Translate

Proteksionisme / Perdagangan Bebas = Krisis Global

“kapitalis mempunyai tiga prinsip: eksploitasi, akumulasi dan ekspansi. Prinsip inilah yang membutnya sulit untuk menghindari krisis. Deflasi atau inflasi. Hingga puncak dari monopoli kapitalis—imperialisme adalah perebutan pasar dunia yang akan menciptakan perang dunia.”

Hari ini, kita dengan lantang menolak perdangan bebas yang jelas-jelas menggiring rakyat di nega-ra yang kaya akan alam dengan populasi tenaga produksi yang melimpah, kita, rakyat tak bertanah dan tak bermodal akan benar-benar akan menjadi budak di negeri sendiri. Karena monopoli alat produksi dan pasar membuat kita tak akan mampu untuk beranjak sedikit pun—sekadar menciptakan impian atau bahkan untuk hidup sampai esok hari. Jika kondisi sudah sedemikian gentingnya, jangan sesekali terheran atau mencari kambing hitam, atau melontar pertanyaan “siapa yang salah?” ketika terjadi huruhara massa, penjarahan, penghancuran property, tragedy kemanusiaan meledak dengan spontan, tanpa komando. Kengerian tersebut tercipta akibat ketimpangan social dan ekonomi yang berjarak antara bumi dan langit.

Jika telah terjadi kondisi demikian akankah kita terjerumus pada lubang Reformasi yang tak merubah apa-apa? Sementara pertanyaan kedua adalah, apakah proteksionisme negara akan menyelamatkan perekonomian rakyat seluruhnya ketika perekonomian dimonopoli segelintir borjuasi saja? Mari berpikir keras sebelum bom molotof menimpa kepalamu di mana dan kapan saja.

Sebagai pemantik, pendiskusian kita hanya akan membahas masa proteksionisme dan segala polemic yang terjadi dengan tidak memaparkan kondisi perdagangan bebas pasca tahun 1930-an. Karena saya yakin pembacaan kawan-kawan soal perdagangan bebas telah matang dan siap menentang.

Fight Proteksionisme

Ada pernyataan seorang presiden ke 16 amerika serikat, Abraham Lancoln, (1860-1865) yang begitu keras mengeritik perdagangan bebas, kemudian ia mati ditembak seseorang, seperti ini pernyataannya: .. hapuskan cukai dan dukung perdagangan bebas, maka situasi buruh di seluruh sector ekonomi akan sampai pada tingkat perbudakan  dan kemiskinan seperti di eropa. (Lihat Hans-Peter Martin & Harald Schumann, Jebakan Global, pada Bab $ di kata pembuka, Hastra Mitra&IGJ, Jakarta, 2004. Hal 141). Pernyataan Abraham seperti meng-iya-kan pernyataan Marx dalam Pidato umum di depan Asosiasi Demokratik kota Brussel, 9 Januari 1848, berarti belasan tahun sebelum ia menjabat sebagai president AS. Mungkin Abraham pernah membaca trankrip pidato Marx yang di awali dengan:

“Pencabutan Undang-undang Gandum di Inggris merupakan kemenangan terbesar dari perdagangan bebas di abad ke sembi-lanbelas. Di setiap negeri di mana kaum manufaktur berbicara tentang perdagangan bebas, yang terutama ada dalam pikiran mereka ialah perdagangan bebas gandum dan bahan-bahan mentah pada umumnya. Mengenakan bea-bea masuk yang bersifat protektif atas gandum asing adalah sangat tak-terpuji, itu berarti berspekulasi atas kelaparan rakyat banyak.”, dan paragraph ke dua terakhir dalam pidatonya seperti ini:

“Tetapi, pada umumnya, sistem protekstif zaman sekarang adalah bersifat konservatif, sedangkan sistem perdagangan bebas adalah destruktif. Ia membongkar nasionalitas-nasionalitas lama dan mendo-rong antagonisme dari proletariat dan bur-juasi pada titik paling ekstrem. Singkat kata, sistem perdagangan bebas memper-cepat revolusi sosial.”

Kemungkinan Abraham tak selesai sampai kalimat terakhir yang di ucapkan Marx, bahwa “sistem protekstif zaman sekarang adalah bersifat konservatif, se-dangkan sistem perdagangan bebas adalah destruktif.” Karena zaman sekarang yang dimaksud Marx masih begitu dekat dengan zaman ketika AS dipimpin Abraham. Hing-ga simpulan sementara terhadap Abraham adalah bahwa dia berpandangan protektif konserpatif. Di mana kesenjangan ekonomi antara proletariat dan burjuasi tetap dijaga dengan sistem kapitalisme yang sebenar-nya mengarah pada titik paling ekstrem. Kondisi tersebut benar-benar terjadi. Di Eropa dan Amerika latin, revolusi proletariat bermunculan dengan suburnya. Sebagai contoh revolusi oktober 1917 di Rusia.

Kenapa demikian? Karena sistem pro-teksionis, hanya-lah satu cara untuk mene-gakkan industri skala besar di suatu negeri tertentu, yaitu, membuatnya bergantung pada pasar dunia, dan saat ditegakkannya ketergantungan pada pasar dunia itu, maka  menjadi suatu ketergantungan pada perda-gangan bebas. Di samping itu, sistem proteksionis mem-bantu pengembangan persaingan bebas di dalam suatu negeri. Puncak dari kegagalan sistem proteksi-onisme konserfatif ala kapitalis terjadi pada krisis 1930.

Seorang ahli sejarah social Karl Polanyi, yang lahir di wina tetapi berimigrasi ke Amerika, di dalam karyanya yang berilian -1944, Transformasi Besar, dengan terperinci melukiskan bagaimana proses kejadian krisis 1930 (Malaise). Diawali dengan penyerahan kerja manusia pada hukum-hukum pasar, dan pembubaran bangunan-bangunan social lama yang dihasilkannya, memaksa negara-negara Eropa terpuruk semakin dalam ke dalam tindakan-tindakan defensive yang tak masuk akal. (kondisi inilah yang dimaksud Abraham tingkat perbudakan  dan kemiskinan seperti di eropa -red)

“Pembebasan” perdagangan, demikian ia berargumentasi, tidak mengakhiri intervensi negara: sebaliknya, ia dengan sangat “memperluas jangkauan regulasi itu.” Semakin sering pasar dan krisis-krisis konjungkturalnya menghasilkan gelombang-gelombang kebangkrutan dan pemberontakan-pemberontakan masal, semakin pula para penguasa sekarang membatasi diri dalam permainan-permainan bebas kekuatan pasar.

Mula-mula, mereka hanya mewakili berbagai gerakan protes kelas pekerja, tetapi kemudian mereka berubah untuk menamengi pasar khususnya terhadap persaingan seberang lautan, dan negara lain menjawabnya setimpal. Menjelang pergantian abad, dan terlebih pada tahun 1920-an. Bisnis sehari-hari dari pemerintahan-pemerintahan tak lagi perdagangan bebas tetapi perkembangan kebijakan-kebijakan proteksionis.

Pada akhirnya, tanpa sungguh-sungguh bermaksud begitu, mereka meningkatkan perang perdagangan dan mata uang hingga titik ekonomi dunia yang sudah terintegrasi terjerumus ke dalam depresi besar tahun 1930-an. Tapi jangan berhenti membaca pada paragraf ini. Saya sedang tidak mendukung perdaganan bebas.

Jadi, dikarenakan tiap negara melin-dungi pasar dalam negerinya, sementara borjuasi dalam negeri perlahan tapi pasti mengeksploitasi, mengakumulasi dan meng-ekspansi, dari puncak monopolinya dalam negeri mengakibatkan banyaknya modal yang terakumulasi tak bisa digulir-kan dan menjadi berkarat karena barang hasil produksi yang menumpuk dan tak bisa dipasarkan.

Sementara kondisi negara kita pada zaman itu masih di bawah colonial Belanda. Masih sangat jelas dampak yang dirasakan rakyat Indonesia waktu itu. Proteksionisme kita dijajah. Perdagangan bebas pun masih dijajah. Polemic di atas adalah sesuatu yang tak terbersit dalam pikiran rakyat Indonesia yang kian kehilangan tanah akibat Sistem Tanam Paksa, dan segala kebijakan colonial yang memiskinkan. Tapi ada baiknya sedikit saya gambarkan kondisi Indonesia ketika krisis global 1930 melanda.

Dalam sebuah catatan Rutgers, Ir. S.J., “Indonesië, Het Koloniale Systeem, hlm. 194- 202 memaparkan, dalam tahun 1930 di Indonesia (terutama di Jawa) ada 179 pabrik gula yang masih bekerja. Dalam tahun ’34 dari jumlah tersebut yang meng-giling tinggal 54 pabrik. Jika dalam tahun 1930 areal tanaman tebu luasnya 193.692 ha, dalam tahun 1934 tinggal 33.402 ha.  Jika produksinya dalam tahun ‘30 masih 2.915.866 ton. Dan jika harga gula per 100 kg dalam tahun 1930 masih 9,60 gulden, dalam tahun 1934 harga tersebut sudah merosot menjadi 5,61 gulden.

Dr. W.K.H.Feuilletau de Bruyn dalam bukunya menulis bahwa di karesidenan Begelen ternyata tiap jiwa terpaksa makan di bawah 3 sen sehari. Hanya sedikit saja yang di atas 2 ½ sen sehari. Kondisi memilukan lainnya adalah rakyat yang terpaksa menggadaikan alat produksinya. Dalam tahun 1930 jumlah barang yang digadaikan masih f. 194.1 juta. Pada tahun 1934 jumlah tersebut turun menjadi f. 69, juta. Penurunan itu sebagian terbesar menyangkut barang-barang yang biasanya digadaikan oleh kaum tani. Bahkan tidak hanya rakyat jelata yang merasakan petaka 1930. Dalam rangka penghematan  oleh pemerintah kolonial pada tanggal 1 Juli 1931 dilakukan pemotongan gaji dari para marinir Indonesia dan Belanda. Potomgan ditentukan 5%. Setahun kemudian gaji yang sudah dipotong 5% itu dipotong lagi 5%. Akibat dari kebijakan pemotongan gaji ini. Para marinir mengkonsolidasikan diri untuk melakukan demonstrasi hingga ratus-an jumlahnya.

Kondisi di atas adalah jaman kolonial. Lantas seperti apakah kondisi perekonomi-an rakyat Indonesia ketika Obama presiden Amerika serikat hari ini menyatakan perlawanannya terhadap kebijakan proteksi-onisme negara? Masih yakinkah anda untuk mendorong pemerintah agar melaku-kan proteksionisme sebagai atitesa atas perlawanan perdagangan bebas hari ini, sementara kepemilikan tanah, alat pro-duksi dan modal masih dikuasai oleh  borjuasi komprador saja? (-am)

bm#2.April.2010[gallery]

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.