang mengakses web PT yang dinilai, pada 2005, belum satu pun PTN maupun PTS di Indonesia berhasil menembus 1.000 besar. UI baru masuk ke-3.024 pada 2006, 1.966 (2007), 1.998 (2008), dan melejit pada 2009 dengan masuk 1.000 besar bersama dengan ITB dan UGM yaitu dengan peringkat ke-906, dan menurut Shanghai Jiaotong University (SJU), Tiongkok, yang salah satu syaratnya mematok ketentuan universitas yang dosennya, atau paling tidak lulusannya, pernah memenangkan nobel, maka belum satu pun PT di Indonesia yang berhasil menembus versi SJU.

Data konservati saja menunjukkan Angka pengang-guran di Indonesia pada 2010, lebih dari 10% atau lebih dari 23 juta orang termasuk di-dalamnya lulusan sarjana dan diploma, itupun jika target pertumbuhan ekonomi yan sebesar 5,5% tercapai. Yang pasti pertumbuhan ekonomi ter-sebut  tidak akan cukup untuk menyerap tenaga kerja di usia produktif. angkatan kerja baru pada 2010, mencapai lebih dari 115,680 juta, naik 1,6 persen dari 2009 yang mencapai 113,8 juta orang. Sedangkan untuk pekerja pada 2010 diperkirakan mencapai 106,795 juta jiwa, naik 1,8 persen dibandingkan 2009 yang mencapai 104,870 juta jiwa.

Angka pengangguran dari lulusan perguruan tinggi paling tinggi prosentasenya 52,65 persen tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD ke bawah, karena dunia kerja banyak yang hanya membu-tuhkan skill kerja yang rendah. pengangguran terdidik di Indo-nesia sejumlah 961.000 hingga agustus 2008 itu terbagi atas 598.000 penganggur sarjana dan 362.000 penganggur dipl-oma. Februari 2008 lalu bahkan mencapai 1,146 juta. Perguruan tinggi pada perkembangannya hanya memproduksi pengang-guran terdidik yang tidak terse-rap dalam dunia kerja disebab-kan karena beberapa fakultas mengalami kejenuhan, Artinya kelulusan yang ada setiap tahun tidak sebanding dengan keterse-diaan lapangan pekerjaan.

Artinya jika di hitung kenaikan angkatan kerja 2008 sampai sekarang, termasuk didalamnya sarjana maka kenaikan jumlah pengangguran meningkat dengan pesat.

Keadaan ini kemudian disikapi oleh pemerintah dengan membuka jurusan-juru-san baru yang lebih dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja, dan politeknik-politeknik kemudian merebak di banyak kota, terutama kota-kota kecil, deng-an kerjasama antara pemerintah pusat dengan pemerintah dae-rah,

Hingga tahun 2008, tercatat ada 761 program studi baru di 167 perguruan tinggi, Jauh lebih tinggi dari jumlah program studi yang ditutup pada tahun yang sama, yakni 113 program studi di 64 perguruan tinggi.

Penutupan sejumlah jurusan dan fakultas juga dido-rong karena kekurangan maha-siswa di mana 30 persen dari 191 program studi diploma III, serta 10 persen dari 288 program studi strata satu hanya memiliki mahasiswa kurang dari 30 orang. Disisi lain, 65 persen dari 2.913 PTS di Indonesia terancam dicabut izinnya atau dilikuidasi karena harus menyesuaikan diri deng-an aturan yang ada di dalam UU BHP, baik dari tata kelola maupun dari sistem keuangan dan jumlah mahasiswanya,

Seperti yang sudah terjadi di beberapa akademi di Yogya-karta yang terpaksa tutup karena kekurangan mahasiswa. Kampus-kampus Swasta kecil saat ini juga dipaksa untuk bertarung dengan universitas-universitas negeri yeng memiliki nama besar, PTN-PTN berlomba-lomba menyediakan Variasi menu pendidikan. Jika ada uang bisa meilih semaunya, jika tak ada uang silahkan menjauh dari Kampus.

Mahalnya biaya, kurikulum yang tidak ilmiah dan demokrasi kampus yang dipasung, menyebabkan masa depan pemuda mahaisiswa semakin suram. Disamping itu penyelengaraan pendidikan juga tidak mampu memberikan jaminan bagi pemuda dan mahasiswa untuk bisa menda-patkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studinya di-kampus, kenyataannya tidak jarang kita temukan banyaknya sarjana yang bekerja tapi tidak sesuai dengan bidang studinya, bahkan lebih banyak lagi yang tidak bekerja sama sekali.

Pengekangan kebebasan Mahasiswa untuk berorganisasi dan berekspresi dikampus membuktikan hilangnya ruang Demokrasi dikampus.

Untuk memudahkan berjalannya kebijakan-kebijakan yang mengarah pada upaya komersialisai pendidikan dan menjauhkan Mahasiswa atau peserta didik dari kenyataan sosial disekitarnya serta kebijakan lainnya yang ingin diterapkan di Indonesia, Mahasiswa atau peserta didik terus disibukkan dengan berbagai aktivitas akademik seperti praktikum, pembuatan laporan praktikum, pembuatan makalah dan lain sebagainya yang sesungguhnya tidak bisa menjadi fakor penentu mening-katnya kemampuan mahasiswa untuk mengem-bangkan diri secara mandiri, mahasiswa tidak pernah diarah-kan untuk melihat kenyataan-kenyataan sosial yang ada disekitarnya yang sesung-guhnya jauh lebih berpotensi untuk mendorong kreasi dan kesadaran mahasis-wa untuk memecahkan per-soalannya sendiri dan masyara-kat disekitarnya berdasarkan pengalaman dan temuan-temuan yang didapatkan dil-apangan, Hal ini yang sesungguhnya telah memben-tuk karakter individualis yang kental dalam tradisi dan kebudayaan mahasiswa saat ini.

Ditengah carut marutnya dunia pendidikan Indonesia, Mahasiswa yang menjadi pendukung  gerakan rakyat dike-biri haknya untuk berorganisasi sesuai dengan kehendak dan aspirasinya. Dengan dikeluar-kannya SK Dirjend Dikti No. 26 tahun 2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai politik dalam kehidupan kampus, ma-ka organisasi-organisasi maha-siswa kembali masuk dalam dikotomi ekstra dan intra.

Padahal SK ini sama sekali tidak mempunyai landasan hukum yang jelas, bahkan sudah tidak menjadi rahasia lagi ketika Mahasiswa diancam dengan konsekuensi akademis (DO, Nilai Rendah, dll) atau dengan konsekuensi secara fisik, dipukul bahkan diBunuh (M. Ridwan, Mahasiswa IKIP Mataram, Jurusan Kimia Semester VI, tahun 2006) serta bentuk refresifitas lainnya ketika ada mahasiswa yang kritis dalam memandang materi atau gejala soal ketimpangan yang terjadi dikampus atau ketika ada mahasiswa yang menuntut terpenuhinya hak-hak mahasiswa dikampus.

Dampak dari tindakan-tindakan refresif tersebut kemudian mengakibatkan banyak organisasi mahasiswa seperti FMN yang tidak leluasa bergerak di dalam kampus, tidak jarang dari gerakan mahasiswa ini yang mendapatkan kekerasan dan pembubaran paksa ketika beraktifitas di kampus. Seperti yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU), ketika terjadi pembubaran paksa pada aksi Dies Natalies USU, DO dan Skorsing 4 anggota FMN STAIN Pontianak, pemukulan yang dilakukan satpam terhadap massa aksi FMN di kampus Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah ketika melakukan aksi, bahkan tak jarang dilakukan kesepakatan bilateral antara pihak rektor dengan Kepolisian untuk menjaga keamanan dan stabilitas mahasiswa di dalam kampus, misalnya yang terjadi di Universitas Indonesia ataupun Universitas Pancasila.

Kenyataan ini menunjuk-kan bahwa kerasnya pengekang-an terhadap mahasiswa untuk berorganisasi dan berekspresi.

Persoalan dalam dunia pendidikan Indonesia adalah sebuah sistem yang terbentuk dari ciri negara setangah jajahan dan setengah feodal (SJSF). Rejim yang berkuasa adalah rejim yang menjadi cerminan kediktatoran bersama antara Tuan tanah, Kapitalis birokrat dan borjuasi komprador yang menghamba kepada kepentingan imperialis. Kenyataan tersebut kemudian termanifestasikan kepada rejim SBY-Boediono yang sekarang berkuasa.

Persoalan pendidikan tersebut, hanya merupakan satu dari sekian banyak persoalan yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia, namun kesemuanya saling berhubungan satu sama lain yang bermuara kepada busuknya sistem imperialisme yang sekarang mendominasi dunia dan rejim boneka yang ada di Indonesia yaitu SBY-Boediono, Rejim inilah yang memberikan ruang dan menjajakan seluruh kekayaan, pasar dan tenaga produktifnya kepada imperialisme untuk dihisap dan dihancurkan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh mereka bukan untuk menyelesaikan akar persoalan tetapi justru makin memperdalam penindasan yang terjadi, maka rejim inilah yang menjadi persoalan pokok yang harus dihadapi oleh seluruh rakyat, termasuk sektor pemuda dan mahasiswa.

Jadi dengan kenyataan-kenyataan seperti demikian bahwa makin meningkatnya angka putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan akibat maraknya perampasan tanah petani, masih kuatnya sistem upah murah bahkan banyaknya buruh yang telah kehilangan pekerjaan akibat PHK yang terus meningkat, tidak terserapnya lulusan perguruan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan akibat tidak sebandingnya angkatan kerja dengan lapangan pekerjaan  yang disediakan, kita tidak bisa mengharapkan biaya kuliah (Pendidikan) yang murah serta pendidikan yang Ilmiah, Demoratis dan, Bervisi kerakyatan selama masih maraknya perampasan tanah petani di pedesaan. ***

bm#3.mei.2010

[gallery]

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.