Translate

Ketika Pendidikan Menjadi Pilihan

jika untuk mengawali tulisan ini, saya ajukan dua pilihan pada anda maka anda akan memilih yang mana: sekolah untuk mendapat pekerjaan atau bekerja agar mampu sekolah? Silahkan jawab dalam hati dan mari kita lihat fenomenanya.

Jakob Sumadjo pernah menulis artikel di harian Kompas, Judulnya kurang lebih “Negara Miring”, ia menyatakan bahwa “segala suatu hal yang berasal dari luar, ketika menyentuh tanah Indonesia posisinya akan miring. Tidak ajeg. Tidak seperti aslinya”. Coba kita cek ulang pernyataan itu pada kondisi pendidikan.

Seperti yang kita tahu, kata sekolah diserap dari istilah Yunani awalnya disebut “scolae” pada masa Plato yang artinya “waktu luang”. Jadi pada jaman Plato sekolah adalah aktivitas masyarakat untuk mengisi waktu luang. Di situlah proses pendidikan berlangsung. Tanpa ketentuan khusus mengenai ruang dan waktu.

Tapi kita lihat praktek pendidikan di Indonesia, jika seseorang menerima transformasi pengetahuan di luar ruangan dengan waktu yang telah ditentukan dan dilembagakan yang kemudian dinamai “sekolah”, maka ia tak berhak untuk mendapat tanda pengesahan atau pengakuan public bahwa ia telah berpendidikan.

Bahkan saking istimewahnya, dibedakanlah seseorang yang mampu memenuhi segala ketentuan untuk masuk ke sebuah sekolahan dengan istilah-istilah yang mengarah pada pengidentitasan, yakni; siswa, kartu dengan nomor induk, seragam dll. Kemudian mereka yang tidak disebut siswa, tidak punya kartu identitas dan nomor induk, serta tak memakai seragam sekolah, tak akan berhak untuk turut mendapatkan pendidikan di sebuah sekolah. Dari sinilah jurang pembeda atara orang yang berpendidikan dengan yang tidak terbuka lebar dan dalam. Lembaga pendidikan mulai memilah yang kemudian rakyat musti memilih: sekolah atau tidak.

Apa gunanya pendidikan?

Telah sekian kali berganti kurikulum, tetap saja kita tak mampu membuat satu pun industry dasar dalam negeri yang mampu memanfaatkan kekayaan alam ini untuk kesejahtraan rakyat—kalau pun kita punya institute tekhnologi yang diorientasikan untuk mengembangkan industry nasional, kenapa juga Freepot, Newmont masih mengekploitasi emas di negeri ini? Juga Exonmobil, … dll masih mengakar di negeri ini. Kenapa barang elektronik dan otomotif masih impor, Tak mampukah pendidikan kita membuat mesin pembuat mesin? Coba tanyakan lagi pada siapa pun, kenapa hasil perkebunan kita hanya berorientasi ekspor bahan mentah? Semntara apa yang didapat oleh para buruh kebunya selain kemiskinan yang turun temurun? Lantas apa fungsi sekolah dibangun di tengah perkebunan?

Ah, kian sensi saya dibuat oleh pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sementara secara umum di negeri ini, fenomena komersialisasi pendidikan kian edan-edanan—sekolah negeri atau swasta sama saja. Mahal. Diskriminasi antara Si Mampu dan Si Tidak Mampu tak terelakkan.

Dan sama sekali tak ada jaminan lapangan pekerjaan yang membutuhkan disiplin ilmu yang dipelajari selama bertahun-tahun di sekolah. Pun perguruan tinggi.

Maka kawan-kawan tak perlu heran jika ada iklan “sarjana ojeg”, inilah bentuk nyata penghancuran tenaga produktif. Pengangguran melimpah, ada pun lapangan pekerjaan, sangat terbatas dengan upah yang tak layak.

Lalu apakah program “pendidikan kewirausahaan sejak dini” akan mampu membangkitkan industry nasional dan menyaingi banjir bandang modal asing atau luapan produk Cina akibat pemberlakuan ACFTA?

Hari ini, pendidikan formal kita tak memiliki fungsi yang jelas: untuk mengolah ilmu pengetahuan atau membangun lapangan pekerjaan. Terlebih kurikulumnya tak mampu menjawab kebutuhan intelektual atas kekayaan alam, pendidikan lembaga pendidikan pun takmampu member jaminan lapangan pekerjaan. Pantaslah ketika digratiskan pun akan lebih banyak memilih mencari pekerjaan setelah lulus smp atau sma dan yang setingkat. Pikiran awam pun telah menilai, toh berpendidikan tinggi dan mahal pun ujung-ujungnya menganggur atau berprofesi tak jauh dengan lulusan smp-sma dan yang setara. Pendidikan formal telah menjadi formalitas belaka! Inilah negara yang “miring”. Edan!

-am

bm#3.mei.2010

[gallery]

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © 2012 Berkawan untuk MelawanTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.